Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam salah satu karya monumentalnya, Mafahim Siyasiyah li Hizb at-Tahrir, mengingatkan bahwa negara-negara imperialis di bawah pimpinan AS, menjadikan konferensi gender untuk memutuskan keterikatan kaum Muslim dengan peradaban dan budaya Islam. Analisis yang dikemukakan tahun 1950-an itu ternyata masih relevan dengan kondisi kekinian. Dokumen lembaga think tank AS, RAND Corporation, Building Moderate Muslim Network (2007), menyebutkan bahwa isu kesetaraan gender (KG) adalah salah satu medan pertempuran utama dalam perang pemikiran melawan Islam. Karena itulah promosi kesetaraan gender menjadi komponen penting dari setiap proyek kafir imperialis untuk mengkriminalisasi syariah.
Isu Gender
Menlu AS, John Kerry, menyatakan, “Tidak ada negara (yang) bisa maju jika ia meninggalkan setengah orang-orang di belakang…AS percaya, kesetaraan gender sangat penting untuk tujuan kita bersama yakni kemakmuran, stabilitas dan perdamaian. Berinvestasi pada perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia sangat penting untuk kebijakan luar negeri AS.”
Pada tanggal 30 Januari 2013, Barrack Obama menandatangani Memorandum Presiden tentang KG dan memastikan bahwa Duta Besar untuk Isu Global Perempuan akan terus memainkan peran utama untuk memaksa pelaksanaan hak-hak perempuan di seluruh dunia. Tentu program tersebut dicanangkan sesuai dengan kelesuan situasi politik ekonomi yang sedang dihadapi AS. Cathy Russell, Duta Besar AS untuk Global Women’s Issues, mengulangi pernyataan serupa dalam APEC Women and The Economic Forum 2013 pada 6 September 2013 di Nusa Dua, Bali. Dia pun memberikan bantuan untuk pemberdayaan ekonomi perempuan sebesar 80 ribu dolar AS.
Untuk Indonesia, strategi penjajahan perempuan via ide gender sebenarnya telah berlangsung lama. Seiring dengan menguatnya pandangan modernisme yang sejak lama menghendaki peran negara secara minimal dan menyerahkan peran tersebut kepada pasar dan swasta, publik internasional makin ketat mengawal Indonesia untuk mengimplementasi-kan ide-ide gender. Pelakunya tidak hanya lembaga di bawah PBB seperti UNWomen, UNFPA, UNDP, ILO dan sebagainya; lembaga ekonomi seperti World Bank, WEF dan OECD juga berada di belakang proyek gender.
Sejak 2011 UNWomen Indonesia langsung mendampingi Pemerintah setelah sebelumnya UNIFEM telah mendampingi Indonesia sejak 1992. Mereka terlibat menangani isu TKW, penetapan legalitas/akses hukum pro gender, isu-isu kekerasan, aplikasi Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women/ CEDAW serta infiltrasi ide pemberdayaan di Aceh pasca tsunami dan rekonsiliasi pasca konflik.
Pemerintah secara sadar memang melaksanakan kebijakan pro gender. Penunjukan 8 menteri perempuan pada Kabinet Kerja Jokowi – JK menjadi sinyalemen yang menobatkan Indonesia siap bertransformasi menjadi negara inklusif, yakni mengikutsertakan semua masyarakat, khususnya kaum perempuan pada posisi strategis. Di pihak lain, Indonesia memberikan akses dan kesempatan bagi masyarakat sipil sebagai komunitas demokrasi yang tumbuh secara dinamis. Tak soal jika aksi mereka justru mengkriminalisasi aturan Allah, Rabb mereka.
Menyerang Syariah
Pencitraburukan Islam didasari oleh kepentingan ideologis dan ekonomi. Secara ideologis, hanya Islam yang bertentangan secara diametral dengan Kapitalisme. Indonesia, dengan 202 juta penduduk Muslim, memiliki potensi untuk tumbuh menjadi kekuatan Islam ideologis. Setidaknya hasil survei Pew Research Center yang dilansir pada 30 April 2013 menyebutkan, 7 dari 10 penduduk Indonesia menginginkan penerapan hukum syariah. Jelas kondisi ini mencemaskan Barat.
Apalagi ketika realitas kapitalis membuktikan diri sebagai sistem hipokrit telah menimbulkan perlawanan. Bila dibiarkan, gerakan ini akan membahayakan program penjajahan AS. Karena itu neoimperialisme AS di Indonesia diarahkan agar Indonesia sepenuhnya berada pada sub-ordinat AS dengan ideologi kapitalisnya melalui berbagai strategi. Jika demokratisasi menjadi salah satu strategi utama high politics, maka gender juga menjadi salah satu strategi utama low politics. Keduanya digunakan sebagai pisau analisis untuk menilai Islam sehingga Islam tidak lagi menjadi rujukan benar-salah, namun hanya dijadikan sarana untuk mencapai tujuan.
