Kepolisian Dalam Negara Khilafah

Oleh: Hafidz Abdurrahman, Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI

Kepolisian adalah alat utama negara dalam menjaga keamanan. Dalam negara khilafah, urusan keamanan negara ditangani oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri, yang dipimpin oleh Direktur Keamanan Dalam Negeri. Departemen ini mempunyai Kantor Wilayah di setiap wilayah. Kantor Wilayah Keamanan Dalam Negeri di wilayah tersebut dipimpin oleh Kepala Kepolisian di wilayah itu.

Secara hirarki birokrasi, Kepala Kepolisian yang mengepalai Kantor Wilayah Keamanan Dalam Negeri di suatu wilayah berada di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri, tetapi secara teknis pelaksanaan tugas di lapangan (wilayah) berada di bawah Wali (Kepala Daerah tingkat I). Semua fungsi dan tugasnya diatur dalam UU khusus. Departemen Keamanan Dalam Negeri ini juga berhak untuk menggunakan polisi kapan saja, di mana perintahnya bersifat mengikat.

Jika dalam kondisi tertentu, polisi tidak sanggup mengatasi gangguan keamanan, maka Departemen Keamanan Dalam Negeri bisa meminta bantuan tentara (jaisy). Dalam hal ini, Departemen Keamanan Dalam Negeri berkewajiban melaporkannya kepada khalifah, kemudian khalifahlah yang berhak menginstruksikan tentara untuk membantu Departemen Keamanan Dalam Negeri, atau dengan memberikan support dengan sejumlah personel militer untuk membantu Departemen Keamanan Dalam Negeri dalam menjaga keamanan dalam negeri. Atau, urusan apa saja yang dipandang perlu oleh khalifah. Tetapi, khalifah juga berhak menolak pengajuan Departemen Keamanan Dalam Negeri, serta menginstruksikan agar cukup dengan kesatuan polisi saja.

Jenis Polisi

Seragam Polisi di zaman Khilafah Utsmaniah

Seragam Polisi di zaman Khilafah Utsmaniah

Yang bisa menjadi polisi adalah laki-laki baligh dan warga negara khilafah. Selain laki-laki, perempuan juga berhak untuk menjadi polisi. Keberadaannya dalam rangka melaksanakan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh kaum perempuan, yang terkait langsung dengan masalah keamanan dalam negeri. Dalam hal ini, semua tugas dan fungsinya diatur dalam UU khusus, sesuai dengan ketentuan hukum syara’.

Polisi ini juga bisa dibagi menjadi dua: Pertama, polisi militer. Kedua, polisi yang menjadi alat kekuasaan. Mereka mempunyai uniform (seragam) tersendiri. Tanda dan simbol yang khas untuk menjaga keamanan. Sedangkan polisi militer merupakan satuan tentara, yang mempunyai identitas yang menonjol dibanding tentara yang lain, untuk mendisplinkan urusan tentara. Polisi militer ini bagian dari tentara, yang mengikuti Panglima Perang (Amir al-Jihad), atau berada di bawah Departemen Perang.

Karena itu, polisi yang berada di bawah tangan penguasa, sebagai alat kekuasaan, adalah polisi biasa, bukan polisi militer. Dalam hal ini, satuan polisi ini berada di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri. Dalam hadits Bukhari dituturkan, “Qais bin Sa’ad ketika itu berada di depan Nabi SAW layaknya kepala polisi dengan amir (kepala negara).” Qais bin Sa’ad di sini adalah Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah al-Anshari al-Khazraji.

Meskipun boleh saja khalifah menetapkan seluruh kepolisian, baik polisi biasa maupun polisi militer, berada di bawah tentara, atau di bawah Departemen Perang. Boleh juga dipisah, dan dijadikan satu dengan Departemen Keamanan Dalam Negeri. Semuanya diserahkan kepada pandangan dan ijtihad khalifah.

Jika khalifah nanti memilih untuk dipisah, maka polisi yang bertugas menjaga keamanan dalam negeri ini merupakan alat kekuasaan, yang berada di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri. Departemen ini merupakan struktur tersendiri yang langsung berada di bawah khalifah, sebagaimana struktur pemerintahan yang lain.

