[Al-Islam edisi 744, 1 Jumadil Ula 1436 H – 20 Februari 2015 M]
Hakim Sarpin Rizaldi akhirnya memutuskan bahwa penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan oleh KPK tidak sah. Putusan itu ia bacakan dalam sidang di PN Jakarta Selatan, Senin (16/2/2015). Sebelumnya, KPK menetapkan Budi sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di Kepolisian.
Menurut Hakim Sarpin, kasus Budi tidak termasuk dalam kualifikasi seperti diatur dalam UU No 30 tahun 2002 tentang KPK, khususnya pasal 11. Ia beralasan: Pertama, Budi bukan penegak hukum dan bukan penyelenggara negara saat kasus yang disangkakan terjadi. Ini karena jabatan Karobinkar adalah jabatan administrasi dan golongan eselon IIa, bukan eselon I. Kedua, kasus Budi tidak termasuk perkara yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat. Ketiga, kasus yang disangkakan kepada Budi tidak menimbulkan kerugian negara. “Menimbang bahwa perbuatan menerima hadiah atau janji tidak dikaitkan dengan timbulnya kerugian terhadap negara karena perbuatan tersebut berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan. Dengan demikian apa yang diduga dilakukan oleh pemohon (Budi) tidak menyebabkan kerugian negara sehingga kualifikasi dalam Pasal UU KPK tidak terbukti,” kata Sarpin.
Kontroversial
Para pendukung Budi menyambut gembira. Sebagian polisi yang menjaga sidang sampai sujud syukur atas hal itu. Kabareskrim Budi Waseso menyatakan, “Anda lihat kan, seluruh jajaran Polda bersujud syukur. Itu bukti kita sebagai anggota ingin punya pimpinan,” (Jpnn.com, 16/1).
Sebaliknya, putusan Hakim Sarpin dikritik oleh banyak pengamat, ahli hukum, mantan hakim MA dan mantan hakim dan ketua MK. Hakim Sarpin dinilai menyalahi pasal 77 KUHAP. Pasal tersebut secara terbatas mengatur bahwa hanya ada lima hal dalam sebuah proses hukum yang dapat diajukan praperadilan, yaitu sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan serta permintaan ganti rugi dan rehabilitasi nama baik. Hakim Sarpin dianggap melampaui kewenangannya.
Hakim Sarpin juga dianggap plin-plan. Hakim memperluas penafsiran pribadinya dalam hal kewenangan praperadilan. Sebaliknya, ia sangat membatasi penafsiran atas posisi penegak hukum dan penyelenggara negara. Selain itu, pembuktian apakah Budi sebagai penegak hukum atau penyelenggara negara, juga serta pembuktian apakah Budi merugikan negara atau tidak, sebenarnya sudah masuk dalam pokok perkara. Ini tidak dibuktikan di praperadilan, tetapi di pengadilan.
Karena itu aroma campur tangan atas keluarnya putusan itu mencuat. Apalagi Hakim Sarpin dianggap memiliki rekam jejak yang buruk. pernah diperiksa dua kali oleh MA dan delapan kali dilaporkan ke Komisi Yudisial.
Akhirnya, banyak pihak menyarankan agar KPK mengajukan PK ke Mahkamah Agung (MA). MA bisa membatalkan putusan praperadilan itu jika dipandang telah menyalahi hukum.
Makin Suram
Putusan itu bukan menyudahi kisruh KPK-Polri dan kontroversi pelantikan Budi Gunawan menjadi Kapolri. Sebaliknya, kisruh akan terus berlanjut dan kontroversi akan terus bergulir.
Setelah putusan itu, bola ditendang balik ke Jokowi. Jokowi pun kembali dalam dilema. Desakan melantik Budi sebagai Kapolri makin kuat. Jika dilantik, bukan berarti masalah ini selesai. Pasalnya, jika KPK mengajukan PK ke MA, masih ada kemungkinan putusan praperadilan itu dibatalkan oleh MA. Jika dibatalkan oleh MA, sementara Budi telah resmi dilantik, maka akan ada sejarah baru, Kapolri aktif jadi tersangka. Jika itu terjadi, pendapat masyarakat bahwa Jokowi tidak pro pemberantasan korupsi akan makin menguat. Citra pemerintahan bersih yang ingin dibangun Jokowi bisa luntur. Itu bisa menjadi masalah besar bagi Jokowi yang oleh sebagian pihak dinilai sangat mementingkan citra.
Putusan praperadilan itu juga berpotensi menimbulkan masalah baru. Para tersangka, terdakwa bahkan terpidana korupsi yang ditangani KPK bisa ramai-ramai mengajukan praperadilan penetapan tersangka dirinya dengan alasan bukan penegak hukum atau penyelenggara negara, tidak meresahkan masyarakat dan tidak menimbulkan kerugian negara khususnya kasus hadiah atau janji. Jika itu terjadi, Kepolisian dan Kejaksaan akan banyak kesulitan. Pengadilan akan kebanjiran kasus dan angka tunggakan kasus oleh pengadilan akan makin menggunung. Akibatnya, hukum makin tak pasti. Masa depan pemberantasan korupsi pun makin suram.
