Terbuka Lebarnya Investasi Asing, Jadi Sarana Penjajahan Negeri Sendiri

HIP Maret 2015 di Kota Tanjung, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan SelatanHTI Press, Tabalong. “DPR dan Pemerintahan di tingkat manapun, semuanya sama, meski mereka wakil serta pimpinan rakyat, tapi pada prakteknya, mereka malah memperkuat hegemoni penjajahan terhadap masyarakat sendiri”, tegas pengurus Lajnah Khusus Intelektual (LKI) Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tingkat I Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kalimantan Selatan, Sutarto, saat menjadi pembicara, di Halqah Islam dan Peradaban (HIP), di Gedung Informasi Pembangunan Kabupaten Tabalong, Ahad (8/3) kemarin.

Setidaknya pernyataan tersebut cukup beralasan, karena DPR maupun pemerintah, telah membuat aturan yang semakin memperkuat penjajahan gaya baru di Indonesia, yang dikenal sebagai Neoliberalisme dan Neoimperialisme, seperti hadirnya regulasi, yang mempersilahkan kekayaan alam nusantara, untuk dikuasai negara luar.

Tidak hanya itu, telekomunikasi, ekonomi, dan sektor penting lainnya, juga diperbolehkan pemerintah Indonesia untuk diambil alih orang asing, dengan dalih investasi. Hasilnya pun sudah dirasakan, yakni semakin terjajahnya negeri sendiri, dan malah menguntungkan negara lain.

Sutarto menjelaskan, penjajahan di Indonesia, bermula secara fisik, saat hadirnya VOC di nusantara. Meski perusahaan Belanda tersebut telah bangkrut, namun penjajahannya masih terasa, dengan berubah bentuk lewat cara yang berbeda, akibat rakyat Indonesia yang telah terbiasa tertekan.

“Ada seorang suami yang sering marah, ketika istrinya tidak menyediakan kopi sepulang kerja. Dari kebiasaan itu, sang istri pun akhirnya terbiasa pula menyiapkan kopi tanpa disuruh, dikarenakan takut dimarahi lagi”, jelasnya.

Akibat terbiasa terjajah ini lah, maka penjajah tidak lagi lelah untuk mengeruk kekayaan negara lain. Hasilnya, tanpa kekerasan atau penindasan secara fisik, maka negara bekas jajahan, akan dengan sendirinya menyediakan upeti tanpa disuruh.

Kondisi ini bertambah parah, dengan banyak lahirnya kebijakan baru yang juga berbau neoliberal. Peran pemerintah yang seharusnya melayani rakyat, malah semakin minimal, dan diserahkan ke warga, untuk menghidupi dirinya sendiri, seperti permasalahan asuransi sosial BPJS, dan pencabutan subsidi BBM.

Sutarto menegaskan, perilaku neoliberalisme dan neoimperialisme ini, telah dijalani semua presiden Indonesia. Dimulai sejak Soekarno hingga Jokowi, sehingga para pengusungnya, juga akan menerima pertanggungjawabannya kelak di akhirat.

Pengurus DPD tingkat II HTI Tabalong, Gusti Orrin Prayuda Wardana, yang juga menjadi pembicara, menambahkan, bahwa mengusung dan mengemban dua paham penjajahan tersebut, hukumnya adalah haram. Karena dianggap sebagai pengkhianat kaum muslimin, yang telah membiarkan negerinya dikuasai orang kafir.

“Dan Allah tidak akan pernah memberikan kesempatan bagi orang kafir, untuk menguasai kaum mukmin,” sebutnya sambil mengutip ayat 141 surah An-Nisa kitab suci Al-Qur’an.

Gusti Orin menjelaskan, salah satu bentuk jebakan neoliberalisme dan neoimperialisme yang diterapkan pemerintah saat ini, adalah dengan membuka seluas-luasnya keran investasi. Dan kebijakan tersebut menurut Orrin, juga termasuk dalam aktivitas keharaman, karena membuat sarana penjajahan gaya baru terhadap negerinya sendiri.

Untuk itu, ia mengajak masyarakat agar saling memperkuat ketakwaan pribadi. Karena jika sudah terbentuk, maka akan lahir keinginan kuat untuk mengamalkan kewajiban dalam Islam secara menyeluruh, termasuk dengan ikut memperjuangkan ditegakkannya syariah dan khilafah di Indonesia. []MI HTI Kalsel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*