HIM Seri ke-5: Rantai Pasok Pangan, Problem Sistemik

Pemaparan Pembicara oleh Dr. SuswonoHTI Press, Bogor. Lajnah Khusus Intelektual Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kabupaten Bogor kembali menggelar Halaqah Intelektual Muslim (HIM) seri ke-5. Kali ini yang menjadi bahasan “Mengurai Problematika Rantai Pasok Nasional” mengingat belakangan ini masih terjadi kasus kenaikan harga komoditas bahan pokok strategis khususnya beras, bahkan dialami juga komoditas pangan lainnya seperti kedelai, bawang merah dan putih, cabe, daging sapi, terlebih menjelang puasa Ramadhan dan Lebaran. Sementara itu daya beli masyarakat yang menurun menyebabkan di sisi konsumen semakin sulit mengakses komoditi pangan dan rentan terperosok dalam jurang kemiskinan. Belum lagi persoalan beredarnya beras plastik di pasaran yang mengancam keamanan pangan.

Acara diskusi HIM yang digelar di Auditorium JHH Fakultas Pertenakan, Kampus Institut Pertanian Bogor, Sabtu (23/5) ini menghadirkan dua narasumber. Mereka yaitu Dr. Ir. H. Suswono, MMA (Menteri Pertanian RI periode 2009-2014) dan Dr. Arim Nasim, M.Si. Ak (Ketua Lajnah Maslahiyyah DPP HTI dan Direktur Pusat Kajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UPI Bandung).

Ketua Lajnah Khusus Intelektual (LKI) DPD II Hizbut Tahrir Indonesia Kabupaten Bogor, Dr. Epi Taufik dalam sambutannya mengatakan bahwa diskusi ini ingin mengangkat fakta dan solusinya yang terjadi pada persoalan rantai pasok pangan nasional.

Menurut Dr. Suswono, persoalan utama secara global yang terjadi saat ini dalam rantai pasok pangan adalah adanya ketidakadilan. Liberalisasi pangan juga kian meningkat seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk dan permintaan pangan. Ia mengungkapkan, ada empat ancaman terhadap pertanian diantaranya degradasi sumberdaya pertanian, variabilitas & ketidakpastian iklim, pencemaran pertanian dan konversi alih fungsi lahan.

Selain itu permasalahan pembangunan pertanian terjadi pada beberapa aspek seperti lemahnya sistem produksi dan distribusi benih/bibit, tingginya kerusakan jaringan irigasi dan tingginya biaya produksi dan transportasi, terbatasnya dan rendahnya kualitas SDM, banyaknya petani gurem, lemahnya kelembagaan petani, teknologi masih tradisional hingga konversi serta kepemilikan lahan yang sempit. Katanya.

Kendala produk pertanian kita masih terjadi seperti rendahnya kualitas dan kesinambungan produksi, rantai perdagangan yang panjang, fluktuasi harga, lemahnya daya tawar petani, kurang tersedianya informasi pasar hingga kurangnya jaringan pemasaran.

“Pangan adalah hal yang sangat fundamental, dari persoalan itu kehadiran negara menjadi sangat penting dalam sektor pertanian, Peran pemerintah harus betul-betul kuat. Harus ada kemauan politik yang kuat dalam wujud politik anggaran,” ujarnya.

Suswono juga mengatakan perlu strategi umum pencapaian ketahanan pangan yakni dengan cara revitalisasi yang mencakup lahan, perbenihan, infrastruktur, sumberdaya manusia, pembiayaan dan kelembagaan petani, teknologi dan industri hilir.

Terkait potret rantai pasok beras nasional, “negara harus memotret betul supply dan demand beras nasional. Perlu ada pembenahan data pangan khususnya beras. Di sisi lain Bulog harus kreatif dengan cara membeli gabah petani. Bulog tidak boleh dipermainkan pihak swasta,” katanya.

