oleh:Seth J Frantzman – komentator politik di Yerusalem
Diskriminasi telah lama menjadi masalah pada masyarakat Israel – Akankah demonstrasi akan mengubah hal ini?
“Darah Yahudi saya cukup baik untuk menjadi prajurit di militer, tapi ternyata itu tidak cukup diterima,” teriak seorang wanita di depan polisi anti huru hara pada hari Kamis lalu di Yerusalem.
“Saudara saya ada di Golani (unit militer) begitu juga saya, tapi saya tidak bisa mendapatkan pekerjaan, saya menghadapi sikap rasisme ketika ingin pindah ke sebuah apartemen,” kata seorang pria lain di Tel Aviv pada hari Minggu malam.
Kedua orang itu adalah dua suara yang mewakili ribuan orang yang melakukan dua protes besar, yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan seringkali terjadi kekerasan, untuk melawan rasisme dan kebrutalan polisi di Israel.
Dalam suatu cuplikan video yang tampaknya lebih mengingatkan cara polisi dalam membubarkan protes penduduk Palestina di Tepi Barat, dengan menggunakan sengatan listrik dan kendaraan lapis baja dan meriam air, terlihat juga barisan polisi yang memegang pentungan untuk menghalau para pengunjuk rasa.
Ini adalah suatu titik penting bagi masyarakat Israel, untuk dapat melihat pada suatu komunitas yang selama bertahun-tahun telah menjadi kaum minoritas yang seringkali diam (hanya sekitar dua persen dari jumlah penduduk) yang keluar melakukan protes di ibu kota dan di kota metropolis Israel yang berteknologi tinggi, untuk memblokir jalan-jalan dan bentrok dengan polisi.
‘Negara Polisi’
Suara protes para demonstran Ethiopia juga suatu hal yang tidak terduga dari sebuah komunitas yang sering memberikan suaranya yang penting dan diberikan bagi kelompok sayap kanan.
“Negara polisi, negara polisi,” teriak banyak demonstran.
Jadi apa yang terjadi di Israel? Apakah “Tepi Barat telah mencapai Tel Aviv”, sebagaimana yang ditulis oleh 972 Majalah Mairav Zonszein di halaman Facebooknya? Atau “Israel menjadi seperti Baltimore” sebagaimana yang dikatakan seorang demonstran kepada sebuah surat kabar.
Pemicu langsung atas protes ini adalah video yang muncul pada tanggal 27 April yang menunjukkan dua orang polisi Israel melakukan serangan yang tidak beralasan kepada seorang tentara Israel asal Ethiopia. Bagi banyak warga Yahudi Israel, tentara adalah sebuah lembaga sakral, yang sering dianggap sebagai salah satu institusi yang paling terpercaya di negara yang curiga terhadap pemerintah dan para politisi. Kasus polisi yang memukuli seorang prajurit menjadi suatu pemicu sebagaimana kematian Mohamed Bouazizi di Tunisia, yang dilihat seperti bendera merah yang melambangkan tahun-tahun kemarahan yang terpendam atas tindakan diskriminasi.
Kita teringat kasus pada bulan Januari 2012, ketika para demonstran Yahudi asal Ethiopia berbaris di Knesset (parlemen Israel) untuk mengutuk rasisme.
“Hitam dan putih adalah sama,” kata mereka. Tapi hanya sedikit orang yang mau mendengarkan. Selama pemerintahan terakhir, seorang anggota Knesset Pnina Tamano-Shata, yang merupakan salah seorang dari dua orang anggota Knesset asal Ethiopia, sering berselisih dengan lembaga-lembaga pemerintah mengenai masalah rasisme. Dia mengangkat isu mengapa donor darah dari warga Ethiopia ditolak oleh otoritas kesehatan padahal mereka meminta publik untuk melakukan donor darah.
Terungkap bahwa pemerintah Israel yang bekerja dengan para imigran Yahudi di Ethiopia telah memberikan kepada mereka kontrol jangka panjang untuk melahirkan yang seringkali dilakukan melalui tekanan atau tidak menginformasikan hal itu kepada para wanita mengenai pilihan mereka. Sebuah laporan mengejutkan mengungkapkan bahwa lebih dari 40 persen pria Ethiopia yang menjadi tentara dikirim ke penjara militer selama mereka berdinas di ketentaraan.
