Tingkat kesenjangan sosial di Indonesia semakin tinggi. Menurut ekonom senior Kwik Kian Gie, ini terjadi karena ekonomi Indonesia menuju sistem ekonomi liberal.
Kwik menjelaskan ketimpangan antara si kaya dan miskin selalu terjadi dalam sistem ekonomi liberal yang sifatnya adalah persaingan bebas, kompetisi saling “memotong leher”.
“Siapa yang paling kuat dialah yang menang. Menurut saya, Indonesia menuju ekonomi liberal,” kata Kwik dalam seminar Ironi Pembangunan Ekonomi Indonesia, Ketimpangan Sosial Melebar di Sunter, Jakarta Utara, Rabu (18/3).
Contoh konkret yang tidak terlampau jauh adalah Hong Kong. Selama dijajah Inggris, pemerintah kolonial Inggris menerapkan sistem liberalisme murni. Akibatnya, Hong Kong dihiasi dengan gedung-gedung pencakar langit dan hotel-hotel mewah. Namun, kalau bergerak ke pinggiran, akan terlihat sangat banyak penduduk miskin.
Kwik mengatakan kondisi itu sama dengan yang terjadi di Indonesia. “Kalau kita keluar dari Grand Indonesia yang begitu besar dan megah, akan terdapat rumah-rumah di sebelah kiri dan kanan yang sangat kecil,” ujar dia.
Pada saatnya nanti, ucap dia, rumah-rumah tersebut akan menjadi mangsa penggusuran karena letaknya yang strategis. “Kalau kita masuk ke dalam daerah-daerah yang dimanakan kantong kemiskinan, kemiskinannya sudah melampaui batas kemanusiaan,” ucapnya.
Kwik mengatakan, kalau menggunakan ukuran Bank Dunia yang menyebut bahwa ukuran miskin atau tidak berdasarkan pengeluaran 2 dolar AS per hari, maka 50 persen rakyat Indonesia termasuk dalam kategori miskin. Parameter lain yang menunjukkan betapa timpangnya antara si kaya dan si miskin di Indonesia ditunjukkan oleh rasio gini yang saat ini di level 0,41 pada 2014. (republika.co.id, 18/3/2015)