Mengenai hal kenaikan harga beras, ia menambahkan “Bulog memiliki peran yang besar untuk menjaga stabilitas harga. Negara harus hadir dan turun tangan. Negara harus betul-betul punya perhatian yang khusus tentang pangan. Dari sini kemauan politik menjadi penting”.

Pembicara Dr. Arim Nasim mengatakan, panjangnya rantai distribusi membuat harga pangan melonjak. Fenomena carut marutnya pangan disinyalir ada mafia di sektor pangan. Akibatnya impor pangan terus terjadi padahal surplus pangan.

Arim Nasim juga menyatakan, persoalan mengenai rantai pasok atau kedaulatan pangan ternyata bukanlah masalah teknis belaka tetapi utamanya adalah terkait masalah sistemik. “Akar masalah sektor pertanian adalah tidak terlepas dari grand strategy para kapitalis yang mengarah kepada neoliberalisme yang akhirnya terjebak pada neoimperialisme,” katanya.

Menurutnya selama 20 tahun terakhir, pemerintah RI telah mengadopsi kebijakan pangan ala neoliberal yang sangat pro pasar bebas. Beberapa bentuk kebijakan itu antara lain, adanya penghapusan atau pengurangan subsidi, penurunan tarif impor komoditi pangan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll) dan pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pangan. Kesepakatan internasional seperti Agreement on Agriculture (AoA) tahun 1995, AFTA 2003, Asia Pasifik 2010, Pasar Bebas Asean (MEA) 2015 dan Pasar Bebas Dunia 2020 telah mengancam kedaulatan pangan. Mengenai hal itu, ia menambahkan, solusi untuk mengatasi liberalisme pangan harus diatasi secara sistemik (ideologis) yakni dengan sistem politik ekonomi Islam.

“Ketika sistem politik ekonomi Islam diterapkan, maka negara akan benar-benar fokus untuk menjamin pemenuhan semua kebutuhan primer dan membantu pemenuhan kebutuhan sekunder. Dari politik ekonomi Islam inilah akan muncul politik pertanian berupa hukum-hukum tentang optimalisasi tanah pertanian serta upaya meningkatkan produktivitas barang-barang kebutuhan pokok. Politik pertanian dalam Islam juga akan mewujudkan ketahanan pangan yang meliputi aspek jaminan pemenuhan kebutuhan pokok pangan, ketersediaan pangan, kemandirian pangan negara dan harga yang terjangkau” ujarnya.

Arim nasim juga mengatakan, ketersediaan pangan dicapai dengan kebijakan masalah pertanahan dan ketersediaan infrastruktur. Kebijakan tanah pertanian dilakukan melalui aspek ekstensifikasi dan intensifikasi tanah pertanian. Sebab kepemiikan melalui ekstensifikasi dilakukan dengan pembelian lahan, memagari (tahjir), menghidupkan tanah mati (Ihya’al-Mawat), dan pemberian negara pada petani (Iqtha’ad-Dawlah) sedangkan sebab pengembangan melalui intensifikasi dilakukan dengan haramnya menyewakan tanah pertanian dan wajibnya mengelola tanah pertanian.

“Kepemilikan tanah dalam Islam terkait erat dengan pemanfaatannya. Lahan yang ditelantarkan akan diambil oleh orang lain agar lahan itu hidup sehingga jika lahannya dioptimalkan secara produktif maka akan mendorong ketersediaan pangan,”katanya.

Menurut Arim Nasim, berbicara politik ekonomi Islam akan bicara politik anggaran, sehingga sumber pendapatan anggaran akan diatur sesuai syariah. Fakta menunjukkan sistem khilafah telah berhasil mengelola pangan. Penerapan Islam secara kaffah telah membuat rakyat terjamin akan pemenuhan pangan. “Keberhasilan sistem khilafah dalam menyelesaikan masalah pangan salah satunya terjadi pada masa khalifah bin Abdul Aziz, pada masa beliau tidak seorangpun yang dipandang berhak menerima zakat dan pada masa beliau pula tidak ada satu orangpun penduduk Afrika yang mau mengambil harta zakat,”ujarnya. []LKI Kab.Bogor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*