Tindakan pemerintah Indonesia mengeksekusi para terpidana mati menimbulkan pro dan kontra. Rencana pemerintah ini kontan mendapat penentangan berbagai kalangan khususnya mereka yang anti terhadap hukuman mati. Amnesty International (AI) menyampaikan suadara terbuka kepada pemerintah Indonesia, Kamis (19/2), mendesak pemerintah menghentikan hukuman mati dan menghapus hukuman mati dalam KUHP.
Sekretaris Jenderal Amnesty International Salil Shetty, menyatakan AI menentang hukuman mati untuk semua kejahatan tanpa kecuali, sebagai suatu pelanggaran terhadap hak atas hidup dan merupakan penghukuman yang paling kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.
Eksekusi mati, menurut Salil, menjadikan Indonesia akan melanggar hukum dan standar HAM internasional. Penolakan pemerintah terhadap grasi para terpidana mati dianggap meremehkan hak individu untuk memohon pengampunan atau pengurangan hukuman. Padahal itu tercantum pada Pasal 14 Konstitusi Indonesia dan Pasal 6 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), di mana Indonesia merupakan negara anggota.
Amnesty International mendesak pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan rencana mengeksekusi 11 orang, dan mengevaluasi semua kasus dengan pandangan untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman pemenjaraan, selain menetapkan moratorium eksekusi dengan pandangan untuk menghapuskan hukuman mati sesuai dengan resolusi Majelis Umum PBB.
Sebelumnya para pegiat HAM juga menyuarakan hal tersebut. Koalisi Anti Hukuman Mati yang beranggotakan Elsam, LBH Jakarta, PMKRI, PBHI, Ciliwung Merdeka, Setara Institute, HRWG, LMND, PRD, CC GKST, Padma Indonesia, IMMADEI, Kamtri, GMNI UKI, Novico, IKOHI, KontraS, KOMPAK, dan berapa individu mengeluarkan rekomendasi yang sama persis dengan Amnesty Internasional.
Selain alasan itu, puluhan LSM di Surabaya yang menaungi korban narkoba menyatakan hukuman mati bukanlah cara untuk menekan peredaran narkoba dan angka kejahatan narkoba itu sendiri. Menurut mereka, seharusnya pemerintah membentengi wilayah negara Indonesia agar narkoba tidak masuk ke Indonesia, bukan menambah korban mati karena hukuman mati.
Sementara itu, menurut Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), selama proses pengadilan yang dimulai dari penyelidikan, penangkapan, penahanan dan penyidikan untuk para pengguna narkoba, sebagai contoh, para penyidik hanya menggunakan standar biasa sebagaimana para tersangka pidana biasa. Padahal, menurut mereka, narkoba bukanlah tindak pidana biasa karena dalam UU Narkoba dikenal hukuman mati. Sehingga, prosesnya harus lebih hati-hati.
Tak hanya LSM HAM, Sekjen Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Ban Ki Moon pun meminta Indonesia menghentikan hukuman mati. Permintaan serupa datang dari Australia, Brazil, dan Uni Eropa yang warga negara mereka akan dieksekusi.
Bantah Argumentasi
Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengeritik para pegiat dan pejuang hak asasi manusia (HAM) yang menolak hukuman mati bagi bandar dan pengedar narkoba. “Kita tidak bisa memandang hukuman mati itu melanggar HAM apalagi dalam pandangan Islam bahwa hukuman mati juga ada untuk kejahatan-kejahatan yang memang wajib dihukum mati!” tandasnya.
Ia juga mengingatkan pegiat HAM, jangan hanya bicara tentang melindungi pelaku/terdakwa karena juga penting untuk melindungi korban. Nah, dari kejahatan yang dilakukan para pengedar dan bandar itu ternyata ada 40-50 orang meninggal dunia setiap hari di Indonesia.
“Para pegiat atau pejuang HAM juga harus berpikir seperti itu. Itu artinya, kejahatan ini harus dihadapi dengan serius supaya bisa berhenti. Bagaimana agar bisa menghentikan? Dengan hukuman yang keras. Ya hukuman paling keras itu hukuman mati,” tegasnya.
Ismail pun membantah pernyataan pegiat HAM yang menyebut ‘hukuman mati tidak bisa menghentikan kejahatan. “Sudah dihukum mati saja kejahatan tidak hilang, apalagi tidak ada hukuman mati. Lalu apa yang ditakuti oleh para calon penjahat itu? Jadi ini kan sebenarnya pernyataan asumtif yang bisa kontradiktif dengan pernyataan asumtif lain,” bebernya.
Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution berpendapat, boleh saja eksekusi mati kontroversi di negara lain, tetapi boleh jadi berbeda bagi Indonesia yang memiliki banyak cerita duka akibat narkoba.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Yuwana pun mengungkapkan, tidak semua negara di dunia menghentikan hukuman mati. Bahkan di negara bagian Amerika Serikat sendiri masih memberlakukan hukuman mati. Toh, tidak ada yang mengatakan Amerika melanggar HAM.
Ia menilai, ada upaya dari negara-negara di dunia, khususnya Uni Eropa, yang hendak menyebarkan moral tertentu kepada negara lain. Hukuman mati dianggap tidak sesuai dengan moral mereka. “Mereka akan mengkritik negara yang melaksanakan hukuman mati,” katanya
Layak Dihukum Mati
Tahukah Anda berapa korban narkoba di Indonesia? Berdasarkan data hasil penelitian BNN bersama Pusat Penelitian Kesehatan UI, pada tahun 2014 di Indonesia ada 4 juta pengguna narkoba. Pada tahun 2011 tiap hari 50 orang mati karena narkoba. Pada tahun 2014 tiap hari 33 orang mati karena narkoba.
Saking parahnya, Presiden Jokowi pun menyatakan, Indonesia saat ini darurat narkoba. Menurutnya, hampir 50 orang mati setiap hari karena narkoba. Dalam setahun 18 ribu orang mati karena narkoba.
Ini jumlah yang sangat besar. Jumlah ini ratusan kali lipat dari jumlah orang yang mati karena terorisme. Jika terhadap kasus terorisme hukuman mati dinilai layak diterapkan, tentu untuk kasus narkoba yang jumlah korban matinya jauh lebih banyak, hukuman mati jauh lebih layak diterapkan. Apalagi narkoba juga “mematikan” penggunanya, terutama yang kecanduan meski orangnya masih hidup. Pasalnya, narkoba telah “mematikan” kehendak, akal dan masa depannya.
Tak heran masyarakat mendukung penerapan hukuman mati bagi bandar narkoba. Hukuman mati memang menghilangkan hidup si terpidana. Namun, hukuman mati itu akan bisa mempertahankan hidup atau mencegah hilangnya nyawa banyak orang.
Maka, hukuman mati dalam kasus narkoba jelas menjadi keniscayaan. . [] Mediaumat edisi 146 /joy/emje