Berita ini sebenarnya sudah agak lama. Namun, mungkin tetap penting untuk diungkap. Sumber ceritanya adalah seorang aktivis muda dari sebuah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Inti dari cerita itu adalah tentang bagaimana negara Barat, Amerika Serikat khususnya, berusaha membangun hubungan dengan aktivis dari kalangan yang biasa disebut ‘kelompok moderat’. Kalangan moderat di sini diartikan sebagai kelompok yang dianggap tidak terlalu vokal bicara tentang islamisasi dan syariah serta cukup ramah terhadap kehadiran Barat di Indonesia. Tujuannya tidak lain adalah untuk politik belah bambu atau politik pecah-belah dalam menghadapi mereka yang biasa disebut kelompok radikal atau fundamentalis.
Barat tahu persis bahwa umat Islam di manapun, termasuk di Indonesia, tidaklah monolitik atau tunggal. Banyak kelompok dengan beragam pemahaman dan orientasi politik serta ideologi turut mewarnai dinamika umat Islam. Berbagai riset dilakukan untuk mengkaji secara mendalam soal ini. Di antaranya oleh Rand Corporation—sebuah lembaga riset yang menjadi sumber penting pemerintahan Bush sekarang ini. Dalam laporannya berjudul, “Islam, Social and Democracy”, Rand Corporation membagi tokoh Islam di Indonesia menjadi 4 tipe: liberal-sekular, tradisional, modernis dan fundamentalis. Dari 4 tipe itu, Barat tahu bahwa lawan potensialnya adalah kelompok ‘radikal’ atau ‘fundamentalis’. Merekalah yang memiliki sikap ideologis yang tegas mengenai Islam dan kritis terhadap dominasi Barat di Dunia Islam. Namun, Barat tidak selalu ingin menghadapi kelompok ini secara langsung. Barat berusaha bagaimana agar kelompok sekular, tradisionalis dan modernis bisa dirangkul untuk melawan kelompok fundamentalis itu.
Tentu tidak mudah mengadu domba antar tokoh-tokoh Islam karena di kalangan mereka juga ada kesadaran untuk bersatu, saling menghormati dan menghindari pertikaian. Oleh karena itu, politik belah bambu harus dilakukan dengan cara yang sangat halus. Pada bagian awal, penting untuk menanamkan pengertian kepada para tokoh modernis dan tradisionalis, bahwa Barat tidaklah seburuk yang diduga; bahwa syariah bukanlah segala-galanya; dan bahwa modernisasi tidak mungkin tanpa menyertakan peradaban Barat.
Juga tidak mudah menanamkan pengertian semacam ini. Apalagi jika dengan metode yang tidak tepat. Salah-salah justru akan muncul resistensi dari tokoh-tokoh Islam yang paling sekular sekalipun. Karena itu, sekali lagi, semua itu harus dilakukan dengan cara yang sangat halus. Di antara modus yang paling sering dipakai adalah dengan mengajak atau mengundang tokoh-tokoh Muslim itu, termasuk tokoh mudanya, untuk berkunjung ke sejumlah negara Barat; Eropa, Amerika Serikat atau Australia.
Modus semacam ini pernah juga dilakukan terhadap Nurcholis Madjid pada awal tahun 70-an. Selama sekitar 3 bulan ia diundang berkunjung ke berbagai tempat di berbagai kota di Amerika Serikat. Hasilnya sangat nyata. Sepulang dari AS, Nurcholis mengalami perubahan mendasar. Dia yang semula dikenal sebagai tokoh muda yang cukup ‘fundamentalis’ bahkan pernah dijuluki ‘Natsir Muda’, berubah menjadi lebih lunak. Apalagi setelah dia melanjutkan sekolahnya hingga mendapat gelar doktor di Chicago; Nurcholis sempurna mengalami metamorfosis menjadi tokoh liberal.
Rupanya metode itu hingga kini terus dijalankan dengan intensitas yang tampaknya lebih meningkat. Soal undangan ke Amerika Serikat itulah yang diceritakan tokoh muda tadi kepada Jubir HTI, M. Ismail Yusanto dalam sebuah kesempatan. Dia bercerita, ketika itu bahwa dia baru saja pulang dari AS. Di sana, bersama dengan rombongan tokoh muda lain dari berbagai organisasi Islam di Indonesia, dia diajak keliling AS selama beberapa minggu; ke Hawaii, New York, Washington, Chicago, Los Angeles dan sejumlah kota lain; bertemu dengan sejumlah anggota Kongres; mengunjungi perpustakaan Kongres yang disebut-sebut paling lengkap sedunia; menjenguk Capitol Hill, gedung pertahanan Pentagon dan sejumlah obyek lain.
Setelah berkunjung ke negara Barat, orang yang tidak memiliki kesadaran ideologis yang kokoh biasanya memang mudah terpesona melihat gemerlapnya kota-kota di sana, merasa inferior dan selanjutnya mudah untuk diajak kompromi. Jika itu terjadi, tercapailah tujuan dari program itu.
