HTI Press, Makassar. Topik Neoliberalisme dan Neoimperialisme menjadi perbincangan hangat dalam kunjungan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ke DPRD Provinsi Sulsel, Selasa 10 Maret.
Delegasi DPD I HTI Sulsel tersebut mengikutsertakan Dirwan Abdul Jalil selaku Humas, Abdul Salam selaku Ketua Lajnah Siyasah,Fauzan Abu Fikri selaku Ketua Lajnah Faaliyah, Ali Wardana dari Lajnah Khas Ulama beserta Tim dan diterima di ruangan Komisi E oleh perwakilan pimpinan DPRD Sulsel diantaranya Usman Lanto dan Syahruddin Alrif.
Fauzan yang memulai pembicaraan mengatakan bahwa kunjungan HTI kali ini utamanya disamping silaturahim juga ingin membangun komunikasi kepada seluruh komponen ummat termasuk tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga pemerintahan dalam rangka memberikan pemikiran tentang solusi terkait permasalahan bangsa dengan syariah Islam.
”Sebagai bagian dari komponen ummat kami dari Hizbut Tahrir tentu perduli dengan persoalan yang sedang menimpa bangsa ini. Kami terus berkomunikasi dengan berbagai komponen ummat, dengan harapan tentu kita sebagai seorang muslim apapun problemnya, kita berkewajiban merespon dan mengambil peran penting untuk memperbaiki bangsa ini,” tuturnya.
Menyambung hal tersebut Jalil pun menuturkan bahwa Hizbut Tahrir selalu mengusung Khilafah sebagai solusi dari segala macam problem ke-ummatan, tetapi tentu Hizbut Tahrir juga merespon kondisi-kondisi ke-kinian lokal, nasional dan global.
“Problematika umat sekarang ini seperti neoliberalisme dan neoimperialisme, ini merupakan lebih kepada persoalan legislasi Undang-undang,” ungkap Humas.
Salam kemudian menimpali bahwa sesungguhnya berbagai permasalahan yang menimpa negeri ini mengisyaratkan ada kerusakan sistemik karena persoalan yang ada ini terus berulang dengan pola yang cenderung sama sebagaimana pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang diserahkan kepada swasta asing atau yang biasa di istilahkan dengan neoimprealisme.
“Ada upaya sistematisasi untuk mengambil alih kekayaan alam kita yang strategis dengan menggunakan kerangka legislasi. Kajian kita (HTI), menunjukkan bahwa ada puluhan produk perundang-undangan lahir untuk melegitimasi pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh investor asing. Dan Indikator ini sudah menunjukkan senyata-nyatanya pihak legislatif punya kontribusi besar dalam kerusakan negeri ini, karena produk legislasi itu dilahirkan oleh proses legislasi para legislator,” ungkapnya sambil menambahkan bahwa peringatan ini adalah bentuk rasa sayang Hizbut Tahrir kepada para para anggota DPRD.
“Kita telah diombang-ambingkan oleh produk kolonial yang kemudian kita pake sebagai hukum negara. Dan kita juga telah main–main untuk mencoba membuat hukum sendiri tetapi melalui produk-produk legislasi dari proses politik yang dilakukan sarat dengan tawar-menawar politik,” tegas pria asal Jawa tersebut.
Menanggapi hal tersebut Usman dari unsur DPRD mengatakan bahwa proses terbentuknya peraturan daerah itu yang pertama karena perintah undang-undang dari pusat yang kedua karena tugas mengelola otonomi daerah, yang ketiga kebutuhan masyarakat.
Usman Lanto mengakui bahwa Islam bukan hanya mengatur persoalan perkawinan, yang kemudian diadopsi sebagai produk hukum yang di ilhami oleh Al-Quran, namun Islam juga mengatur tentang sumberdaya alam mineral dan sumber energi, “ketika produk perundang-undangan itu lahir yang diilhami oleh Al-Quran rupanya lebih menjanjikan kesejahteraan, ini menurut saya yang perlu terus digelorakan” tutur Usman yang juga salah satu peserta Konferensi Khilafah Internasional 2007 di Jakarta.
Terakhir legislator muda Syahruddin Alrif yang juga sebagai Sekjen Pemuda Muhammadiyah itu mengapresiasi pembinaan Hizbut Tahrir kepada kaum muda, selain itu diapun mengatakan akan menghadiri even akbar di bulan Rajab nanti, “insya allah kalau kita di undang, kita akan hadir,” akunya. [MI Sulsel].