Soal:
Benarkah memakai celana panjang bagi perempuan termasuk tabarruj? Lalu apa dan siapa yang menentukan batasan tabarruj bagi kaum perempuan sehingga tidak boleh?
Jawab:
Tabarruj secara bahasa adalah menampakkan perhiasan dan kecantikan kepada laki-laki (asing). Di dalam Lisân al-‘Arab dikatakan, at-tabarruj berarti menampakkan perhiasan kepada orang asing; tabarruj itu tercela, sedangkan kepada suami tidak. Dalam al-Qâmûs al-Muhîth dikatakan, “Dia (perempuan) ber-tabarruj.” Artinya, dia menampakkan perhiasannya kepada laki-laki (asing). Dalam Mukhtâr ash-Shihâh dikatakan, at-tabarruj adalah wanita menampakkan perhiasan dan kecantikannya kepada laki-laki (asing). Dalam Maqâyîs al-Lughah dikatakan, [baraja] al-bâ’ wa ar-râ’ wa al-jîm mempunyai dua asal, salah satunya al-burûj dan azh-zhuhûr. Dengan demikian at-tabarruj yaitu wanita menampakkan kecantikannya.
Dari kata izhhâr (menampakkan) dan dari kata al-burûz wa azh-zhuhûr bisa dipahami, bahwa keadaan perhiasan itu menarik pandangan seakan-akan ia (perempuan) menonjolkannya untuk kaum laki-laki. Makna syar’i tidak berbeda dengan ini. Allah SWT berfirman:
وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
Janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan (QS an-Nur [24]: 31).
Jadi, janganlah seorang wanita memukulkan kakinya dengan keras ke tanah saat dia berjalan agar gelang kakinya mengeluarkan suara sehingga kaum laki-laki tahu dan melihatnya, bahwa wanita tersebut memakai perhiasan di pergelangan kakinya di bawah pakaian. Semua ini menunjukkan bahwa tabarruj itu secara bahasa dan syar’i adalah perhiasan yang menarik perhatian.
Makna ini bisa diterapkan pada pakaian celana panjang dalam kehidupan khusus di depan kerabat yang bukan mahram saat mereka datang ke rumah sebagai bentuk silaturahmi, seperti mengucapkan selamat kepada kerabat mereka pada kondisi-kondisi yang dibenarkan oleh syariah, semisal hari raya. Seorang wanita yang mengenakan celana panjang dan selangkangan atasnya di atas kedua paha tampak, maka ini bisa menarik perhatian. Namun, jika ada gamis yang menutupi selangkangan atasnya dari kedua paha dan semacamnya, maka ini tidak menarik perhatian, kecuali pada kondisi yang tidak lazim.
Tidak perlu ada nash yang menyebutkan bahwa memakai celana dalam kehidupan khusus di depan kerabat yang bukan mahram adalah tabarruj. Dalil di atas telah menyebutkan fakta tabarruj itu seperti apa. Ini juga bisa mencakup celana panjang dan blus tanpa gamis yang menutupi selangkangan celana panjang di atas kedua paha dan sejenisnya. Karena itu dalam Soal-Jawab dinyatakan sebagai berikut:
Memakai celana adalah tabarruj. Karena itu wanita tidak boleh muncul dengan celana panjang di depan kerabat yang bukan mahram ketika mereka datang untuk silaturahmi atau memberikan ucapan selamat hari raya…
Jadi, jawaban ini untuk konteks memakai celana panjang dan blus yang tampak di luar tanpa ditutup dengan gamis. Bisa jadi jawaban ini telah menimbulkan kerancuan bagi sebagian akhwat sehingga sebagian dari mereka bertanya tentang topik ini. Untuk memperjelas masalah ini, perlu dijelaskan sebagai berikut:
Sesungguhnya apa yang telah dilansir di situs Hizb mengenai memakai celana panjang di dalam rumah di depan kerabat yang bukan mahram, dan bahwa itu dinilai sebagai tabarruj sehingga tidak boleh dilakukan di depan mereka, ini berlaku jika celana panjang itu terbuka, artinya celana panjang dan blus. Jadi celana itu tampak. Pada kondisi demikian, ini termasuk tabarruj. Wanita tidak boleh memakainya di dalam rumah di depan kerabat yang bukan mahram saat kunjungan mereka ke rumah untuk silaturahmi pada hari-hari raya, misalnya. Namun, jika di luar celana panjang itu ada rok yang tidak menarik perhatian, menutupi celana panjang itu atau menutupi sebagian besar darinya, maka ini tidak termasuk tabarruj di rumah wanita itu di depan kerabat yang bukan mahram saat mereka berkunjung ke rumah untuk silaturahmi di hari-hari raya…
Tentu saja, itu berlaku dalam konteks di dalam rumah, bukan dalam kehidupan umum. Sebab, pakaian dalam kehidupan umum sudah ma’ruf, di dalamnya harus terpenuhi tiga hal: menutupi aurat (satr al-awrah), tidak tabarruj dan mengenakan jilbab syar’i. Masalah ini telah kami rinci.
