HTI Press, Majalengka. Saat ini masyarakat sedang disibukkan dengan pemberitaan seputar perseteruan yang tidak jelas ujangnya antara dua ‘lembaga penegak hukum’ yaitu KPK vs Polri. Seolah hal ini menjadi episode lanjutan dari perseteruan ‘Cecak vs Buaya’. Dan pemberitaan tentang kasus ini terus berulang-ulang disiarkan di media massa sehingga pada akhirnya membuat masyarakat merasa jenuh dan bosan karena pengungkapan kasus yang dipersoalkan nampak jelas apa kepentingannya, siapa yang berkepentingan atau mengambil keuntungan serta siapa pihak yang dibidik. Maka kesan yang terbentuk di tengah masyarakat ‘penonton’ pun : sedang terjadi permainan hukum dengan kepentingan politik praktis dan kekuasaan.
Fakta yang terjadi saat ini tentu sangat menarik dan penting untuk dianalisis dan disikapi secara benar. Guna mencoba mengajak masyarakat untuk memandang kasus ini secara proporsional, Hizbut Tahrir Indonesia DPD Majalengka menggelar acara bulanan Majelis Siyasiy pada hari Ahad 22 Februari 2015 bertempat di Masjid An Nur Kompleks Neglasari Majalengka Wetan. Dengan mengangkat tema “”, dihadirkan narasumber dari pengurus HTI Majalengka yaitu Ust. Pendi Supendi dan Ust. Mundzir Islam yang dipandu oleh moderator Ust. Aip Hidayatullah.
Ust. Pendi dalam paparan pengantarnya menegaskan bahwa perang ‘Bratayudha’ yang terjadi antara KPK vs Polri sesungguhnya adalah bukti kebobrokan sistem Demokrasi. Dalam sistem yang mendewakan suara manusia maka hukum pun dengan mudah dipermainkan oleh kepentingan Politik Pragmatis dan Kekuasaan. Kesimpulan ini terlihat jelas dari kenyataan bahwa perseteruan yang terjadi menunjukkan adanya upaya saling sandera diantara kedua lembaga melalui pengungkapan ‘kasus lama’ yang diangkat ke permukaan pada saat diperlukan. Dengan kata lain nampak ada kesengajaan pengungkapan suatu kasus yang dipilih karena dapat dimanfaatkan untuk menyerang seterunya.
Pernyataan narasumber pertama tersebut diamini oleh narasumber kedua, Ust. Mundzir Islam. Ketika sistem yang diterapkan bukan sistem Islam, maka hukum tunduk atau mengikuti realita sehingga ketika realita berubah maka hukum pun dapat berubah. Akhirnya penegakan hukum pun terjebak dalam prilaku pragmatis. Maka terjadilah serangkaian kerusakan : setelah hukumnya sendiri dibuat oleh manusia dengan banyak kepentingannya, penegakannya pun sangat ditentukan oleh berbagai kepentingan manusia.
Maka dapat disimpulkan bahwa perseteruan antara KPK vs Polri saat ini seperti ungkapan seorang Profesor Hukum dalam sebuah acara : “Cecak itu hidup dari mulai istana hingga rumah kumuh” sementara “Buaya itu adalah hewan yang makanannya bangkai”. Artinya, ini adalah persoalan yang bukan hanya pada tataran elit penguasa tetapi menyangkut kepentingan semua orang dan yang sedang dipersoalkan adalah sesuatu yang sesungguhnya telah bobrok dari asalnya.
Oleh karenanya, di balik kisruh KPK vs dan Polri saat ini menegaskan tentang betapa buruknya sistem yang berlaku saat ini, yaitu sistem demokrasi yang berlandaskan ‘Suara Manusia = Suara Tuhan”, dan suara manusia yang diuntungkan pastinya adalah para pemilik modal (kapitalis). Sebaliknya, kita harus berjuang sekuat tenaga untuk menegakkan sistem mulia yang menjamin kepastian hukum dengan penerapan hukumnya yang penuh dengan keadilan, yaitu sistem Islam melalui penerapan Syariat Islam Kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiyyah.[]MI HTI Majalengka