Saat kunjungannya ke Turkish War Academies (19/03), Presiden Turki Erdogan membuat pernyataan yang dipublikasikan oleh media-media Turki, khususnya media-media yang mendukung Erdogan. Di antara yang dikatakan Erdogan: “Kami bertekad untuk membuat militer kita kekuatan pelindung terbesar di kawasan dan dunia, dengan memperkuat industri pertahanan kita, serta menyediakan senjata dan peralatan dari produksi kita sendiri.”
Ia menambahkan: “Kita akan melakukan semua ini melalui persepsi kita sendiri, dalam semua bidang. Kita harus menjadi negara kuat dengan angkatan bersenjata kita dan industri pertahanan kita.”
Erdogan menjelaskan bahwa “Turki telah menjadi negara hukum demokratis sosial sekuler, meskipun semua kesulitan telah dihadapi di masa lalu. Oleh karena itu, saya kembali mengatakan bahwa Turki tidak dapat dihentikan dari melanjutkan perjuangannya di bidang demokrasi dan hak asasi manusia, dan Turki tidak akan mundur dari sekulerisme yang menjamin kebebasan beragama bagi warganya.”
Ia melanjutkan: “Kita harus menjadi negara besar dan kuat tidak hanya untuk menjaga keamanan negara kita, tetapi juga untuk semua saudara-saudara kita yang telah menyerahkan kepada kita harapan besar.”
Presiden Turki, yang oleh beberapa orang disebut sebagai Presiden yang berjuang untuk Islam, maka ia lagi dan lagi menegaskan dengan perkataan dan perbuatan, yang bertujuan untuk memperkuat sistem-sistem kufur, seperti sekulerisme, demokrasi dan hak asasi manusia yang dikeluarkan oleh Barat berdasarkan pemikiran sekulernya. Dan kali ini, ia ingin membuat Turki menjadi negara kuat yang memiliki kekuatan pelindung untuk terus berjuang di arena sistem kufur ini. Sebab, agama bagi Presiden Turki adalah urusan pribadi, seperti yang pernah ia katakan ketika ia menyeru rakyat Mesir setelah revolusi tahun 2011 untuk menerapkan sekulerisme, di mana ia mengatakan: “Individu rakyat tetap Muslim, meski negara sekuler”.
Konsep ini adalah murni konsep Barat. Individu di Barat bisa seorang Kristen dan bisa menjadi kepala negara, namun negara tidak bisa menjadi negara Kristen atau negara agama. Negara harus tetap sipil, yakni tetap sekuler demokrasi, meski dipimpin oleh individu yang beragama Kristen. Presiden Jerman saat ini, Joachim Gauck adalah seorang pendeta di Gereja Lutheran. Sementara partainya dan partai Perdana Menteri Merkel, yang menganggap dirinya beragama Kristen adalah Partai Demokrat Kristen, adalah Parta Sekuler Demokrasi. Jadi, kata Kristen baginya adalah, bahwa para anggotanya beragama Kristen. Sehingga partai ini menerima seorang Muslim berada dalam barisannya, bahkan beberapa dari mereka menjadi pejabat teras partai, atau perwakilan di parlemen umum dan parlemen wilayah.
Erdogan, Turki dan partainya berjalan melalui pendekatan yang sama, dan bekerja untuk menguatkan sekulerisme dan demokrasi di Turki. Padahal semua tahu bahwa sekulerisme di Turki sebelum berkuasanya Erdogan dipandang sebagai pemikiran kufur, dan sekarang sekulerisme dipandang sejalan dengan Islam. Ini menunjukkan atas bahayanya tren yang dimotori oleh Erdogan dan partainya, serta partai-partai yang mengadopsinya, yang sejauh ini dianggap sebagai partai-partai Islam, dan berhasil menduduki kekuasaan di Mesir, Tunisia, Maroko, dan Irak.
Di sisi lain, Erdogan menyatakan bahwa kekuatan yang tengah dipersiapkan “juga untuk semua saudara-saudaranya yang telah menyerahkan kepadanya harapan besar.” Seolah-olah ia merujuk kepada rakyat Suriah, yang telah dikecewakan dan ditipu selama empat tahun.
Erdogan menganggap mereka sebagaisaudara-saudaranya, dan masalah mereka adalah masalahnya, bahkan merupakan masalah dalam negeri Turki. Seolah-olah, Ia tidak akan membiarkan terjadinya insiden Hamah kedua. Sedang Bashar al-Assad sampai sekarang masih menjadikan setiap kota dan desa sebagai Hamah kedua, ketiga, keempat dan seterusnya.
Sejauh ini Erdogan belum melaksanakan janjinya sedikitpun, dan ia tetap menggantungkan setiap harapan kepadanya. Namun ia sedang menunggu lampu hijau dari Amerika untuk melakukan apapun yang Amerika katakan. Akhirnya, Amerika memintanya untuk melatih dan melengkapi pasukan oposisi moderat yang mengadopsi sekulerisme dan demokrasi supaya melawan kelompok-kelompok Islam, yang dianggapnya sebagai kelompok teroris dan ekstrimis, guna mencegah berdirinya negara khilafah Islam yang berdasarkan metode kenabian, dan memperkuat negara sekuler di Suriah, setelah jatuhnya Bashar al-Assad, yang rezimnya disebut sebagai benteng sekulerisme (kantor berita pusat HT, 23/3/2015).