Tinggal satu masalah, yaitu siapa yang menentukan bahwa ini termasuk tabarruj atau tidak? Apakah syariah, konvensi atau pakar?
Ada beberapa hal yang telah dinyatakan oleh Pembuat Syariah sebagai bentuk tabarruj, sehingga tak diragukan lagi hal itu termasuk tabarruj, dan hukumnya haram menurut nash syariah. Namun, karena dalil yang menyatakan itu merupakan dalil yang menyatakan kasus-perkasus, bukan dalam bentuk makna umum, selain itu juga tidak disertai ‘illat syariah, maka keharamannya terbatas pada kasus itu saja, tidak bisa digeneralisasi untuk yang lain; tidak pula bisa dianalogikan dengan yang lain.
Ada juga hal-hal yang tidak dinyatakan oleh syariah, tetapi ia ada setiap waktu dan sama setiap saat. Hal-hal seperti ini tidak membutuhkan dalil baru, karena masalahnya tidak terkait dengan hukumnya, tetapi terkait dengan faktanya. Ini merupakan deskripsi dan hakikat fakta. Ini tidak ada kaitannya dengan dalil, tetapi terkait dengan fakta, seperti apa?
Begitu juga, fakta seperti ini tidak diketahui melalui konvensi. Pasalnya, konvensi sekadar tradisi yang telah berkembang, lalu menjadi konvensi umum. Adapun tabarruj tidak seperti itu. Tabarruj bukanlah tradisi yang menjadi tradisi sebagian masyarakat, lalu berkembang di tengah mereka. Tabarruj merupakan perhiasan tertentu yang digunakan kaum perempuan berdandan.
Karena itu penilaian tabarruj dari segi substansinya, tatacara dan posisinya, apakah dianggap tabarruj atau tidak, lalu siapa yang menjadi rujukan dalam menilai, inilah fakta tabarruj. Jadi, ini merupakan penilaian tentang perhiasan tertentu, apakah termasuk dalam kategori menampakkan perhiasan dan kecantikan, atau sekadar dandanan biasa. Jadi, masalah tabarruj ini sebenarnya merupakan masalah penilaian. Dengan kata lain, tabarruj ini merupakan fakta penilaian, bukan sesuatu yang menjadi tradisi masyarakat yang mereka buat, lalu berkembang di tengah-tengah mereka. Bukan pula sesuatu yang digunakan dalam peristilahan, karena merupakan fakta, bukan makna ungkapan, sementara istilah menyangkut ungkapan dan maknanya. Jadi, sekali lagi, tabarruj tidak termasuk dalam kategori ini, melainkan penilaian tentang obyek tertentu dari sudut pandang tertentu. Penilaian ini kembali pada sudut pandang tersebut.
Dengan meneliti fakta benda-benda yang membutuhkan penilaian, dan dengan mencermati fakta tersebut, maka tampak, bahwa masyarakatlah yang menjadi rujukan penilaian ini. Dengan kata lain, interaksi masyarakat yang menjadikan mereka sebagai rujukan penilaian ini. Jika mereka berselisih, masalahnya harus dikembalikan kepada pakar (ahli) dalam urusan ini. Karena itu agar dandanan tertentu bisa diketegorikan tabarruj atau tidak, penilaiannya kembali kepada masyarakat tersebut. Jika mereka menilai bahwa dandanan itu bisa menarik perhatian laki-laki asing, maka dari aspek mempertontonkan dandanan, serta kecantikan kepada orang asing ini termasuk dalam ketegori tabarruj. Namun, jika mereka menilai dandanan tersebut merupakan dandanan biasa, maka tidak termasuk tabarruj.
Jadi, tabarruj merupakan dandanan tertentu yang penilaiannya kembali kepada masyarakat, bukan dikembalikan pada syariah, konvensi atau istilah. Ini seperti benda-benda lain yang penilaiannya dikembalikan kepada masyarakat; seperti harga, upah, mahar dan sebagainya. Batasan dan siapa yang menentukan tidak dikembalikan pada syariah, tetapi pada standar masyarakat. Harga, upah dan mahar yang menentukan adalah masyarakat. Masyarakat pula yang menentukan, apakah harga itu termasuk dalam kategori ghabn fakhisy (penipuan yang keji), atau tidak? Masyarakat pula yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Jadi, masyarakatlah yang menentukan batasan tabarruj ini. Jika terjadi perselisihan dalam menentukan upah, harga, mahar, termasuk tabarruj ini, maka harus dikembalikan kepada ahli.
Karena itu, tidak boleh mencampuradukkan antara masalah tabarruj, menutup aurat dan pakaian wanita di tempat umum, yaitu jilbab. Ini adalah tiga hal yang berbeda. Maka dari itu, boleh jadi seorang wanita sudah menutup aurat, tetapi melakukan tabarruj. Boleh jadi dia berpakaian luas, sebagaimana perintah syariah, tetapi dia melakukan tabarruj. Begitulah fakta tabarruj, apa dan siapa yang menentukan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Hizb dalam nasyrah “Soal-Jawab” 24 Muharram 1390 H/1 April 1970 M. [KH. Hafidz Abdurrahman]