عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ:
« إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ وَسَتَصِيرُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَنِعْمَتِ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ »
Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Sungguh kalian akan berambisi terhadap kepemimpinan dan kepemimpinan itu akan menjadi penyesalan dan kerugian pada Hari Kiamat kelak. Alangkah baiknya permulaannya dan alangkah buruknya kesudahannya.” (HR an-Nasa’i, Ahmad dan al-Bukhari).
Dalam hadis ini Nabi saw. memperingatkan tentang ambisi terhadap imârah (kepempiminan). Ini mencakup imârah al-kubrâ (al-khilâfah) dan imârah ash-shughra (imârah atas suatu wilayah atau daerah yang terkecil sekalipun).
Sabda Rasul saw. “satahrishûna (kalian akan berambisi),” menunjukkan pada kecintaan nafsu terhadap kepemimpinan karena di dalamnya bisa diraih berbagai bagian dan kelezatan dunia serta berlakunya ucapan. Karena itu ada larangan meminta al-imârah. Rasul saw. bersabda:
«لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّك إنْ أُعْطِيتهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وَكِلْت إلَيْهَا، وَإِنْ أُعْطِيتهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْت عَلَيْهَا»
Jangan engkau meminta al-imârah karena sesungguhnya jika engkau diberi al-imârah karena meminta maka engkau diserahkan padanya, dan jika engkau diberi al-imârah tanpa meminta maka engkau ditolong atasnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Menurut ash-Shan’ani dalam Subul as-Salâm, Nabi saw. melarang meminta al-imârah itu tidak lain karena kekuasaan itu memberi kekuatan setelah kelemahan dan kemampuan setelah ketidakmampuan. Semua itu bisa diambil oleh jiwa yang kasar dan cenderung atas keburukan sebagai wasilah balas dendam kepada orang yang dianggap musuh dan sebaliknya memperhatikan teman, mengikuti tujuan-tujuan rusak, akibatnya tidak baik dan tidak ada keselamatan menemaninya. Karena itu yang lebih utama adalah semampu mungkin al-imârah itu tidak diminta.
Rasul saw. juga memperingatkan bahwa al-imârah itu pada Hari Kiamat kelak bisa menjadi penyesalan dan kerugian. ‘Auf bin Malik ra menuturkan, Nabi saw. bersabda:
«إِنْ شِئْتُمْ أَنْبَأْتُكُمْ عَنِ الإِمَارَةِ وَمَا هِيَ؟ أَوَّلُهَا مَلامَةٌ، وَثَانِيهَا نَدَامَةٌ، وثَالِثُهَا عَذَابٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلا مَنْ عَدَلَ»
Jika kalian mau, aku akan memberitahu kalian tentang kepemimpinan (al-imârah), apakah itu? Awalnya adalah celaan. Yang kedua adalah penyesalan. Yang ketiganya adalah azab pada Hari Kiamat kecuali orang yang berlaku adil (HR al-Bazar dan ath-Thabrani).
Al-Minawi di dalam Faydh al-Qadir menjelaskan bahwa al-imârah itu bias menggerakkan sifat-sifat terpendam; jiwa bisa didominasi oleh kecintaan atas prestise, kelezatan berkuasa dan perintah dilaksanakan. Semua itu kenikmatan dunia yang paling besar. Jika semua itu dicintai maka seorang penguasa/pejabat bisa berusaha mengikuti hawa nafsunya pada bagian dirinya sendiri dan mengedepankan apa yang dia inginkan meski batil dan pada yang demikian itu dia binasa.
Nabi saw. menegaskan kembali peringatan itu dengan kelanjutan sabda beliau, “fani’mati al-murdhi’ah wa bi’sati al-fâthimah”. Maknanya menurut ad-Dawudi, seperti dikutip oleh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dan oleh yang lain: ni’mati al-murdhi’ah, yakni di dunia, dan alangkah buruknya al-fâthimah, yakni setelah mati, sebab harus mempertanggungjawabkan atas hal itu. Karena itu dia seperti orang yang disapih sebelum cukup untuk disapih maka hal itu menjadi kebinasaannya. Menurut al-Karmani, dikutip oleh Mula Ali al-Qari dalam ‘Umdah al-Qari, ni’mati al-murdhi’ah bemakna alangkah baik awalnya, sementara bi’sati al-fâthimah yakni alangkah buruk akhirnya. Hal itu karena bersama al-imârah itu ada harta, prestise, dan kesenangan inderawi dan imajinatif pada awalnya; tetapi kesudahannya adalah pembunuhan, pemecatan dan tuntutan atas konsekuensi al-imârah itu di akhirat.
Jika seperti itu, al-imârah akan benar-benar menjadi penyesalan dan kerugian di akhirat kelak bagi yang menyandangnya. Seperti yang dinyatakan dalam hadis di atas, hal itu adalah bagi orang yang tidak berlaku adil di dalamnya.
Di dalam hadis lain, ketika Abu Dzar meminta agar diberi jabatan, Rasul bersabda kepada dia:
«يَا أَبَا ذَرّ إِنَّك ضَعِيف، وَإِنَّهَا أَمَانَة، وَإِنَّهَا يَوْم الْقِيَامَة خِزْي وَنَدَامَة إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا»
Wahai Abu Dzar, sungguh engkau lemah. Sungguh jabatan/kekuasaan itu adalah amanah dan sungguh ia menjadi kerugian dan penyesalan pada Hari Kiamat, kecuali orang yang mengambil amanah itu dengan benar dan menunaikan kewajibannya di dalamnya (HR Muslim).
Imam an-Nawawi menjelaskan di dalam Syarh Shahîh Muslim, “Hadis ini merupakan pokok yang agung dalam menjauhi jabatan/kekuasaan, apalagi untuk orang yang pada dirinya ada kelemahan dari menunaikan tugas-tugas jabatan/kekuasaan itu. Kerugian dan penyesalan menjadi hak orang yang tidak layak untuk jabatan/kekuasaan itu; atau ia layak tetapi tidak berlaku adil di dalamnya sehingga Allah membuat dia merugi pada Hari Kiamat dan menelanjanginya, dan ia menyesal atas apa yang ia telantarkan. Adapun orang yang layak untuk jabatan/kekuasaan dan berlaku adil di dalamnya maka untuknya keutamaan yang agung yang dijelaskan dalam banyak hadis sahih.”
Jadi hadis-hadis ini menunjukkan beratnya tanggung jawab kepemimpinan. Ia seperti pisau bermata dua. Jika orang yang memikulnya tidak layak, mengambilnya dengan tidak benar, tidak berlaku adil di dalamnya, tidak menunaikan kewajiban yang semestinya, maka itu akan menjadi kerugian dan penyesalan bagi dirinya di Akhirat; sementara di dunia akan mendatangkan bencana bagi rakyat yang dipimpin. Sebaliknya, jika orang yang memikul jabatan/kekuasaan itu memang layak untuk dia, dia mengambilnya dengan benar, berlaku adil di dalamnya, menunaikan kewajibannya, maka untuk dia ada keutamaan dan karunia besar di Akhirat; dan didunia itu akan menjadi berkah dan kebaikan bagi rakyat yang dipimpin.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]