“Kalau benar keputusan itu diterapkan nanti, makin nyata bahwa demokrasi itu sistem yang mahal dan korup.”
Partai politik semakin dimanjakan saja. Beberapa waktu lalu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo secara pribadi menyampaikan gagasan perlu menambah anggaran bagi partai politik (parpol) hingga 1 trilyun rupiah. Menurutnya, usulan tersebut perlu dipertimbangkan untuk keberlangsungan parpol di masa mendatang.
“Political will ini perlu karena parpol merupakan tempat rekrutmen pemimpin nasional dalam negara demokratis, setidaknya usulan ini perlu dipikirkan untuk 10 tahun ke depan,” jelas Tjahyo sebagaimana yang diberitakan oleh republika.co.id (9/3).
Tjahyo Kumolo mengungkapkan, wacana tersebut baru dapat diwujudkan jika anggaran pemerintah untuk menuntaskan kesejahteraan masyarakat dan infrastruktur memadai. Ia juga menyatakan dana bantuan sebesar 1 trilyun itu akan dapat menekan potensi korupsi ataupun permainan anggaran dalam tubuh partai.
Tentu saja, usulan yang dikemukakan Tjahyo ini mengundang banyak pro dan kontra. Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto juga menanggapi wacana ini. Ismail menyoroti alasan penaikan subsidi untuk menekan korupsi.
Menurut Ismail, perilaku korup merupakan cerminan langsung dari rapuhnya integritas dan kejujuran seseorang, khususnya para politikus. Gaji kecil bukan faktor utama pendorong orang menjadi koruptor.
“Oleh karena itu, sungguh aneh logika pemerintah yang hendak menggelontorkan dana buat parpol hingga 1 trilyun dengan alasan untuk mencegah korupsi. Justru saya ingin mengatakan, bila benar keputusan seperti itu, maka inilah bentuk nyata dari apa yang disebut legalized corruption (korupsi yang dilegalkan). Jadi alih-alih hendak memberantas korupsi, malah pemerintah sedang melakukan korupsi yang dilegalkan oleh keputusan pemerintah,” ungkap Ismail kepada Media Umat (15/3).
Melihat fenomena itu, Ismail juga menegaskan bahwa sistem politik demokrasi adalah sistem yang sangat mahal.
“Kalau benar keputusan itu diterapkan nanti, makin nyata bahwa demokrasi itu sistem yang mahal dan korup,” pungkasnya.
Hal yang senada dinyatakan pengamat Politik Effendi Ghazali misalnya, ia menyatakan sepakat dengan ide itu. Republika.co.id (9/3) melansir, Effendi mengatakan bahwa selama ini parpol terjebak pada lingkaran korupsi akut. Penyebabnya tak lain ongkos politik yang tak murah. Maka, parpol pun berlomba mencari dana tambahan untuk keberlangsungan partainya.
“Istilahnya, korupsi dilakukan karena dipaksa keadaan,” ujarnya.
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Donald Fariz menyatakan meskipun setuju dengan penaikan jumlah subsidi parpol, akan tetapi, angka 1 trilyun itu tidak logis.
“Melihat realitas keuangan partai, angka tersebut (subsidi 108 rupiah per suara sah dalam pemilu, red) tidak lagi rasional dan perlu dinaikkan. Nah, apakah parpol layak menerima Rp 1 trilyun dari APBD, menurut kami sangat tidak layak,” ungkapnya sebagaimana yang dilansir oleh jpnn.com (12/3).
Menurut Donald, dari hasil kajian dan analisa ICW ditemukan sepuluh persoalan mendasar dalam tata kelola keuangan parpol. Bahkan, mayoritas partai diduga ikut menerima dana ilegal. Salah satunya dari hasil korupsi.
Karena itu, jika mau ditingkatkan, jumlah rasional subsidi untuk parpol hanya sepuluh kali lipat. Artinya, dari Rp 108 menjadi Rp 1.080/suara. Dengan demikian, ada peningkatan jumlah APBN untuk parpol menjadi Rp 131 milyar lebih. Asumsi itu dihitung jika pemerintah mengeluarkan Rp 13,176 miliar untuk 10 parpol sepanjang 2015 ini. (mediaumat.com, 18/3/2015)