Meski dalam Islam ada hukuman mati, namun hukuman mati di Indonesia tidak sesuai dengan syariah Islam. “Maka menurut saya, hukuman mati di Indonesia perlu disyariahkan, dengan memenuhi dua syarat,” ujar Pimpinan Pondok Pesantren Hamfara, Bantul, DIY KH Shiddiq Al Jawi seperti diberitakan tabloid Media Umat Edisi 146: Hukuman Mati, Mengapa Tidak? Jum’at (6-19 Maret).
Karena, ungkap Shiddiq, hukuman mati dan juga seluruh sanksi pidana lainnya (‘uqubat), baru sah menurut Islam jika terpenuhi dua syarat.
Pertama, hukuman mati itu wajib berdasarkan syariah Islam saja, bukan berdasarkan hukum lainnya, seperti KUHP, atau berbagai perundang-undangan lainnya, misalnya UU Penanggulangan Terorisme, UU Narkoba, dsb. Semuanya adalah hukum kufur, bukan hukum syariah Islam.
Karena dalilnya jelas, yakni membunuh itu dilarang, kecuali dengan alasan yang benar (QS Al An’aam : 151), maksudnya dengan alasan yang dibenarkan oleh syariah Islam. Jadi kalau dibenarkan KUHP, tidak cukup. Harus dibenarkan syariah Islam.
Kedua, hukuman mati itu dilaksanakan hanya oleh khalifah (imam/kepala negara Islam) atau wakilnya. Tidak boleh hukuman mati dilakukan oleh perorangan atau kelompok atau pemerintah, yang bukan pemerintahan khilafah yang dipimpin oleh khalifah (imam/kepala negara Islam).
Hal ini sudah disepakati oleh seluruh fuqaha tanpa kecuali. Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan,”Ittifaqal fuqohaa` ‘ala annahu laa yuqiimul hadda illal imaamu au naa`iubuhu.” Artinya, seluruh ahli fiqih telah sepakat bahwa tidak boleh menegakkan huduud, kecuali imam (khalifah) atau wakilnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 17/144).
“Nah, faktanya pemerintahan di Indonesia bukan sistem khilafah, tapi sistem republik. Jadi, hukuman mati yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, tidak sah menurut syariah Islam,” pungkasnya. (mediaumat.com, 6/3/2015)