Penyiksaan dan Kematian Bagi Muslim Uzbek di Penjara

muslim uzbekoleh Mansur Mirovalev

Setelah terjadi pemberontakan melawan pemerintahan tangan besi Presiden Karimov tahun 2005 lalu, tindak kekerasan terhadap kaum Muslim terus berlanjut.

Tashkent, Uzbekistan – Sehari sebelum sidang berakhir, enam pencari suaka Uzbek dideportasi dari Norwegia dan ditampilkan pada acara televisi sebagai para “pengkhianat” dan “ekstremis agama”.

Pada awal Desember lalu, televisi Uzbekistan menayangkan siaran pseudo-dokumenter dengan judul Pengkhianatan, atau Jalan Baru Melawan Tanah Air. Tayangan itu menunjukkan beberapa pria berusia antara 28 dan 37 tahun, kurus, kepala mereka dicukur bersih, dengan wajah terlihat linglung.

Suara latar pada film itu  menuduh mereka bergabung dengan “kelompok teroris”—yakni Gerakan Islam Turkestan—yang membuat rencana untuk menggulingkan pemerintahan sekuler Presiden Islam Karimov dan ingin menerapkan hukum Islam di negara bekas Soviet itu.

Dua minggu kemudian, mereka dihukum 12 hingga 13 tahun penjara.

Berdasarkan laporan dari Asosiasi untuk Hak Asasi Manusia di Asia Tengah atau AHRCA, apa yang tidak disebutkan di tayangan tersebut adalah bahwa mereka disiksa dalam di tahanan.

Mereka dipukuli dengan pentungan karet, disetrum, dan dibuat kelaparan hingga enam hari, kata laporan itu dengan mengutip informasi dari para keluarga terdakwa. Pengacara yang mereka memiliki adalah pengacara yang ditunjuk negara. Pengacara tersebut mengabaikan permintaan mereka, yang walaupun mengetahui tentang penyiksaan itu, tetapi tidak pernah meminta pertimbangan ahli medis.

Mereka bersikeras tidak bersalah, dan mereka mengatakan telah membohongi pemerintah Norwegia agar percaya bahwa mereka menghadapi bahaya jika pulang. –  namun malah dideportasi ke Uzbekistan.

Kasus mereka didasarkan pada pernyataan beberapa saksi yang kadang-kadang tidak bisa membedakan antara terdakwa yang satu dengan yang lain. Para saksi mengatakan, mereka pernah melihat para terdakwa menonton video Islamis di YouTube – tapi tidak bisa mengingat rinciannya.

Para pejabat Norwegia mengatakan, pada pertengahan Desember lalu bahwa mereka akan berhenti mendeportasi para pencari suaka Uzbek.

 

Penyiksaan Sistematis

Bagi mereka yang mengikuti perkembangan politik di negara yang paling padat penduduknya dan represif di Asia Tengah itu, perlakuan dan penyiksaan terhadap enam orang tersebut tidak mengejutkan sama sekali.

“Kasus ini khas di pengadilan Uzbek,” ujar Nadejda Atayeva, Ketua AHRCA, yang tinggal di Perancis setelah melarikan diri dari Uzbekistan pada tahun 2000, kepada Al Jazeera.

“Dan melihat bagaimana para propagandis pemerintah menggunakan pemeriksaan pengadilan macam itu—mereka membuat sebuah film dokumenter sebelum sidang—mereka telah mengabaikan prinsip praduga tak bersalah.”

Dan apa yang terjadi pada enam orang itu sebelum putusan sidang mungkin bukan bagian terburuk dari penderitaan mereka.

Sekitar 12.500 tahanan politik di Uzbekistan—lebih dari penderitaan di era gulag Soviet pada puncak Perang Dingin—yang mengalami penyiksaan secara sistematis: asphyxiation (dibuat kehabisan nafas), disetrum listrik, dan dipukuli, ungkap kelompok hak asasi manusia, mantan narapidana, dan para peneliti.

“Penyiksaan adalah praktek yang sangat luas di Uzbekistan,” kata Atayeva. “Perlakuan kejam itu adalah suatu hal yang baku.”

Beberapa tahanan politik adalah para aktivis oposisi, pembela HAM, dan wartawan independen. Hanya segelintir orang yang berasal dari Islam garis keras dan calon pelaku jihad. Akan tetapi, kebanyakan adalah Muslim pada umumnya yang dihukum karena tuduhan berencana melakukan kekerasan.

Karimov, seorang mantan otokrat komunis dan penguasa tangan besi selevel pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan pemimpin Zimbabwe Robert Mugabe, telah bertahun-tahun menganiaya umat Islam. Memandang mereka sebagai ancaman terbesar bagi pemerintahannya, yang mulai dilakukan bahkan sebelum keruntuhan Soviet tahun 1991.

