Sebagai lembaga yang bertugas menyampaikan keputusan hukum yang bersifat tetap dan mengikat, maka wibawa lembaga ini harus dijaga oleh negara, sehingga setiap keputusannya benar-benar dihormati. Karena itu, lembaga ini pun tak luput dari pengawasan negara, bahkan sangat ketat.
Al-Kindi menuturkan, ada seorang anak yatim yang kasusnya ditangani oleh hakim Yahya bin Maimun, ketika dia menjabat sebagai hakim tahun 105 H. Namun, Yahya menolak dan mengembalikan kasusnya dengan pemuka suku anak Yatim tersebut. Ketika menginjak dewasa, anak yatim tersebut mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan zalim. Ketika itu, dia pun mengajukan kasusnya dengan pemuka sukunya, kembali kepada hakim. Lagi-lagi, hakim Yahya tidak bertindak adil kepada anak yatim tersebut.
Anak ini pun menulis sepucuk surat kepadanya:
“Bukankah saya telah melaporkan kepada Anda, wahai Abu Hasan, bahwa hukum itu tidak berdasarkan kemauan Anda? Anda telah membuat keputusan dengan batil, dan tidak membawa kebenaran, yang belum pernah didengar hukum seperti itu. Anda mengira, bahwa itu benar dan adil, namun tidak bagi saya. Bukankah Anda tahu, bahwa Allah Maha Benar dan Maha Melihat Anda ketika Anda membuat keputusan?”
Ketika surat itu sampai kepada hakim Yahya, bukannya anak yatim ini mendapatkan keadilan, malah dia ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Kasus ini kemudian diadukan kepada Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Ketika kasus ini sampai kepada Khalifah, sang Khalifah pun marah. Posisi Yahya pun terjepit. Khalifah Hisyam bin Abdul Malik kemudian menulis surat pemecatan sang hakim. Dalam surat yang ditujukan kepada walinya, Khalifah menuturkan, “Pecatlah Yahya dari jabatannya sebagai hakim dengan secara tidak hormat.” [al-Kindi, al-Wullat wa al-Qudhat, hal. 341]
Pada era berikutnya, penanganan kasus-kasus seperti ini semakin berkembang, sehingga Qadhi Qudhat diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap hakim di wilayahnya yang diadukan. Dia bisa memecat siapa saja yang dilaporkan, dan terbukti melakukan pelanggaran. Sebaliknya, dia juga berhak menetapkan dan merehabilitasi hakim yang memang tidak terbukti melakukan kesalahan.
Dalam kitab Qudhat Qurthubah [Para Hakim Cordoba] disebutkan, bahwa Amir Hakam, wali Cordoba, mempunyai seorang hakim di wilayah Jian. Penduduk di wilayah tersebut mengajukan aduan terhadap dirinya. Amir Hakam kemudian memberikan mandat kepada Sa’id Muhammad bin Basyir, kepala hakim di Cordoba untuk melakukan penyidikan terhadap hakim di wilayah Jian tersebut. Jika terbukti hakim tersebut bersih, maka dia harus dipertahankan dan direhabilitasi nama baiknya. Sebaliknya, jika terbukti, maka dia harus diberhentikan dari jabatannya.
Setelah dilakukan penyidikan, ternyata hakim tersebut tidak bersalah. Setelah itu, Sa’id Muhammad bin Basyir pun berkata kepadanya, “Tetaplah kamu pada jabatanmu.” Hakim ini pun akhirnya tetap menduduki jabatannya.
Selain itu, di masa Khilafah Umayyah, juga ada lembaga yang disebut Khutthat ar-Radd, yang mempunyai kewenangan untuk mengkaji dan meninjau keputusan hakim. Mereka yang pernah memangku jabatan ini adalah Muhammad bin Tamlikh at-Tamimi di masa Khalifah al-Mustanshir (w. 366 H), di era Khilafah ‘Abbasiyyah. Setelah itu, Abdul Malik bin Mundzir bin Sa’id. Orang yang menjabat jabatan ini disebut Shahih ar-Radd.
Dalam referensi yang lain, fungsi ini diperankan oleh Mahkamah Mazalim, yang bertugas untuk mengkaji keputusan hakim. Jika terbukti, keputusan tersebut tidak sesuai dan bertentangan dengan hukum syara’, maka Qadhi Mazalim bisa membatalkan keputusan tersebut. Bahkan, kebijakan khalifah pun bisa, jika dianggap tidak sesuai dan bertentangan dengan hukum syara’, maka Qadhi Mazalim bisa menghentikan pelanggaran tersebut.
Karena itu, Mahkamah Mazalim ini diisi oleh orang-orang yang mumpuni keilmuannya. Mereka adalah para mujtahid. Bukan hanya mujtahid, kehidupan mereka juga harus bersih. Mereka pun dikenal ahlu takwa, yang zuhud dan wara’. Dengan begitu, keadilan dan kebenaran benar-benar akan bisa ditegakkan. [] HAR