[Al-Islam edisi 747, 22 Jumadul Awal 1436 H – 13 Maret 2015 M]
Setelah harga beras naik, harga kebutuhan pokok lainnya pun ikut naik (Republika, 9/3). Kenaikan harga juga terjadi pada barang dan jasa lainnya. Kenaikan harga itu bukan saat ini saja, namun sudah terjadi sejak Jokowi menaikkan harga BBM pada 18 November 2014 lalu.
Akibat Kebijakan Kapitalistik
Harga beras naik sekitar 30% pada bulan Februari dan hanya sedikit turun memasuki bulan Maret. Memasuki bulan Maret, harga cabai, bawang dan sebagian sayuran juga naik lagi.
Harga gas juga naik. Pertamina menaikkan harga gas 12 kg menjadi Rp 134 ribu pertabung. Sebagian orang lantas beralih ke gas 3 kg. Gas 3 kg di beberapa daerah pun langka. Harganya naik menjadi Rp 20 ribu pertabung.
Harga BBM mulai 1 Maret 2015 untuk jenis Premium juga naik. Di luar Jawa-Madura-Bali, harga Premium naik dari Rp 6.600/liter menjadi Rp 6.800/liter. Di Jawa-Madura-Bali, harganya naik Rp 100/liter menjadi Rp 6.900/liter.
Seakan kurang, masih ada lagi yang akan dinaikkan oleh Pemerintah seperti tarif listrik, tarif tol dan iuran BPJS. Dengan alasan defisit, iuran BPJS diusulkan naik. Tarif listrik akan dinaikkan lagi agar sama dengan harga keekonomian. Pemerintah pun akan mengenakan PPN 10% untuk tarif tol per 1 April. Itu artinya per 1 April tarif semua ruas tol akan naik 10%. Dipastikan hal itu akan menaikkan biaya logistik dan transportasi. Berikutnya, lagi-lagi harga berbagai barang juga akan naik. Ini akan makin parah sebab pada Oktober 2015 nanti tarif 20 ruas tol akan dinaikkan lagi sekitar 15%.
Semua itu diperparah oleh nilai mata uang rupiah yang terus terpuruk. Nilai rupiah malah terus terpuruk sejak beberapa hari setelah Jokowi dilantik. Bahkan mengutip Reuters, Kamis (5/3/2015), dolar AS saat ini tembus sampai Rp 13.020. Dolar AS berada di posisi terkuat dalam 17 tahun terakhir.
Jelas, penyebab utama kenaikan harga-harga itu adalah kebijakan Pemerintah yang sangat kapitalistik. Akibatnya, rakyat makin tercekik.
Faktor Mendasar: Penerapan Sistem Kapitalisme Neoliberal
Kenaikan harga-harga itu bisa dipengaruhi oleh dua faktor: faktor mekanisme pasar dan selain faktor mekanisme pasar. Faktor mekanisme pasar adalah faktor penawaran dan permintaan. Ketika penawaran berkurang, karena stok berkurang atau minim, atau karena permintaan naik drastis, maka harga akan naik. Faktor itu memang ada, tetapi tampak tidak terjadi secara alami.
Faktor lain justru lebih lebih besar. Dalam hal kenaikan harga beras, misalnya, para pejabat Pemerintah termasuk Bulog menyatakan, stok beras nasional cukup. Karena itu semestinya harga beras tidak melonjak sedemikian rupa. Jika hal itu terjadi, kemungkinan besar ada pihak-pihak yang bermain. Menurut sebagian pengamat, para pemain besar yang jumlahnya 5-8 bisa memainkan harga.
Pemerintah secara tersirat juga mengakui kemungkinan adanya permainan mafia beras. Jika itu terjadi mestinya segera dilakukan tindakan hukum secara tegas. Sampai hari ini, Pemerintah baru sebatas mengancam, tetapi tindakan tegas itu belum terdengar.
Kenaikan harga-harga tampaknya justru lebih banyak dipengaruhi oleh selain faktor mekanisme pasar. Dalam hal ini adalah karena Pemerintah mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme neo-liberal yang doktrinnya adalah negara harus seminimal mungkin turut campur dalam perekonomian. Negara cukup menjadi regulator (pengatur) saja. Menurut doktrin ideologi ini, subsidi dianggap haram. Ketika subsidi dikurangi maka harga otomatis naik. Rezim Jokowi malah mencabut subsidi untuk Premium dan menetapkan subsidi tetap Rp 1.000 perliter untuk solar. Akibatnya, harga Premium dan Solar naik-turun mengikuti harga pasar. Kenaikan per 1 Maret lalu adalah konsekuensi dari hal itu. Doktrin ini pulalah yang ada di balik kenaikan harga gas 12 kg dan kenaikan tarif kereta api jarak jauh mulai April nanti.
Sistem kapitalisme itu juga memiliki doktrin bahwa negara tidak boleh mengelola langsung kekayaan alam. Pengelolaan kekayaan alam itu harus diserahkan kepada swasta. Akibatnya, negara kehilangan sumber pendapatan yang besar sekali.
Di sisi lain, teori kontrak sosial dalam demokrasi mengharuskan rakyat membiayai semua yang dilakukan Pemerintah yang diangkat untuk mengurusi rakyat. Pembiayaan itu dilakukan oleh rakyat melalui pajak. Target pendapatan pajak rezim Jokowi tahun 2015 ini naik seiring makin besarnya APBN. Untuk memenuhi target tersebut setidaknya akan dilakukan dengan tiga cara. Pertama: menaikkan besaran pajak. Kedua: memperluas penyetor pajak yakni yang sebelumnya belum membayar pajak akan dikejar supaya bayar pajak. Ketiga: memperluas obyek yang dikenai pajak. Dalam konteks inilah, terjadi pengenaan PPN 10% atas tarif tol mulai April nanti.
