Philip Hammond, Menlu Inggris, telah masuk dalam perdebatan keterlibatan MI5 dan apakah menjadi faktor pemicu yang meradikalisasi Muhammad Emwazi menjadi hal yang sudah jelas. Di satu sisi dia mengklaim, “Sudah sangat jelas bagi kami; tanggung jawab atas aksi teror terletak pada mereka yang melakukannya.” Namun dia membuat kontradiksi terhadap pernyataannya sendiri ketika mengatakan, “Tapi beban tanggung jawab yang besar juga terletak pada orang-orang yang bertindak sebagai pembela bagi mereka.”
Jadi apakah hanya orang-orang yang melakukan tindakan teror itu yang bertanggung jawab? Ataukah ada faktor-faktor lain yang berperan? Jelas pernyataan kontradiksi dari Hammond ini tidak menjelaskan pertanyaan-pertanyaan ini. Tidak mengherankan bahwa para pejabat tinggi membuat pernyataan-pernyataan konyol seperti itu ketika sedang berusaha menyesuaikan kata-kata mereka untuk memasukkan suatu kotak persegi ke dalam sebuah lubang bundar.
Pemerintah sedang berusaha menjajakan narasi yang mengklaim bahwa kekerasan politik tidak memiliki konteks politik eksternal tetapi lebih merupakan masalah khusus dalam masyarakat Muslim. Oleh karena itu, terlepas dari apakah kebijakan pemerintah yang dibuat, kekerasan dari umat Islam akan selalu terjadi. Dengan demikian, kaum Muslim secara kolektif bertanggung jawab atas tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun yang kebetulan agamanya sama dengan mereka. Ini adalah kegagalan kolektif dari masjid-masjid, pusat-pusat komunitas, madrasah-madrasah, para orang tua dan Imam mereka. Oleh karena itu pemerintah harus turun tangan untuk mengawasi komunitas Muslim, mengontrol lembaga-lembaga mereka, mendefinisikan agama mereka dan melatih mereka tentang bagaimana untuk tidak terlibat dalam tindakan kekerasan. Teori masuk akal ini akan mudah menjadikan komunitas Muslim sebagai kambing hitam atas setiap tindakan kekerasan yang terjadi dan membebaskan Pemerintah dari tanggung jawab.
Namun, teori ini memiliki sedikit atau bahkan tidak ada dukungan akademis dan tidak memiliki bukti-bukti empiris, yang sebenarnya bertentangan dengan apa yang jelas kita ketahui. Misalnya jika masalah itu melekat dalam komunitas Muslim maka mengapa, sebelum terjadi invasi ke Irak pada tahun 2003, di sana tidak ada tindakan kekerasan yang bermotif politik yang dilakukan oleh umat Islam di Inggris? Selanjutnya menurut statistik kejahatan Europol dari tahun 2006-2012, kurang dari 0,5% dari semua tindakan teroris yang gagal, digagalkan atau berhasil dilakukan oleh Muslim atau yang “terinspirasi oleh agama” yang terjadi di Uni Eropa. Ada sekitar 15 juta Muslim yang tinggal di Uni Eropa. Juga diketahui bahwa setiap yang terhukum atau yang dikenal sebagai Muslim yang melakukan kekerasan politik telah berusaha membenarkan kekerasan mereka karena kebijakan luar negeri Inggris dan khususnya invasi dan pendudukan Irak. Bahkan Komite Intelijen Gabungan (JIC) telah melaporkan sebelum invasi Irak bahwa invasi ini akan meningkatkan kemungkinan tindakan teroris dan bukan menguranginya. Banyak, walaupun tidak semua, dari individu-individu itu yang tidak “menjadi radikal” oleh lembaga Islam apapun tetapi terisolasi dari mayoritas Muslim dan telah dikenal lama berinteraksi dengan badan-badan intelijen selama bertahun-tahun.
Menyangkal adanya peran kebijakan luar negeri dan dalam negeri pemerintah Inggris yang meningkatkan kemarahan dan frustrasi yang mengarah kepada kekerasan adalah hal yang tidak jujur. Memang, hal ini bukan pembenaran atas kekerasan, dan juga bukan faktor tunggal, tetapi hal ini membawa diskusi yang lebih jujur dan terbuka atas faktor-faktor yang menyebabkan orang melakukan tindak kekerasan ketika kebijakan pemerintah dipertanyakan. Jika kemudian pemerintah serius mengurangi ancaman kekerasan politik (kemungkinannya adalah tenggelam dalam bak mandi adalah lebih besar daripada tewas dalam serangan teroris), kemudian mengakui bahwa peran kebijakan-kebijakan ini memang diperlukan. Misalnya, dalam kasus email Emwazi yang dikirim ke Cage (lembaga advokasi dari mantan tahanan muslim dengan fokus Islam yang berbasis di Inggris-pent) yang menunjukkan bahwa layanan keamanan mencegahnya untuk memulai “hidup baru” di Kuwait di mana dia memiliki karir dan tunangannya sudah menunggu. Apakah hal ini membuatnya merasa terisolasi, kehilangan harapan untuk mendapatkan jalan keadilan kemudian mendorong kemarahan dan kebenciannya yang akhirnya membawanya menjadi terkenal sebagai seorang algojo ISIS?
Untuk berusaha membawa diskusi ini terbuka dan jujur pada konteks politik yang lebih luas dan kebijakan negara yang kejam telah menyebabkan respon histeris. Dan dalam kasus Philip Hammond terdapat pernyataan kontradiksi-diri yang tidak logis. Sudah diketahui bahwa ‘perang melawan teror’ bukanlah mengurangi kekerasan, tetapi retorika untuk membenarkan kebijakan luar negeri untuk mengamankan kepentingan-kepentingan nasional. Pemerintahan Barat mirip dengan diktator Timur Tengah yang menyiapkan opini publik untuk membenarkan kebijakan mereka dan menyembunyikan alasan sebenarnya dari rakyat untuk berperang seperti halnya taipan perusahaan yang ingin memanfaatkan bahan baku, persaingan geopolitik antara negara-negara Barat dan kebangkitan politik Dunia Muslim.
Menantang narasi tersebut mengarah kepada mempertanyakan atas sifat dasar Kapitalisme sebagai tatanan dunia sehingga mengancam kepentingan material korporatokrasi. Dengan demikian, akan ada upaya untuk membungkam suara siapa pun yang mencoba mengatakan sisi lain dari suatu narasi, bahkan jika hal itu berarti sangat bertentangan dengan “Nilai-nilai Inggris ” yang mereka klaim akan dipertahankan. (hizb.org.uk, 15/3/2015)