Kepentingan Politik
Semua yang terjadi itu makin menguatkan bahwa kepentingan politik menyandera penegakan hukum. Ketika kepentingan politik mengemuka, penegakan hukum melemah. Penegakan hukum disandera dan dijadikan alat untuk mencapai dan mempertahankan kepentingan. Pertemuan ketua KPK dengan politisi PDIP, jika benar spiritnya adalah penegakkan hukum, mestinya sesaat setelah kejadian diungkap. Jika baru diungkap sekarang ketika ada masalah, jelas yang dominan adalah kepentingan politik. Begitu pula dalam kasus yang dituduhkan terhadap bakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, Zulkarnaen dan Adnan Pandu yang baru diungkap sekarang.
Proses di KPK juga tidak bisa dianggap tanpa masalah dan nihil dari kepentingan politik. Adanya sebelas tersangka yang hingga kini tidak ditahan, sebagian sudah terhitung lama, menunjukkan ada masalah dalam proses di KPK. Hal itu juga mengindikasikan adanya kepentingan politik dalam proses itu.
Hal itu masih diperparah dengan adanya semangat korp. “Pembalasan” dari Polri terhadap KPK dan lambatnya bahkan minimnya kasus yang melibatkan aparat penegak hukum yang diungkap oleh penegak hukum yang sama adalah indikasi kuatnya semangat korp saling melindungi. Rasa gembira dan sukacita yang diungkapkan banyak anggota Polri atas putusan praperadilan Budi, juga mengindikasikan kuatnya semangat korp itu.
Semua itu antara lain menyebabkan tebang pilih. Penegakan hukum pun seperti pisau bermata satu, tumpul ke atas tajam ke bawah. Realita seperti itu akan mendatangkan bencana bagi negeri ini. Rasul saw. mengingatkan:
« إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللَّهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ ابْنَةَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا »
“Sungguh, yang membinasakan orang-orang sebelum kalian tidak lain karena jika ada orang terpandang mencuri di tengah-tengah mereka, mereka biarkan, dan jika orang lemah yang mencuri, mereka menerapkan had (sanksi). Demi Allah, andai Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku akan memotong tangannya.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Dalam hadis ini, Rasul saw. menegaskan bahwa tidak boleh ada tebang pilih dalam penegakan hukum. Jika itu terjadi maka akan mendatangkan bencana. Rasul saw. menegaskan, penegakan hukum itu tidak boleh pandang bulu. Siapapun yang melanggar hukum harus ditindak dan dijatuhi sanksi. Slogan ini sering diagungkan termasuk sekarang ini. Namun, dalam sistem politik dan hukum yang buruk, slogan itu menjadi slogan-kosong.
Akibat Sistem yang Buruk
Putusan praperadilan kontroversial ini mengungkap sisi lain dari buruknya sistem hukum yang ada. Alasan ketiga di atas, yakni tidak menimbulkan kerugian negara misalnya, justru menjadi alasan pembatalan status tersangka. Hal itu terjadi karena hukum yang ada begitu rumit dan klasifikasinya juga kompleks. Inilah yang membuat hukum sangat rigid dan terbatas serta bisa menimbulkan celah bagi para kriminal untuk lolos dari hukum.
Ini berbeda dengan Islam. Dalam Islam, hadiah terhadap pejabat dan penguasa (yang di luar kewajaran di masyarakat) adalah haram. Karena itu petugas, pejabat dan penguasa yang menerima hadiah berarti melanggar hukum dan tentu harus ditindak. Rasul saw. bersabda:
« هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ »
Hadiah (yang diterima) petugas/pejabat adalah harta ghulul (haram) (HR Ahmad, al-Baihaqi dan Ibn ‘Adi).
Semua itu adalah akibat buruknya sistem politik dan hukum. Sistem politik demokrasi saat ini sarat biaya. Akibatnya, penguasa dan pejabat tersandera oleh kepentingan politik dan kepentingan modal dari para cukong politik (king maker) dan cukong modal (para kapitalis). Sistem politik demokrasi saat ini juga meniscayakan pembagian kekuasaan dan penunjukan pejabat politik dan hukum yang melibatkan berbagai pemegang kekuasaan. Akibatnya, kepentingan politik dan modal ikut menyusup menyandera penegakan hukum.
Pada akhirnya, terjadilah pembekuan, tebang pilih dan kelambanan proses pada sebagian kasus, terutama yang melibatkan elit politik dan modal. Hal itu pula yang dalam kasus kisruh KPK-Polri.
Segera Tegakkan Sistem Islam!
Akankah sistem politik dan sistem hukum yang buruk ini terus dipertahankan? Tentu tidak. Pasalnya, mempertahankan sistem politik dan sistem hukum yang buruk dan salah sama saja dengan mempertahankan keburukan dan kesalahan. Pada titik inilah, tepat direnungkan firman Allah SWT:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Hukum Jahiliyahkah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
Perpanjangan izin usaha pertambangan PT Freeport Indonesia (PTFI) diberikan lebih cepat setelah PTFI sepakat untuk membangun fasilitas pemurnian bijih mineral (smelter) di Gresik, Jawa Timur. Untuk mengakomodasi kepentingan ini, Dirjen Minerba, Kementerian ESDM, R Sukhyar, menyatakan, Pemerintah akan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Kompas.com, 16/2).
- Inilah bukti bahwa Pemerintah terus menganakemaskan Freeport dan Pemerintah lemah di hadapan Freeport.
- Ini juga membuktikan semboyan Tri Sakti ala Jokowi-JK hanya slogan kosong.
- Dengan itu, pengerukan kekayaan negeri ini oleh Freeport dan asing akan terus berlanjut dan dibenarkan oleh Pemerintah sendiri. Ironis. Katanya negeri merdeka, tetapi pemerintahnya melegalkan penjajahan atas negerinya sendiri.