Tesis Chris A. Wade dari Naval Postgraduate School, Monterey, California, Desember 2007, yang berjudul, Moslem Women and Women’s Organization: Allies in the War of Ideas, telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah AS untuk memanfaatkan perempuan dan ormas Islam untuk menekan penyebaran Islam ideologis. Kelompok-kelompok ini menyuarakan feminisme dengan lantang di Dunia Islam. Sebagaimana Barat, mereka represif menghadapi Muslim fundamentalis, namun membuka ruang bagi Muslim moderat.
Fatalnya, media pun turut menggaungkan pemikiran dan gaya hidup Barat. Media menyebarkan kedustaan dengan menampilkan Barat yang tidak diskriminatif, toleran, lebih menghargai hak asasi dan ramah kepada perempuan. Melalui cara ini, masyarakat yang tak dekat dengan Islam makin mudah ter-Barat-kan. Lambat laun, masyarakat akan mentoleransi semua perilaku impor hingga mereka menjadi permisif terhadap semua penyimpangan.
Kampanye feminisme juga tak mungkin dipisahkan dari kepentingan ekonomi Barat. Indonesia adalah salah satu surga untuk mengais dolar. Saat Masyarakat Ekonomi ASEAN diterapkan pada Desember 2015 nanti, Indonesia masih akan menjadi pasar utama produk barang dan jasa. Sifat ekonomi kapitalis yang serakah, ribawi dan hanya menguntungkan pihak kuat, jelas sulit berkembang di antara umat yang menghendaki ekonomi Islam yang mengharamkan sepak terjang seperti itu. Lain halnya jika masyarakat menjadi liberal, tak peduli lagi bagaimana cara mereka memperoleh dan membelanjakan kekayaan.
Kriminalisasi Syariah
Kriminalisasi terhadap syariah menjadi salah satu cara untuk mengusik kepercayaan umat terhadap Islam. Keberadaan komunitas demokrasi seperti National Human Right Institution/NHRI mampu menjadi mekanisme nasional untuk memperkuat agenda internasional. Fungsi lembaga nasional bersama LSM akan menjadi inisiator, mobilisator sekaligus watch dog. Komnas Perempuan yang menjadi salah satu NHRI di Indonesia dengan apik menjalani peran itu. Mereka memainkan isu kekerasan publik dan domestik serta pelemahan identitas Muslimah.
Reportase dan advokasi Komnas Perempuan acapkali secara terang-terangan menyerang Islam. Seperti catatan tahunannya yang memaparkan bahwa hingga Agustus 2014, ada 365 perda diskriminatif atas dasar moralitas dan agama. Didasari laporan itu, Komite HAM PBB menuntut Pemerintah untuk mencabut aturan yang bernuansa Islam seperti interpretasi hukum syariah di Aceh dan Qanun Jinayah di Aceh yang memberlakukan hukuman cambuk, qanun khalwat, qanun maisir dan eksekusi pelanggaran kriminal oleh polisi syariah (Wilayatul Hisbah).
Kriminalisasi tersebut didasari oleh pandangan liberalisme dan pluralisme sehingga menjadikan kesetaraan dan keadilan harus teraplikasi di setiap sendi kehidupan. Siapapun, bahkan Tuhan tidak boleh merampas hak-hak seseorang, dengan dalih, kebebasan individual itu dilindungi negara. Apalagi bila negara dibangun dengan asas sekularisme, maka peraturan agama yang bersifat ‘memaksa’ tidak boleh berlaku secara general. Karena itulah mereka menggugat ‘doktrin’ Islam yang dinilai melanggar hak pribadi seperti kewajiban menutup aurat, membatasi pergaulan lawan jenis, had keras bagi yang melakukan penyimpangan orientasi seksual dan sebagainya. Karena itu pemerintah diharuskan membuat mekanisme perlawanan dan membentuk komunitas yang mampu menunjukkan konsekuensi buruk nikah muda, melaporkan data poligami dan nikah dini kepada Komite HAM PBB secara periodik.
Semangat universalitas HAM yang menaungi feminisme pada hakikatnya adalah penjajahan nilai kehidupan. Pasal-pasal dalam CEDAW, International Conference on Population and Development (ICPD), BPfA (Beijing Platform for Actions) ataupun MDGs amat kontradiktif dengan norma Islam. Perspektif itulah yang menganggap Islam tidak mampu memberikan rasa aman bagi perempuan karena tidak menghargai hak-hak sipil mereka dalam berpakaian, melarang khalwat, membiarkan kelaminnya disunat, memposisikan istri di bawah suaminya, termasuk kerelaan dipoligami dan punya banyak anak.
