Indonesia ini karut-marut,” ujar Arbi Sanit (17/3/2015). Menurut pengamat politik tersebut, Indonesia secara hukum dan politik kacau. Dalam konteks hukum, tidak lagi berbicara apa dan bagaimana landasannya, tetapi apa maunya. Tidak aneh bila antarsesama penegak hukum, seperti Polri dan KPK, saling berbenturan. Secara politik, berbagai aturan menjadi senjata makan tuan. Misalnya, dalam kasus perseteruan internal partai. “Perlu perubahan radikal di bidang hukum dan politik. Bila tidak, Indonesia akan menjadi negara gagal,” tegasnya.
Di sisi lain, tampak ada upaya menutup-nutupi kebijakan. Sebagai contoh, status pengelolaan Blok Mahakam kontraknya berakhir pada 31 Maret 2017. Pemerintah sudah menjanjikan untuk membuat keputusan pada bulan Februari 2015, segera setelah Pertamina menyampaikan proposal pengelolaan. Namun, hingga kini belum ada keputusan resmi. Pemerintah menyatakan akan menyerahkan 100% Blok Mahakam kepada Pertamina. Namun, beredar kabar bahwa tidak 100% untuk Pertamina. Berbagai media massa cetak dan elektronik memberitakan bahwa komposisi pemilikan saham Blok Mahakam sejak 1 April 2015 adalah 51% Pertamina, 30% Total dan 19 Daerah. Dengan kondisi demikian, tidak aneh jika Ketua IRESS, Marwan Batubara berkomentar keras (17/3/2015), “IRESS meyakini adanya oknum-oknum partai, penguasa dan pengusaha berperilaku sebagai begal yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan kontrak Mahakam. Para begal Mahakam ini bekerja untuk asing dan pengusaha swasta dalam rangka berburu rente, memperoleh kesempatan bisnis, mendapat dukungan politik, dll. Guna mencapai tujuan, para begal antara lain mengintervensi keputusan, menunggangi daerah, menyebar kebohongan, mengkampanyekan kelemahan Pertamina, membodohi masyarakat, dll.”
Berkaitan dengan hal ini, saya teringat pada ungkapan Prof. Din Syamsuddin di Gedung Nusantara III DPR RI dua bulan lalu, “Indonesia kini sedang dikepung oleh liberalisasi.”
Ketua Umum Muhammadiyah ini menegaskan, “Indonesia kini sedang menerapkan demokrasi liberal secara paripurna di bidang politik. Liberalisasi di bidang ekonomi berupa penerapan kapitalisme baik di kota maupun di desa. Liberalisasi pun dilakukan di bidang budaya sehingga terjadi perubahan landscape (tata ruang) budaya kaum Muslim,” tambahnya.
Hal senada ia ungkapkan pada pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia ke VI di Yogyakarta, Februari 2015. Saat itu beliau menyatakan pula, “Kondisi Indonesia sekarang ini menyimpang dari cita-cita para pendiri bangsa.”
Bila demikian, negeri Muslim terbesar ini sedang meluncur dengan sadar, sengaja dan terprogram menuju kehancuran. Asing mencengkeram. Neoliberalisme dan neoimperialisme mengancam. Hukum dan politik karut-marut. Lalu, kemana harus melangkah?
*****
Ada pengalaman menarik, saat saya ditakdirkan Allah SWT menunaikan umrah awal Maret 2015. Suatu waktu, ketika sedang beristirahat di pelataran Masjidil Haram, ada seorang yang mendekati saya. Saya mengenalkan nama. Dia pun mengatakan, “Muhammad Hasyim!”
Muslim berasal dari Pakistan itu, dengan rendah hati, mengaku bukan seorang sarjana. Dia pekerja kasar di Jeddah. Saat itu ia menemui ibunya dari Pakistan yang sedang menjalankan umrah. “Pakistan itu menerapkan sistem yang salah,” ungkapnya.
Saya pun segera menimpali, “Pakistan, sebagaimana negeri-negeri Muslim lain, termasuk negeri kelahiran saya, Indonesia, menerapkan sistem sekular. Ekonomi diatur dengan kapitalisme dan politik dengan demokrasi. Itulah akar penyebab kerusakan yang terjadi.”
Dia pun mengiyakan seraya menjelaskan kondisi negaranya yang ia pahami. “Amerika bercokol di sana,” tambahnya.
Saya pun menjelaskan fakta-fakta cengkeraman asing yang ada di negeri zamrud khatulistiwa itu. Berikutnya, kami berbincang tentang apa solusi bagi kondisi demikian. Tanpa ragu dia menegaskan, “Islamic system. Yes, Islamic system is the only solution for us!”
Saya pun menyambut dia dengan mengatakan bahwa sistem Islam itu harus menaungi seluruh umat Islam, bahkan seluruh umat manusia. Sistem Islam harus menjadi rahmatan lil ‘âlamîn. Tidak mungkin seluruh perangkat sistem Islam itu berjalan dengan benar dan tepat tanpa Khilafah. “Khilafah is the answer,” ungkap saya.
Perbincangan sederhana di tempat suci itu sungguh sangat indah dan berkah. Obrolan berhenti karena gema azan maghrib segera tiba.
Pernah, pada saat menunggu waktu dhuha di depan Ka’bah, persis di depan Rukun Yamani, ada seorang tua duduk di samping saya mengenakan baju di bagian punggungnya tertulis ‘Uzbekistan’. Setelah berkenalan, ternyata dia bernama “Mamad Jhon”. Barangkali kalau menurut Bahasa kita itu “Muhammad Jhon”. Dari perbincangan yang dilakukan intinya adalah, “Kita ini satu. Ka’bah kita satu. Tuhan kita satu. Rasul kita satu. Namun, mengapa kita bersatu hanya saat di depan Ka’bah saja?” Tanpa kepemimpinan.
Terasa benar persaudaraan yang ia berikan. Saat saya pijati pundaknya, beliau mengusap-usap punggung saya. Saat dia melihat saya membawa telepon genggam berkamera, beliau meminta difoto bersama. Teman sesama Uzbekistan di samping dia pun dia ajak serta. Raut muka cerah kegirangan pun tampak. Saya percaya, kegirangan itu lahir karena dapat bertemu dengan sesama saudara dari negeri yang saling berjauhan. Mengapa hal itu dapat terjadi? Sebab, Islam yang membuat umat ini bersatu.
*****
Pelajaran penting dari pengalaman itu adalah Islam itu lintas batas. Tanpa disekat-sekat oleh batas teritorial atau kebangsaan. Inilah watak Islam. Kalau pun ada perbedaan hanyalah dalam perkara yang elementer. Sebut saja bentuk peci yang dikenakan orang-orang yang berumrah. Orang Indonesia berpeci hitam memanjang. Peci orang Turki bulat berwarna abu-abu. Daerah Teluk berupa kain yang diikatkan ke kepala. Peci orang Afrika di tengahnya ada ‘benjolan’ dan sisi kanan dibuat masuk ke dalam. Uzbekistan dan Cina pecinya segi empat dengan berbagai corak. Oleh karena itu, bila sistem Khilafah kelak tegak dengan ijin Allah, maka tidak dapat bercorak Khilafah Nasionalis, misalnya. Itu tidak sesuai dengan karakter Islam itu sendiri. Namun, mencakup seluruh bangsa. Itulah inspirasi dari Masjidil Haram! [Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]