“Islam [versi Karimov] adalah versi resmi yang stagnan, nyaris mati. Islam versi pemerintah itu terlihat di layar TV, yang keluar dari mulut para imam pemerintah,” kata Analis Asia Tengah berbasis Moskow Daniil Kislov kepada Al Jazeera.

“Islam lainnya yang hidup dan ramah, merupakan ancaman mengerikan baginya dan tidak mungkin untuk dijinakkan,” tambah Kislov yang juga menjalankan situs berita ferghana.ru tersebut.

“Islam ini dekat dengan aktivisme sipil yang merongrong kekuasaannya, dan itulah alasan mengapa Karimov ingin menghancurkannya.”

Sebuah pemintaan tanggapan dari pemerintah Uzbek ditolak pada hari Rabu. Meskipun terdapat kekhawatiran internasional tentang tuduhan penyiksaan telah lama berkembang, namun Karimov tidak pernah membahas masalah tersebut.

“Saya siap memenggal kepala 200 orang dalam rangka menyelamatkan kedamaian dan ketenangan di Republik ini,” kata Karimov, setelah terjadi serangkaian serangan di Uzbekistan pada bulan Maret 1999. “Jika anak saya memilih jalan tersebut , saya sendiri yang akan memotong kepalanya.”

 

Pasukan Tukang Pukul di dalam Penjara

Pengakuan video dari seorang yang menggambarkan dirinya sendiri sebagai pembunuh di penjara, telah diposting di situs Kislov pada tahun 2011. Seorang pria berusia 49 tahun, yang mengidentifikasi dirinya sebagai Alexander Rakhmanov, mengatakan dia memimpin pasukan mantan penjahat yang menyiksa dan membunuh para tahanan politik dan pemimpin agama.

Pasukan ini “menahan, menyiksa, memperkosa, dan hampir memotong” para narapidana, ujar Rakhmanov dalam video beresolusi rendah. Selain penyiksaan, mereka bertanggung jawab atas pembunuhan di luar hukum para terduga kelompok Islam, katanya.

“Kami menguburkan mereka di tanah, menuangkan kapur dan air pada mereka. Ratusan orang mati di tangan saya,” kata Rakhmanov, seraya menambahkan dia ingin mengaku karena dia tidak taat kepada atasannya dengan cara menolak membunuh para wanita – dan dia ingin dibunuh karena hal itu.

“Saya tidak bisa hidup di bawah beban berat seperti ini – tidak bisa makan, tidak bisa bernapas.”

Setiap tahun, pemerintah Uzbek menahan, dan menghukum penjara  ratusan umat Islam. Sekitar 150 pemimpin agama Uzbek, termasuk 14 wanita, dijatuhi hukuman penjara tahun lalu, menurut laporan oleh Kelompok Inisiatif Independen Hak Asasi Manusia Pembela Uzbekistan (IGNPU).

Satu hukuman memicu beberapa penangkapan, interogasi, dan hukuman dari anggota keluarga, tetangga, teman, dan mitra bisnis mereka. Orang-orang yang dituduh sebagai tergabung kelompok Islam secara rutin diekstradisi dari Rusia dan negara-negara bekas Soviet lainnya, dan kadang-kadang petugas keamanan Uzbek menculik orang-orang yang mengubah kewarganegaraannya atau yang mencari suaka.

Setelah di penjara, mereka dihukum berat karena shalat, sering disimpan di sel isolasi, dan hukumannya diperpanjang secara sewenang-wenang karena sedikit “melakukan pelanggaran aturan di penjara”, menurut laporan Human Rights Watch, badan pengawas HAM internasional.

Setidaknya 23 Muslim dipenjara dan disiksa sampai mati pada tahun 2014, kata laporan IGNPU. Jumlah sebenarnya bisa jauh lebih tinggi, tapi kasus-kasus lain tetap tidak dilaporkan karena keluarga korban terlalu takut untuk menghubungi kelompok-kelompok HAM, atau beberapa wartawan independen, katanya.

 

Ancaman Kelompok Jihadis

Tujuh dekade pemerintahan komunis tidak bisa membasmi kelompok Islam di Uzbekistan, meskipun Bolshevik membersihkan para ulama Muslim dan mengganti aksara Arab dengan aksara Cyrillic, serta memisahkan rakyat Uzbek dari tradisi Islam yang kaya dari era pra-Soviet.

