Oleh Catherine Putz
Secara teknis, kebebasan beragama diabadikan dalam konstitusi Tajikistan. Namun dalam kenyataannya, praktek-beragama setidaknya bagi kaum Muslim di negara dengan mayoritas kaum Muslim itu dikontrol ketat oleh negara. Dalam beberapa bulan terakhir, Tajikistan telah mengeraskan cengkeramannya atas praktek-praktek beragama Islam dimana Presiden Tajikistan berkomentar tentang cara berpakaian yang tepat, dan terdapat laporan yang memaksa dicukurnya jenggot, dan peraturan baru tentang siapa saja yang boleh naik haji.
Hingga pemilihan anggota parlemen bulan lalu, Tajikistan adalah satu-satunya negara di Asia Tengah di mana Islam politik memiliki perwakilan. Partai Kebangkitan Islam Tajikistan (IRPT) secara luas disebut-sebut sebagai satu-satunya partai agama yang terdaftar secara hukum di wilayah tersebut. Sementara memang benar, bahwa dalam pemilu di bulan Maret (yang dilakukan dengan kecurangan) IRPT mengalami kekalahan, dan untuk pertama kalinya sejak disahkan menyusul terjadinya perang saudara partai itu akan keluar sepenuhnya dari pemerintah. Yang lebih menambah keburukan, lembaga-lembaga agama resmi di negara itu telah meminta pemerintah agar melarang IRPT, dan sebagian orang bahkan menyarankan agar mencapnya sebagai organisasi teroris.
Kuatnya cengkeraman dari negara terhadap Islam melampaui bidang politik. Komite Negara Urusan Agama (CRA) bertanggung jawab untuk mengawasi dan menerapkan UU yang berkaitan dengan agama-termasuk pendaftaran kelompok-kelompok agama, peraturan untuk mengimpor materi-materi agama, dan pengawasan terhadap masjid dan gereja. Dewan Ulama memberikan panduan kepada komunitas Muslim Tajik dan sementara masih independen, untuk menampilkan versi Islam yang disetujui negara.
Ada undang-undang tentang buku-buku yang melarang siswa perempuan mengenakan hijab, melarang mereka yang usianya di bawah 18 tahun untuk ikut dalam kegiatan keagamaan yang diperuntukan untuk umum, kecuali menghadiri pemakaman, yang juga diatur. Menurut Laporan Kebebasan Beragama Internasional yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika tahun 2013 :
UU mengatur perayaan oleh individu dan upacara pemakaman, termasuk pernikahan dan Mavludi Payghambar (Maulid Nabi Muhammad SAW). UU membatasi jumlah tamu yang hadir, meniadakan pesta pertunangan, dan mengatur pemberian hadiah pada upacara dan ritual lainnya. UU mengenai agama menegaskan prinsip-prinsip ini, dengan perintah bahwa “ibadah yang dilakukan secara massal, tradisi keagamaan, dan upacara harus dilakukan sesuai dengan prosedur untuk mengadakan pertemuan, demonstrasi, unjuk rasa, dan prosesi damai yang ditentukan oleh undang-undang.”
Kontrol negara terhadap ekspresi keagamaan meluas mencakup pakaian pribadi dan perawatan tubuh. Pada bulan Januari 2014, para Imam Tajik diberikan seragam baru, dan Abdulfattoh Shafiev baru-baru ini menulis untuk Global Voices tentang beberapa insiden dimana mereka dipaksa untuk mencukur jenggot.
Pada tanggal 31 Maret, seorang pengunjung yang datang ke Khujand tersesat, dan meminta seorang polisi lokal bagaimana menemukan jalan. Pria berusia 38 tahun itu, yang memiliki jenggot setelah naik haji lima tahun yang lalu, segera menyesali pertanyaannya.
Dia mengatakan bahwa dia dibawa ke kantor polisi, lalu dipukuli, dan jenggotnya dicukur paksa.
Sebagaimana di bekas republik Soviet lainnya di Asia Tengah, pemerintah Tajikistan sangat sekuler sedangkan rakyat pada umumnya adalah Muslim. Pengaruh komunisme Soviet pada agama di wilayah tersebut seharusnya jangan diabaikan, dan secara fundamental mempengaruhi hubungan antara rakyat, agama mereka, dan politik. Dalam sebuah makalah yang diterbitkan oleh Chatham House bulan November lalu, John Heathershaw, dan David W. Montgomery mengidentifikasi klaim bahwa Islam politik menentang negara sekuler sebagai salah satu dari enam mitos yang meradikalisasi kaum Muslim pasca-Soviet di Asia Tengah. Baik itu mitos ataupun bukan, ada kekhawatiran bahwa Islam politik bisa menentang kemapanan.
Pada minggu ini, Interfax melaporkan bahwa CRA mengatakan dalam konferensi pers bahwa hanya orang-orang yang di atas usia 35 tahun yang akan diizinkan untuk naik haji. CRA bertanggung jawab untuk mendaftarkan mereka yang ingin naik haji. Arab Saudi, yang menetapkan kuota nasional untuk mengatur para jemaah haji yang jumlahnya besar setiap tahun, dilaporkan telah menurunkan kuota bagi Tajikistan dari 8.000 orang menjadi 6.300 orang.
Salah satu cara untuk melihat batasan usia pemerintah Tajik adalah kepraktisan-ini adalah cara mudah untuk mengurangi para pemohon yang ingin naik haji. Tapi mengingat tren lain, dan karena ketakutan luar biasa pemerintah atas radikalisasi kaum muda, keputusan itu menjadi suatu bahan cerita yang lebih besar yang mencatat tindakan keras pemerintah Tajikistan terhadap Islam. (thediplomat.com, 17/4/2015)