HTI Press, Jakarta. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia (DPP HTI), Rokhmat S Labib dalam sebuah kesempatan pada pembukaan forum diskusi politik nasional di Jakarta, menyatakan bahwa beragam masalah yang menimpa negeri ini sebenarnya berpangkal pada dua persoalan utama.
“Masalah di Indonesia dan negeri-negeri Muslim itu berpangkal pada dua, yakni sistem yang rusak dan penguasa yang bobrok,” ujarnya di depan sekitar 150 peserta yang hadir dalam acara Halqah Islam dan Peradaban, Rabu (15/4) di Aula Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta.
Menurut Rokhmat, umat saat ini tidak sadar akan problematika utama yang melanda. Mereka hanya melihat di kulit luarnya saja. Kalaupun melihat masalahnya, hanya terfokus pada kegagalan rezim tanpa melihat rezim tersebut merupakan boneka negara penjajah dan sistem yang diterapkan adalah sistem yang bermasalah. “Tidak hanya pemimpinnya, sistemnya juga bermasalah. Bahaya terbesar bagi negeri ini adalah neo liberalisme dan neo imperialisme,” jelasnya dalam acara yang bertema Indonesia Kita Terancam Neoliberalisme & Neoimperialisme.
Rokhmat juga mengingatkan bahwa solusi mendasar untuk menyelesaikan problematika tersebut adalah melalui jalan kembali pada Islam kaffah dengan menerapkan syariah dan khilafah, sebagaimana yang senantiasa dikampanyekan Hizbut Tahrir.
Meski beragama non Muslim, politisi senior PDIP Effendi Simbolon langsung setuju dengan solusi yang ditawarkan Rokhmat. “Dengan menerapkan syariah, sudah bisa membentengi laju arus imperialisme di negeri ini,” ujarnya, saat dipersilakan sebagai pembicara pertama.
Effendi juga mempertanyakan mengapa masih ada Muslim yang menolak syariah, sementara dirinya sendiri menyetujui konsep Islam dalam mengatur negara sebagai solusi sistemik ideologis. “Kenapa malah Muslim masih ada yang menolak, bahkan di parlemen sendiri,” herannya.
Saat ini, lanjutnya, hanya sedikit komunitas yang masih konsisten mengkritisi dominasi asing di negeri ini, antara lain HTI. “Saya bahkan tidak melihat komunitas Islam besar (lainnya) yang merespon (dominasi asing ini) seperti mereka merespon isu ISIS dan lainnya,” ungkapnya.
Effendi mengapresiasi perjuangan politik HTI yang diantaranya mengkritisi persoalan yang melanda negeri ini, termasuk isu yang saat ini diangkat HTI sebagai kampanye nasional berupa masalah ancaman neo liberalisme dan neo imperialisme. Effendi bahkan meyakini bahwa apa yang diperjuangkan HTI adalah bagian dari cita-cita dari para pahlawan,
“Saya yakin itulah cita-cita leluhur kita para pendahulu. Andai saja kita punya uang, maka kita iklankan di TV-TV, di TVRI, di RCTI, di TV One, dan lain-lain, agar masyarakat kita tahu dan paham,” tuturnya yang menyetujui tayangan yang ditampilkan Infokom HTI tentang ancaman neo liberalisme dan neo imperialisme pada negeri ini.
Effendi juga menyayangkan betapa lemahnya mental penduduk negeri ini termasuk penguasa, sehingga mudah tersusupi modal atau komprador asing, “Mental kita bobrok sekali,” tegasnya.
Effendi yang menyatakan bahwa dirinya beragama Kristen Protestan, bahkan memberikan dukungan dan semangat pada HTI untuk konsisten memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah.
“Saya dukung teman-teman HTI memperjuangkan syariah dan khilafah, tetap konsisten berjuang, paling tidak dua puluh tahun yang akan datang kita akan menuai hasilnya,” kata Effendi yang kemudian menegaskan dirinya siap menjadi perantara bagi HTI untuk menjelaskan konsep Islam kepada instansi atau lembaga penting terkait yang bisa ia jangkau seperti Istana, DPR, Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, dan lainnya.
Sementara itu, peneliti Indonesia for Global Justice, Salamuddin Daeng, mengatakan bahwa Indonesia saat ini terjerat dalam tiga persoalan rumit. Pertama, perjanjian-perjanjian internasional yang mengikat, seperti investasi dan perdagangan. Kedua, proses reformasi yang membuka keran intervensi asing dalam merancang Undang-Undang yang kemudian disahkan DPR. Ketiga, kontrak-kontrak yang menemukan keadaan idealnya sekarang.
Daeng juga memaparkan aliran pemikiran orang-orang penting di belakang Jokowi, seperti Menko Perekonomian, Menteri Ekonomi, dan lainnya. “Mereka tidak jauh dari kebijakan utama Utang Luar Negeri dan Investasi Asing, mendorong kenaikan harga-harga, dan pajak seluas-luasnya,” jelasnya.
Sebagai pembicara terakhir, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto menjelaskan terkait solusi yang mendasar untuk menyelesaikan problematika-problematika tersebut hanyalah Islam. “Islam yang dimaksud tentu bukan dalam masalah keyakinan (aqidah) karena itu rana pilihan masing-masing (individu) dan tidak ada paksaan, tetapi yang dimaksud adalah Islam dalam tataran solusi problematik (sistem Islam),” jelasnya.
Ismail juga menjelaskan bahwa Hizbut Tahrir tengah serius menjelaskan ancaman neo liberalisme dan neo imperialisme ini kepada umat, “Ada dua tema besar yang kami (HTI) angkat, selain tema ini (Indonesia dalam Ancaman Neo Liberalisme dan Neo Imperialisme), tema kedua adalah Selamatkan Indonesia dengan Syariah dan Khilafah,” pungkasnya.[]Inshany al-Fatah/Joy