Ini adalah gambaran sebuah masyarakat yang yang rusak dan adanya siklus diskriminasi dan kemiskinan yang mengunci orang-orang Yahudi Ethiopia di lingkungan miskin di wilayah “pinggiran” atau di luar pusat perkotaan beberapa kota. Sebagian besar orang Ethiopia yang datang ke Yerusalem dan Tel Aviv untuk melakukan protes itu lahir di Israel, dan bukan imigran baru.
Masyarakat yang rusak
Mereka telah bertugas di ketentaraan (semua orang Yahudi Israel harus mengikuti rancangan pertahanan nasional), dan sebagian bahkan bertugas pada berbagai unit polisi. Mereka telah ikut berjuang dalam berbagai peperangan, dan seringkali mengutip masalah ini dalam diskusi dengan orang-orang yang bertanya kepada mereka mengapa mereka dating ke Israel.
Tapi bagi mereka berada pada dinas militer adalah hal yang menyedihkan secara finansial. Kebanyakan tentara dibayar sekitar $ 100 per bulan selama tiga tahun. Bagi mereka yang berasal dari keluarga miskin hal itu berarti mereka hampir tidak mampu untuk membayar rekening telepon. Sebagian dari mereka akhirnya bekerja paruh waktu saat melakukan dinas militer penuh. Dan ketika mereka datang terlambat atau harus keluar karena alasan ekonomi maka mereka dikirim ke penjara militer dengan alasan “mangkir dari dinas”.
Tingkat penahanan bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun juga naik, sehingga orang-orang Yahudi Ethiopia merupakan 30 persen dari mereka yang ada dalam tahanan untuk remaja.
Rasisme pada masyarakat Israel memiliki akar sejarah pada tahun 1950-an saat masing-masing kelompok imigran dan minoritas Arab lokal dipandang sebagai “orang luar” oleh kaum elit Yahudi yang sebagian besar adalah orang Eropa. Bahkan dalam pemilu terakhir, orang-orang Yahudi dari negara-negara Arab disebut sebagai orang-orang “Neanderthal”. Orang-orang Ethiopia, meskipun digambarkan sebagai warga negara yang ramah dan setia dalam hal budaya, mereka senantiasa mendapat stereotip sebagai orang-orang yang tidak berpendidikan dan primitif; yang dianggap pantas untuk mengambil pekerjaan dengan upah termurah dan seringkali ditolak masuk oleh sekolah-sekolah maupun masyarakat elit.
Kaum Migran dari Afrika
Kedatangan kaum migran Afrika non-Yahudi, yang melarikan diri dari peperangan di Afrika, dalam beberapa tahun terakhir memperburuk situasi Yahudi Ethiopia ‘karena mereka merasa perlu membuktikan “ke-Israel-an” mereka lebih jauh dalam masyarakat yang mengalami ‘Balkanisasi’ yang memandang orang-orang dari luar dengan penuh kecurigaan.
Ketika video itu muncul dan terdapat 1.000 orang Ethiopia yang datang ke Yerusalem untuk melakukan protes, mereka tidak mendapatkan dukungan dari para politisi utama. Tidak satupun anggota Knesset yang datang untuk mendukung mereka, dan kelompok-kelompok sayap kiri yang biasanya lantang berbicara tentang rasisme dalam masyarakat juga mengabaikan mereka.
Polisi menunjukkan tindakan menahan diri saat kaum pria dan wanita muda memblokir rute utma di utara-selatan Yerusalem dan menempati area yang dekat dengan kediaman perdana menteri. Tapi situasi protes yang relatif tenang di Yerusalem menjadi suatu huru-hara di Tel Aviv. Ini bukanlah Baltimore, dan hampir tidak ada barang-barang milik umum yang dirusak, dan bukan seperti protes orang-orang Palestina, di mana tindakan polisi dalam melawan mereka lebih keras.
Tapi hal ini memaksa masyarakat Israel untuk sadar bahwa kelompok yang paling mendukung negara telah memutuskan bahwa mereka tidak dapat mentolerir situasi ini lagi.
Diskriminasi telah lama menjadi masalah pada masyarakat Israel; apakah itu terjadi pada orang-orang Palestina, orang-orang Yahudi dari negara-negara Arab, para imigran Rusia atau orang-orang Yahudi ultra-ortodoks. Orang-orang Ethiopia telah menunjukkan bahwa mereka bisa mendapatkan perhatian publik; tapi apakah mereka bisa mengubah tren yang sudah mengakar dalam masyarakat adalah hal yang sepertinya tidak mungkin terjadi. (riza)
Sumber : Al Jazeera