Time Will Tell

Sejak awal pembentukannya pada tahun 1953, Hizbut Tahrir (HT) adalah sebuah partai politik Islam. Politik adalah kegiatan utamanya. Islam adalah landasan atau ideolginya. HT bergerak di tengah dan bersama umat dalam berjuang untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam. Caranya adalah melalui penerapan syariah Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah. HT berjuang melalui dakwah yang bersifat fikriyah (pemikiran), siyasiyah (politis) dan la ‘unfiyah (non-kekerasan). Tiga prinsip ini dipegang kokoh oleh HT di negara manapun bergerak, termasuk di negeri ini.

Dari awal HT tidak pernah menyembunyikan tujuannya. Ide syariah dan khilafah disampaikan secara terbuka. Dalam perjalanan-nya tentu tidak sedikit halangan, rintangan, hambatan dan gangguan yang dialami, termasuk kesalahpahaman dari sesama kelompok dakwah. Misalnya, pada tahun 80-an, di Indonesia, HT acap dicemooh, ngapain dakwah kok politik; juga ngapain dakwah kok bawa-bawa fikrah. Bahkan pernah di satu kurun waktu, HTI disebut kelompok fikrah. Saat HT menyerukan syariah dan khilafah, mereka juga acap mempertanyakan: Apa tidak tergesa-gesa. Apa umat sudah siap?

++++

Dakwah dengan segala ragam kegiatan berikut dinamikanya terus berjalan. Waktulah yang kemudian membuktikan bagaimana konsepsi yang diadopsi HT itu benar serta kebijakan yang diambil juga terbukti tepat. Time will tell. Begitu orang Barat bilang.

Misalnya, soal prinsip non-kekerasan (la ‘unfiyah). Sebenarnya ini prinsip yang sederhana. Dakwah yang bertujuan untuk menanamkan pemikiran Islam dan membantah pemikiran selain Islam memang harus disampaikan tanpa kekerasan karena kekerasan tidak akan mengubah pemikiran. Pemikiran harus dilawan dengan pemikiran. Berkat prinsip la ‘unfiyah yang dipegang secara konsisten hingga sekarang, orang tidak mudah mengecap HT sebagai kelompok teroris. Namun, tidak sedikit juga yang kemudian salah paham, seolah HT menjauhi jihad. Orang memang acap sulit membedakan antara amal dakwah dan amal jihad. Amal dakwah memang tanpa kekerasan, tetapi amal jihad justru harus dengan kekerasan. Bagaimana bisa diraih kemenangan bila jihad tanpa kekerasan?

Namun demikian, seiring dengan waktu, kesalahpaman itu hilang. Istilah fikrah sekarang dipakai oleh hampir semua gerakan Islam untuk menyebut ide atau pemikiran. Istilah syakhsiyyah (kepribadian) yang dulu sempat jadi bahan ejekan, kini juga cukup akrab di telinga para aktifis dakwah. Bahkan mereka yang dulu mencemooh, sekarang melakukan apa yang dulu dicemoohkan. Dulu mereka mengkritik mengapa HTI dakwah politik. Kini mereka malah getol sekali berpolitik, dan mencemooh HTI lagi, mengapa nggak ikut berpolitik.

Hal lain, soal dana. HT adalah gerakan Islam yang sangat puritan dalam urusan dana. Orang salah mengira, HT adalah gerakan yang seolah banyak duit karena, kata mereka, kegiatan HT begitu banyak, besar-besar lagi, tentu memerlukan dana yang besar pula. Padahal dana kegiatan HT sepenuhnya dicukupi dari iuran anggota, bukan yang lain. Menjadi ketetapan HT untuk tidak menerima dana dari pihak eksternal, baik individu maupun lembaga, termasuk sumbangan dari Pemerintah. Dulu, prinsip ini terasa agak aneh. Jelas HT memerlukan dana amat besar untuk menggerakan berbagai kegiatan dakwah, tetapi kok tidak menerima sumbangan dari luar. Namun, sekarang terbukti, sikap seperti itulah yang menyelamatkan HT dari berbagai fitnah yang biasanya mudah sekali ditimbulkan melalui uang.