Mereka menganggap Islam membolehkan marital rape ketika suami menginginkan pelayanan istrinya di ranjang (walaupun tak disukai istri) dan membiarkan perkawinan di bawah umur ketika Konvensi Hak Anak memasukkan 16 tahun sebagai usia kanak-kanak. Islam dinilai amat kejam dengan hukuman fisik, keras terhadap pelaku perzinaan, termasuk terhadap status hukum anak yang dilahirkan di luar nikah sah. Hak politik perempuan juga dianggap terbatasi ketika mereka dilarang menjadi penguasa. Apalagi realitas menunjukkan amat sedikit perempuan yang mau menjadi anggota legislatif dan pejabat publik karena kesulitannya membagi peran publik dan privatnya sebagai istri dan ibu.
Walaupun Pemerintah Indonesia dengan kesungguhan hati mengikuti segenap permainan internasional, mereka tidak berani serta-merta mengakomodasi semua keinginan Barat yang berkaitan dengan umat Islam. Bisa jadi popularitas penguasa menjadi taruhan jika mereka menikam Islam secara frontal. Di sinilah diperlukan komunitas demokrasi yang berperan sebagai lembaga-lembaga pro hak asasi, seperti Komisi Nasional, LSM, media, kelompok studi, akademisi, pegiat-pegiat HAM dan gender untuk menjadi pengarus sekaligus penekan pelaksanaan HAM di Indonesia. Mereka bertugas memastikan terciptanya konsolidasi hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya terhadap komunitas tertentu, terutama kelompok minoritas termasuk perempuan, tanpa peduli latar belakang permasalahan yang dihadapi.
Mereka menjadi watch dog tidak saja terhadap kinerja pemerintah dari pusat hingga lokal, namun juga terhadap organisasi (Islam) dan figur tertentu. Wajar jika elemen HAM di Republik ini satu-padu dalam menyuarakan penderitaan yang dialami perempuan dan anak-anak pengikut Ahmadiyah, jemaat gereja Yasmin Bogor atau pengikut Tajul Muluk di Sampang, tanpa mampu lagi bersikap obyektif terhadap “penderitaan” umat Islam yang terancam keimanannya. Bukankah memperta-hankan keimanan seorang Muslim tanpa direcoki oleh misionaris dan paham sempalan adalah bagian dari hak sipil warganegara juga? Sayangnya, ini tak pernah disuarakan para pembela HAM dan gender.
Mengakhiri Kriminalisasi Syariah
Sejatinya, Islam memberikn tuntunan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk berpikir dan berbuat selama syariah membolehkannya. Syariah tidak memperkenan-kan kebebasan secara mutlak karena akan mengganggu institusi masyarakat yang dibangun melalui asas kehormatan dan ketinggian martabat kemanusiaan. Islam melarang kebebasan yang hanya dikendalikan oleh akal dan perasaan. Al-Quran dan as-Sunnah mengendalikan kebebasan pribadi agar tidak membahayakan komunitas. Kondisi inilah yang mengharuskan kita, segenap masyarakat terutama kaum Muslim, agar meningkatkan kewaspadaaan terhadap ide liberal beserta segala derivatnya, baik yang dikemas dengan halus ataupun terang-terangan; menjaga masyarakat agar tetap yakin dan bersemangat untuk memperjuangkan Islam.
Pengaruh ideologi kapitalis memang telah meredup. Amerika Serikat pun kelihatan makin kewalahan mengatasi problem dalam dan luar negerinya. Namun sayang, belum ada satu kekuatan pun yang mampu menandingi raksasa global yang mulai ringkih dan renta. Bukan tak ada, tapi belum muncul. Niscaya akan ada the emerging state—kekuatan raksasa—yang akan menggantikan semua penjajahan kapitalis, serangan dan keburukannya yang menimpa semua bangsa, termasuk perempuan.
Khilafah Islamiyahlah akan kembali berjaya, mengembalikan kecermelangan Islam dan kemuliaan seluruh umat manusia sebagaimana yang dijanjikan Allah SWT.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan apa pun dengan Aku. Siapa saja yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik (QS an-Nur [24]: 55).
Tentu janji Allah SWT tidak akan terwujud tanpa kerja keras dan dukungan semua pihak. Karena itu, wahai kaum Muslimin, termasuk para Muslimah, ibu generasi yang peduli tehadap kebahagiaan keluarga, masyarakat dan seluruh penghuni bumi, marilah bergabung bersama Hizbut Tahrir untuk mewujudkan cita-cita itu. Niscaya Anda akan menjadi sebaik-baik umat yang pernah diciptakan Allah SWT.[Pratma Julia Sunjandari; Lajnah Siyasiyah DPP MHTI]