Setelah keruntuhan Soviet tahun 1991, masjid dan madrasah menjamur di seluruh Uzbekistan. Panggilan azan terdengar di setiap kota. Para ulama asing dan guru dari semua jenis berbondong-bondong datang ke Uzbekistan.

Tekanan pada Muslim Uzbek menjadi intensif setelah terjadi serangkaian pemboman atas gedung-gedung pemerintah pada tahun 1999, namun, tindakan keras dimulai setelah tahun 2005 sejak meletus pemberontakan rakyat di timur kota Andijan.

 

Dari protes hingga ke peti mati

Dengan berpidato di depan beberapa ribu pria, wanita, dan remaja di alun-alun Andijan, 13 Mei 2005, Tavakkalbek Khodjiev mendesak mereka untuk terus melawan penindasan dan ketidakadilan.

“Untuk membentuk negara yang adil, maka kita perlu bertahan di sini selama dua atau tiga hari,” kata, pria berambut gelap, yang juga pemilik pabrik mebel tersebut, dalam sebuah video amatir yang diambil oleh dua pengunjuk rasa.

Dia adalah bagian dari sekelompok pengusaha Muslim yang berkumpul di luar masjid, yang mendapat sanksi pemerintah. Beberapa jam sebelumnya, kelompoknya menyerbu penjara Andijan. Di penjara tersebut terdapat 23 anggotanya ditahan untuk menunggu sidang atas tuduhan berencana melakukan kekerasan.

Kelompok itu dan ratusan pendukungnya merebut ruang kota dan beberapa bangunan pemerintah lainnya. Ribuan orang muncul untuk ikut demonstrasi – dan menuntut dilakukannya pembicaraan langsung dengan Karimov.

Khodjiev, yang baru berusia 28 tahun, berteriak lewat pengeras suara mendesak kerumunan massa untuk tetap bertahan. Kerumunan massa itu menyambut, “Allahu Akbar!” Bagi mereka, ungkapan itu merupakan penegasan keimanan mereka.

Tapi bagi pemerintah Karimov, itu adalah tanda bahaya.

Beberapa jam kemudian, pasukan bersenjata pemerintah dengan senapan serbu merangsek kerumunan, hingga menewaskan ratusan orang, ungkap para korban yang selamat dan kelompok HAM. Lebih dari ratusan lainnya melarikan diri ke negara-negara tetangga Kyrgyzstan, termasuk Khodjiev dan tiga saudaranya.

Dalam beberapa minggu, otoritas Kyrgyz mengekstradisinya untuk kembali ke Uzbekistan, Khodjiev kemudian ditangkap – dan hampir tidak selamat dari penyiksaan berat, kata keluarganya.

Dia adalah satu di antara puluhan orang yang diadili dan dipenjara dalam waktu yang lama karena partisipasi mereka dalam pemberontakan Andijan.

Di salah satu pengadilan dari enam minggu pengadilan yang dihadiri oleh reporter, Khodjiev menyebut dirinya seorang jihadis yang “digiring” orang ke alun-alun kota di bawah todongan senjata, sementara saudaranya diduga menerima uang tunai dari kedutaan besar AS.

Pidatonya monoton dan tidak wajar, dan dia terus memandang ke atas seperti anak anak yang lupa sebuah puisi yang harus dihafal.

Dia menerima ganjaran 17 tahun penjara, saudaranya Ikrom dan Ilkhom masing-masing mendapat hukuman 19 dan 20 tahun. Saudaranya yang keempat, Dilshod, melarikan diri dan mendapat suaka di Swedia.

Pada tahun 2013, Tavvakalbek Khodjiev berhasil mengirim surat yang menjelaskan kengerian hidup sehari-hari di dalam penjara kepada keluarganya.

Di akhir tahun itu, sekelompok petugas keamanan mengirimkan tubuhnya yang disegel di dalam peti mati ke rumahnya di Andijan – dan tidak membiarkan keluarganya untuk memandikan dan menguburkannya menurut tata cara Islam.

Tapi ibunya berhasil mengambil foto wajah pucat anaknya yang tidak mirip dengan kabel hidup dari pemberontakan Anidjan.

Penyebab resmi kematiannya adalah serangan jantung. Tapi saudara keempat Khodiev bersikeras Tavakkalbek tewas setelah otoritas penjara tahu tentang surat itu.

“Mereka terus mengatakan kepadanya, ‘Hanya mayat Anda yang akan keluar dari sini’,” kata Dilshod kepada Radio Free Europe/Radio Liberty cabang Uzbek pada bulan November 2013.

“Pada akhirnya, mereka disiksa hingga mati.” (rz)

 

Sumber:

http://m.aljazeera.com/story/201516102547473124

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*