Dulu kita berpikir, untuk apa kita selalu membawa-bawa al-liwa’ (bendera putih bertuliskan hitam) dan ar-raya (bendera hitam bertuliskan putih). Kini kita tahu, itulah cara paling tepat untuk mengenalkan bendera Rasulullah saw., yang juga adalah bendera persatuan umat. Ketika isu ISIS mencuat seperti saat ini, orang tak bisa mempermasalahkan al-liwa’ dan ar-raya’ karena kedua bendera itu telah lebih dulu dikenal. Bayangkan, andai kedua jenis bendera itu baru dibawa-bawa sekarang ini, saat monsterisasi dan kriminalisasi terhadap dakwah Islam tengah gencar terjadi, tentu akan dengan mudah orang menuduh macam-macam.

Begitu juga dengan ide khilafah. Sejak awal HT dengan lantang dan terus terang meneriakkan ide ini. HT menyeru umat untuk bergegas menegakkan payung dunia Islam ini, yang akan mempersatukan umat Islam seluruh dunia, menerapkan syariah secara kaffah dan kembali mengembangkan dakwah ke seluruh dunia. Begitu konsistennya HT meneriakkan khilafah hingga banyak pihak menilai khilafah telah identik dengan HT atau HT identik dengan khilafah. Karena itu ketika isu ‘khilafah’ ISIS mencuat, ide khilafah yang telah lebih dulu didengungkan itu justru mendapatkan momentum terbaiknya untuk lebih berkembang, karena publik menjadi lebih ‘nyadar’ dengan ide khilafah yang dimaksud oleh HT. Bayangkan juga bila kita baru sekarang ini mengenalkan ide khilafah, tentu dengan mudah dikaitkan dengan ISIS. Dengan mudah pula orang mengkriminalisasikan tanpa sempat kita memberikan penjelasan detil yang amat diperlukan untuk memahami dengan benar khilafah yang dimaksud.

Monsterisasi adalah usaha untuk mencitrakan sesuatu (ide, benda atau orang) sebagai hal yang menakutkan, bagaikan monster, padahal aslinya tidak menakutkan karena memang ia bukanlah monster. Tujuannya tak lain agar publik takut dan menjauhi sesuatu itu. Adapun kriminalisasi adalah menjadikan seseorang seolah melakukan tindak kejahatan atau kriminal, padahal tidak.

Sekarang ini, siapa saja yang kedapatan membawa bendera hitam bertuliskan La ilaha illalLah dengan bundaran bertuliskan Muhammad Rasulullah atau memakai atribut-atribut bertuliskan kalimat tadi, pasti akan ditangkap. Mereka dianggap melakukan kejahatan. Padahal apa kejahatan yang telah mereka lakukan? Tidak ada. Mereka hanya membawa bendera atau memakai atribut-atribut yang dianggap lambang ISIS. Lalu karena khawatir akan dianggap melakukan kejahatan, maka orang jadi takut terhadap bendera dan atribut-atribut itu. Ini tentu ironi besar. Bagaimana mungkin umat Islam takut terhadap bendera tauhid? Bagaimana mungkin orang yang sekadar membawa bendera itu lantas serta merta dianggap melakukan kejahatan?

Bila kecenderungan ini tidak segera dihentikan, bukan tidak mungkin monsterisasi dan kriminalsisasi akan menyentuh sisi yang lebih substansial, yakni terhadap ajaran jihad dan khilafah. Kalau ini sampai terjadi, tentu lebih ironi lagi. Bagaimana mungkin orang takut pada jihad, padahal jihad adalah ajaran Islam yang sangat mulia. Siapa yang meninggal dalam jihad disebut mati syahid. Inilah derajat kematian tertinggi, yang akan berbalas surga tanpa hisab. Dalam sejarah bangsa, jihad pula yang telah menghantarkan negara ini merdeka. Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh Syaikh Hasyim Asy’ari pula yang telah membakar semangat arek-arek Suroboyo untuk bangkit melawan sekutu yang membonceng tentara NICA ketika itu.

Bagaimana juga orang takut pada ide khilafah, sementara khilafah adalah ajaran Islam yang luar biasa, yang telah terbukti berhasil mempersatukan umat Islam seluruh dunia dan mewujudkan peradaban emas (the golden age) yang rahmatan lil alamin berbilang abad pada masa lalu. Khilafah pula yang berperan besar dalam penyebaran Islam hingga ke wilayah Nusantara melalui para ulama yang kemudian dikenal dengan julukan walisongo. Jadi, bagaimana bisa kita takut terhadap perkara yang justru telah banyak memberikan kebaikan kepada kita? Tragis! [HM Ismail Yusanto]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*