Nabi SAW mengajarkan, ketika berbuat baik kepada siapapun mempunyai pahala di sisi Allah SWT, termasuk kepada hewan, sehingga membuat para sahabat heran. “Pada setiap hati yang basah itu ada pahalanya” (HR Bukhari), begitu tutur Nabi. Nabi pun menuturkan, kisah wanita yang dimasukkan ke dalam neraka, karena menyiksa seekor kucing (HR Bukhari). Sebaliknya, ada seorang pelacur Bani Israel, yang diampuni dosanya dan masuk surga, karena kebaikannya kepada seekor anjing (HR Bukhari).
Bahkan, terhadap hewan sembelihan pun, Nabi SAW mengajarkan akhlak yang mulia. Pertama, ketika hendak menyembelih, maka menyembelihnya dengan pisau yang tajam, bukan pisau tumpul. Kedua, tidak menyeret hewan sembelihan dengan kasar. Ketiga, tidak menyembelihnya di depan hewan yang lain. Semuanya ini ditegaskan Nabi, “Jika kalian menyembelih hewan, maka bersikap ihsanlah terhadap sembelihanmu.” (HR Ibn Majjah).
Begitulah akhlak yang diajarkan Nabi SAW kepada hewan. Akhlak inilah yang dijaga, dan dipraktikkan oleh para penguasa kaum Muslim. Ketika ‘Amr bin al-‘Ash, diutus ke Mesir oleh Khalifah ‘Umar bin al-Khatthab, untuk menaklukkan negeri Kinanah itu, beliau mendirikan tenda (barak). Karena lama tinggal di tenda (barak) tersebut, akhirnya tenda itu pun dijadikan sarang burung merpati. Ketika hendak pergi, ‘Amr bin al-‘Ash melihatnya, dan begitu sebaliknya. Namun, ‘Amr bin al-‘Ash membiarkan dan tidak mengusiknya. ‘Amr bin al-‘Ash kemudian membangun perumahan di sekitarnya, sehingga menjelma menjadi sebuah kota, yang dikenal dengan nama al-Fusthath.
Ketika ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz menjadi khalifah di era Khilafah Umayyah, beliau menginstruksikan kepada rakyatnya untuk tidak menunggangi kuda, kecuali karena keperluan. Kepada pembuat baju besi juga disampaikan, agar tidak membawa alat-alat yang memberatkannya, tidak pula mencocok lambungnya dengan pisau yang terbuat dari besi di bawahnya. Kepada wali Mesir, beliau tulis surat, “Telah sampai kepadaku berita, bahwa di Mesir ada seekor unta yang mengangkut muatan sebanyak 1000 liter. Karena itu, ketika suratku ini sampai kepadamu, jangan sampai aku mengetahui ada yang membebani untanya lebih dari 600 liter.” [Muhammad bin ‘Abdullah al-Hakam, Sirah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz].
Hal yang sama juga dilakukan oleh Khalifah Sulaiman al-Qanuni, di era Khilafah ‘Ustmaniyyah. Ketika beliau melihat semut dan sarangnya yang ada di sebuah pohon, yang dianggap cukup menganggu, kemudian pohon tersebut hendak ditebang, Khalifah agung itu pun meminta fatwa kepada para ulama. Para ulama itupun memberikan fatwa yang diminta dalam bentuk syair, yang menyentil rencana sang Khalifah, “Kalau seorang penguasa hendak memusnahkan rumahnya, lalu kepada siapa mereka hendak mendapatkan perlindungan..”
Jawaban para ulama itu pun menghentak sang Khalifah agung itu. Beliau pun akhirnya mengurungkan niatnya, menebang pohon yang menjadi sarang semut itu. Maka, semut-semut itu pun akhirnya tetap merasakan ketenangan dan hidup tanpa terusik sedikit pun oleh ulah kebijakan penguasa. Begitulah, akhlak dan kebijakan penguasa kaum Muslim terhadap hewan. Begitulah indahnya syariat Islam. Wallahu a’lam []
Sumber: Tabloid Mediaumat