Terus Pancing Kemarahan Umat, Charlie Hebdo Kembali Terbit dengan Cover Sosok Nabi

pemred charlie hebdoHTI Press. Tanpa peduli perasaan umat Islam, Charlie Hebdo kembali berulah memancing kemarahan umat. Majalah satir ini dalam terbitan pertama terbarunya, setelah serangan ke kantornya, kembali menampilkan sosok yang menggambarkan Rasulullah saw di cover depan majalahnya.

Dalam edisi ini, ditampilkan sosok yang menggambarkan Rasulullah saw dengan wajib sedih dan memegang tulisan “Je Suis Charlie” (Kami adalah Charlie). Slogan itu merupakan bentuk solidaritas pihak yang membela kebebasan Charlie Hebdo untuk menghina agama termasuk Islam.

Seperti yang diberitakan AFP, Selasa (13/01), di atas sosok yang bersorban putih itu, terdapat tulisan “Tout Est Pardonne”, yang berarti “Semua telah dimaafkan”.

Penerbitan kembali karikatur ini jelas menghina Rasulullah SAW. Disamping di dalam Islam ada larangan menggambarkan sosok Rasulullah SAW, menggambarkan sosok yang dimuliakan umat Islam ini dengan memegang tulisan “Je Suis Charlie” (Kami adalah Charlie) adalah kebohongan dan penghinaan . Bagaimana mungkin Rasulullah SAW berpihak kepada majalah yang selama ini kerap melecehkan Islam dan menampilkan gambar-gambar vulgar ?

Karyawan Charlie Hebdo mengaku, mereka akan tetap mempertahankan tradisinya untuk mengkritik semua agama, politisi, selebriti, dan peristiwa berita lain. Selama ini salah satu argumen pihak Charlie Hebdo untuk tetap menghina Rasulullah, karena bagi mereka Muhammad SAW itu tidak suci, karena itu sah-sah saja dikritik termasuk dengan cara menghina.

Pernyataan ini terang dikecam jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto. Menurutnya, terserah mereka kalau menganggap Nabi itu tidak suci, karena itu keyakinan mereka. Namun bukan berarti karena menganggap tidak suci, berarti boleh dihina.

“ Tetapi jangan menghina dong! Sebagaimana juga umat Islam tidak pernah mengatakan bahwa Dalailama itu adalah orang suci, umat Islam juga tidak menganggap Paus itu suci, namun umat Islam tidak pernah melecehkan mereka dengan gambar-gambar vulgar dan menghina” tegasnya.

Menurut Ismail, persoalan sesungguhnya adalah masalah penghormatan pada keyakinan orang lain. Nilai Liberalisme Barat telah kehilangan hal yang esensi yang harus ada pada manusia yaitu sikap menghormati dan memuliakan. Kebebasan kemudian diartikan kebolehan melakukan apapun termasuk penghinaan.

“ Jadi, ini persoalannya pada respek, menunjukkan kerusakan cara berfikir mereka yang tidak menunjukkan penghormatan. Padahal Barat selalu mengatakan bahwa kita ini harus saling menghormati, kita ini kan hidup dalam multi kultur, namun pada kenyataannya kan tidak,” paparnya. (AF)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*