Lantas apa yang menarik dari penuturan itu? Dia, tokoh muda itu, mengaku terus-terang, bahwa sebelumnya tidak pernah ada undangan-undangan semacam ini. Baru setelah muncul organisasi yang dinilai radikal dan fundamentalis semacam HTI, MMI, FPI dan lainnya pasca Orde Baru dengan ide penegakan syariah, bahkan Khilafah, program semacam itu sering diadakan. Jadi, katanya, “Semakin radikal sampeyan Mas, semakin menguntungkan buat kami karena orang Barat makin mendekat kepada kami dan memberi kami macam-macam.”
Merasa Kecolongan
Di lain waktu, setelah pertemuan tadi, sang tokoh muda ini bekerjasama dengan British Council dan Ford Foundation mengadakan acara diskusi publik di sebuah hotel mewah di seputaran Bundaran HI. Topiknya soal terorisme dengan mengundang Jubir HTI M. Ismail Yusanto dan Saudara Fauzan al-Anshari dari MMI, yang diusulkan oleh Jubir HTI satu hari sebelum acara. Selain itu, juga hadir Sydney Jones dari CGI, dan 2 orang pengamat politik Islam yang sangat terkenal—yang untuk tertibnya tidak perlu disebut namanya.
Belakangan hari, ia kembali bercerita, bahwa seusai acara, ia ditegur sangat keras oleh pimpinan British Council dan Ford Foundation karena, katanya, mengapa acara diskusi yang mereka danai itu dikuasai oleh kelompok radikal (maksudnya HTI dan MMI) dan seolah menjadi acara mereka.
Memang, dalam acara itu, dua wakil dari HTI dan MMI tampil sangat lugas, tegas dan berbicara penuh dengan fakta dan data sehingga tampak sangat mempengaruhi audien. Sementara itu, dua pengamat dan Sydney Jones justru tampil tidak impresif dan terkesan sangat hati-hati. Walhasil, memang benar forum itu menjadi seolah-oleh didominasi oleh pemikiran dua pembicara dari HTI dan MMI itu. Apalagi sebelum acara di mulai, diputar VCD Selamatkan Indonesia Dengan Syariah edisi perdana yang diproduksi oleh HTI. Karuan saja suasana forum memang benar-benar seperti acara HTI.
Tentang VCD itu, ada cerita menarik. Awalnya panitia akan memutar VCD tentang terorisme buatan CNN. Namun, sampai hari H, VCD yang ditunggu-tunggu itu tidak datang karena harus dikirim langsung dari Amerika. Di tengah kebingungan, panitia menghubungi Jubir HTI, menanyakan apakah ada VCD yang bisa diputar di acara itu. Bagai pucuk dicinta ulam tiba. Melihat kesempatan bagus, dengan cepat diberikanlah VCD Selamatkan Indonesia Dengan Syariah. Panitia pun, yang sudah merasa tertolong, tanpa ba-bi-bu langsung memutar VCD, yang sejujurnya kualitasnya sebenarnya agak kurang bagus. Meski begitu, secara telak VCD yang berdurasi 45 menit itu telah mengisi penuh bagian awal dari acara diskusi itu.
Terus, apa tanggapan dia menghadapi protes orang British Council? Tentu saja dia tidak mau disalahkan. Dia mengatakan, dia sudah mengundang tokoh dari berbagai kalangan. Jika kemudian forum itu terkesan dikuasi oleh kelompok yang disebut fundamentalis, dia bilang, ya itu pandai-pandainya mereka memanfaatkan forum.
Dari cerita ringkas di atas kita bisa melihat bahwa Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia, kaya sumberdaya alam dan strategis secara geopolitis, memang benar-benar menjadi ajang pertarungan ideologis. Orang-orang Barat sadar benar akan nilai penting Indonesia, karenanya terlalu sayang untuk diabaikan begitu saja. Karena itu, mereka berusaha sekuat tenaga agar negara yang sangat penting ini ’tidak jatuh ke tangan orang lain’. Mereka khawatir, masuknya tokoh Islam fundamentalis ke dalam kekuasaan akan membuat negara ini menjadi tidak mudah untuk terus melayani kepentingan politik dan ekonomi mereka. Karena itu pula, mereka tentu akan berusaha dengan segala cara untuk supaya hal itu tidak terjadi. Di antaranya ya itu tadi, dengan politik belah bambu; sebagian diinjak dan sebagian lagi diangkat. Yang diinjak tentu yang tidak disukai. Yang diangkat adalah bagian yang dianggapnya bisa menjadi kawan.
Namun, ternyata itu tidak mudah, karena di kalangan yang disebut moderat itu pun ternyata terdapat sikap-sikap fundamentalis, bahwa berpegang pada prinsip kebenaran adalah kewajiban setiap Muslim. Cerita di atas membuktikan hal itu. Tidak selamanya skenario mereka bisa berjalan mulus karena tidak selamanya juga seorang Muslim bisa diperlakukan semena-mena. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Kantor Jubir HTI-Jakarta]