Jika kita membandingkan kedudukan hakim di zaman sekarang, dan di zaman Khilafah Islam, tentu sangat jauh. Di era khilafah, hakim begitu dihormati dan dimuliakan. Ini tidak lepas dari kehidupan hakim itu sendiri yang bersih, jauh dari syubhat, apalagi memakan harta haram. Belum lagi, mereka juga sangat menjaga pergaulan, tutur kata dan tindakannya. Semuanya itu, karena aspek ketakwaan yang menjadi pondasi masyarakat dan negara di zamannya.
Nasihat Khalifah Umar bin al-Khatthab, kepada Abu Musa al-Asy’ari, ketika diangkat menjadi hakim, “Wahai Abu Musa, jabatan hakim adalah kewajiban yang kuat dan jalan yang harus diikuti, maka pahamilah tugas tersebut jika diberikan kepadamu. Ucapan benar, tidak akan ada gunanya, jika tidak diikuti. Damaikanlah orang yang mencari keadilan di hadapan majelis pengadilanmu, agar orang yang mempunyai kekuasaan tidak berharap dengan kelalaianmu. Sebaliknya, orang lemah akan putus asa mencari keadilanmu. Bukti harus diajukan oleh orang yang mengajukan tuduhan, sedangkan sumpah diwajibkan kepada orang yang mengingkarinya.
Damai boleh dilakukan dengan sesama Muslim, kecuali untuk menghalalkan yang diharamkan, atau mengharamkan yang dihalalkan… Sesungguhnya kebenaran itu sudah ada. Memeriksa kembali kebenaran lebih baik, daripada terus-menerus bertahan dalam kebatilan. Gunakanlah akal dan hati nuranimu terhadap hal-hal yang tidak ditemukan dalam Kitab Allah dan Sunah Nabi-Nya. Pelajarilah berbagai bukti, lalu timbanglah permasalahannya dengan bukti-bukti tersebut.” [Ibn Khaldun, al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, I/221].
Selain itu, jabatan ini taruhannya surga dan neraka. Karena itu, jabatan hakim tersebut benar-benar dijaga dengan baik dan kuat oleh pemangkunya. Selain itu, keputusan hakim yang bersifat mengikat, tidak bisa dibatalkan oleh siapapun, juga mempunyai andil yang kuat dalam membangun wibawa hakim. Disebutkan oleh Ibn Farkhun, bahwa lembaga peradilan ini bertugas menyampaikan hukum syara’ secara mengikat [Ibn Farkhun, Tabshiratu al-Hukkam, I/9].
Wajar, jika lembaga peradilan ini mempunyai wibawa dan kedudukan yang tinggi di mata masyarakat. Ini tampak, antara lain, ketika persidangan berlangsung di pengadilan. Masyarakat yang menghadiri ruang persidangan tak satupun yang berani melakukan kegaduhan. Semuanya memilih diam, sebagai bentuk penghormatan mereka kepada hakim yang sedang menangani perkara. Ini bisa dimengerti, karena masyarakat juga paham, bahwa Nabi SAW melarang hakim memutuskan dalam kondisi pikiran kacau, dan tidak konsentrasi. Boleh jadi karena marah, atau kondisi ruang persidangan yang tidak kondusif.
Ibn Dzakwan, dalam kitab Tarikh Qudhat al-Andalus, menuturkan, bahwa beliau mempunyai kedudukan yang begitu istimewa dan disegani. Sampai ada yang berkomentar, “Belum pernah saya melihat majelis hakim yang lebih mulia dan disegani, melebih majelisnya. Ketika beliau duduk di ruang sidang, tidak ada seorang pun yang berani berbicara sepatah kata pun. Tidak ada ucapan yang keluar dari ucapan hakim, dan kedua belah pihak yang bersengketa di hadapannya. Orang-orang yang ada hanya berbicara dengan isyarat, hingga hakim beranjak dari ruangannya.” [an-Nabahi, Tarikh Qudhat al-Andalus, hal. 84].
Sumber: Tabloid Mediaumat edisi 146