Tugas dan Fungsi

Sebagai alat kekuasaan untuk menjaga keamanan dalam negeri, keberadaan polisi sangat penting. Baik yang bersifat pencegahan maupuan penindakan. Beberapa tindakan yang dianggap bisa mengancam keamanan dalam negeri adalah: (1) Murtad dari Islam; (2) Memisahkan diri dari negara; (3) Menyerang harta, jiwa dan kehormatan manusia; (4) Penanganan Ahl ar-Raib.

Jika orang murtad tadi perorangan, maka setelah diberi kesempatan bertaubat dan tenggat 3 hari, tidak mau kembali, lalu divonis hukuman mati, maka polisilah yang melakukan eksekusi hukuman mati tersebut. Namun, jika mereka berkelompok, maka mereka bisa diajak kembali. Jika mereka mereka bertaubat, dan kembali, lalu terikat dengan hukum Islam, maka mereka dibiarkan. Tetapi, jika tetap kukuh dengan sikapnya, jika jumlahnya sedikit, dan cukup bisa ditangani oleh polisi, maka polisilah yang akan memerangi mereka.

Namun, jika polisi tidak mampu, karena jumlahnya besar, maka bisa mengajukan kepada khalifah untuk menambah personel satuan militer guna membantunya. Jika itu pun tidak cukup, maka bisa meminta khalifah untuk menerjunkan militer secara penuh untuk memerangi mereka.

Menghadapi kelompok separatis, jika mereka tidak bersenjata, misalnya hanya membuat onar, merusak, membakar, demo dan menduduki pos-pos vital, dengan menyerang kepemilikan pribadi, negara dan umum, maka untuk mengatasi ini polisi bisa diterjunkan oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri. Namun, jika polisi tidak bisa mengatasinya, Departemen Keamanan Dalam Negeri bisa meminta khalifah menerjunkan personel satuan militer, sampai tindakan destruktif ini benar-benar bisa dihentikan.

Namun, jika gerakan separatis ini bersenjata, menguasai tempat, serta merupakan milisi yang tidak bisa diatasi oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri hanya dengan polisi, maka Departemen Keamanan Dalam Negeri bisa meminta kepada khalifah untuk menerjunkan personel satuan militer, atau militer penuh sesuai dengan kebutuhan. Tetapi, sebelum diperangi, mereka harus diajak negosiasi. Jika mereka mau kembali, maka tidak perlu diperangi. Jika tidak, maka mereka diperangi untuk memberi pelajaran kepada mereka maupun yang lain.

Untuk mengatasi penyerangan terhadap harta, jiwa dan kehormatan masyarakat, seperti begal, perampok, dan sebagainya, maka cukup diserahkan kepada polisi. Bisa untuk mengejar, menangkap, membunuh, menyalib dan atau membuang mereka. Tetapi, jika penyerangan terhadap harta dilakukan melalui pencurian, korupsi, misalnya; penyerangan terhadap jiwa dilakukan melalui pemukulan, pembunuhan, misalnya; penyerangan terhadap kehormatan dilakukan melalui tuduhan zina, dan sebagainya, maka tindakan pencegahannya tidak perlu menggunakan polisi.

Untuk mencegah dan menindak beberapa kejahatan di atas bisa dilakukan dengan pengawasan dan penyadaran, kemudian eksekusi keputusan hakim terhadap pelaku tindak kejahatan tersebut.

Kesimpulan

Kepolisian bukan departemen atau badan yang berdiri sendiri, langsung di bawah kepala negara. Karena ia merupakan alat kekuasaan yang berada di tangan penguasa. Kewenangannya pun dibatasi oleh UU. Tetapi, sebagai alat kekuasaan, tugas dan fungsinya jelas mulia, untuk menegakkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran.

Dengan tugas dan fungsi tersebut, kepolisian jauh dari kepentingan kelompok, partai atau orang-orang tertentu. Dia bekerja untuk sistem, bukan person, kelompok atau kroni.

Untuk menjalankan tugasnya itu, polisi harus mempunyai karakter yang unik, seperti keikhlasan, akhlak yang baik, seperti sikap tawadhu’, tidak sombong dan arogan, kasih sayang, tindak tanduknya baik, seperti murah senyum, mengucapkan salam, menjauhi perkara syubhat, bijak dan lapang dada, menjaga lisan, berani, jujur, amanah, taat, berwibawa dan tegas.

Inilah karekter polisi dalam Islam. Wallahu a’lam.[]

Sumber: Tabloid MediaUmat Edisi 144

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*