Kenaikan harga juga karena pengaruh melemahnya nilai kurs rupiah. Ini jelas berkaitan dengan banyak sistem, seperti sistem moneter dan fiskal; juga berkaitan perdagangan, produksi, ekspor impor, investasi, finansial dan lainnya.
Dengan demikian kenaikan harga itu lebih banyak dipengaruhi oleh faktor penerapan ideologi dan sistem kapitalisme oleh Pemerintah selama ini. Selama sistem kapitalisme itu diterapkan dan terus dipertahankan maka kenaikan harga-harga akan terus terjadi.
Harga-harga Stabil Hanya dengan Sistem Islam
Sistem Islam, ketika diterapkan sepenuhnya, akan bisa mewujudkan kestabilan harga-harga. Dengan sistem moneter Islam yang berbasis emas dan perak, misalnya, nilai kurs mata uang menjadi stabil. Hal itu akan berpengaruh pada kestabilan harga-harga.
Dalam sistem Islam, pajak dan cukai haram sehingga tidak boleh menjadi sumber pemasukan negara. Dalam sistem Islam, sumber pemasukan negara di antaranya dari pengelolaan harta milik umum, termasuk barang tambang dan kekayaan alam lainnya, yang menjadi milik seluruh rakyat. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Semua hasilnya adalah untuk kemaslahatan rakyat.
Islam pun melarang infrastruktur (sarana) yang menjadi hajat hidup rakyat banyak dikuasai oleh swasta. Semua itu harus dibangun oleh negara dan digunakan oleh seluruh rakyat tanpa bayaran. Dengan begitu biaya logistik menjadi murah. Pada akhirnya, kestabilan harga akan bisa diwujudkan.
Penerapan sistem ekonomi Islam akan bisa membuat mekanisme pasar berjalan dengan baik. Jika ada penyimpangan pasar semisal penimbunan maka pelakunya akan ditindak tegas. Sebab, menimbun adalah haram. Rasul saw. bersabda:
« لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ »
Tidaklah menimbun kecuali orang yang berbuat salah (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad).
Kejahatan penimbunan ini berkaitan dengan hak masyarakat sehingga tidak harus menunggu adanya pengaduan. Qadhi (hakim) dan aparat penegak hukum bisa langsung memeriksa dan menindak pelakunya seketika di tempat.
Islam juga mengharamkan praktik kartel dan adanya kesepakatan antar pelaku ekonomi, baik produsen atau pedagang, untuk menetapkan harga tertentu. Rasul saw. bersabda:
«مَنْ دَخَلَ فِي شَيْءٍ مِنْ أَسْعَارِ الْمُسْلِمِينَ لِيُغْلِيَهُ عَلَيْهِمْ، فَإِنَّ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُقْعِدَهُ بِعُظْمٍ مِنَ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
Siapa saja yang campur tangan terhadap harga kaum Muslim untuk membuat harga itu mahal atas mereka, maka Allah berhak mendudukkan dia di tempat duduk dari neraka pada Hari Kiamat (HR Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Namun, kestabilan harga itu tidak boleh dikontrol oleh Pemerintah dengan jalan dipatok. Sebab, pematokan harga (at-tas’îr) juga haram meski dilakukan oleh Pemerintah sekalipun.
Ketika syariah Islam diterapkan menyeluruh maka kontrol harga bisa diwujudkan. Dengan semua itu maka gejolak harga tinggal disebabkan faktor alami atau mekanisme pasar. Untuk mengontrol harga karena faktor mekanisme pasar, negara akan menerapkan manajemen logistik termasuk zonasi produksi, pemberian bantuan untuk berproduksi, sistem informasi pasar dan manajemen distribusi yang baik. Selain itu juga dilakukan kontrol keseimbangan penawaran dan permintaan. Untuk itu, institusi negara penyangga harga (semacam Bulog sekarang) membeli hasil produksi dan mengalirkan barang ke pasar secara kontinu sesuai kebutuhan dalam rangka menstabilkan harga. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khathab ketika di Hijaz harga-harga melambung dan terjadi paceklik. Khalifah Umar lalu mendatangkan bahan makanan dan barang lainnya dari Syam, Irak dan Mesir sehingga masalah bisa diatasi.
Begitulah karakter pemimpin dalam Islam. Dalam Islam, Pemerintah wajib memelihara kepentingan umat dan bertanggung jawab di hadapan Allah SWT atas hal itu. Rasul saw. bersabda:
« كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ »
Setiap kalian adalah pengatur/pemelihara dan setiap kalian bertanggung jawab atas pemeliharaannya. Seorang pemimpin yang memimpin masyarakat adalah pengatur/pemelihara dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Semua itu hanya bisa berjalan efektif jika syariah Islam diterapkan secara total di bawah sistem Khilafah ar-Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian yang memang menjadi kewajiban bagi kaum Muslim.
Karena itu umat Islam harus berjuang bersama secara sungguh-sungguh untuk mewujudkan Khilafah itu sesegera mungkin dengan pertolongan Allah SWT. Saat untuk itu sekarang telah tiba.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam
Fahira Fahmi Idris menjelaskan, sebanyak 14,4 juta orang atau 23 persen dari total 63 juta remaja Indonesia remaja mengonsumsi miras pada 2014 lalu (Republika, 9/3).
- Wajar saja jika akhirnya banyak remaja menjadi pelaku kejahatan, termasuk kejahatan begal motor.
- Semua itu karena penerapan ideologi dan sistem kapitalisme sekular. Ini tak boleh dibiarkan dan harus segera dihentikan.
- Selamatkan generasi muda dari miras melalui penerapan syariah Islam secara total di bawah sistem Khilafah ar-Rasyidah.