Data Kementerian Keuangan menyebutkan, total utang Indonesia per awal 2015 mencapai Rp 2.700 trilyun.
Loh Jinawi Tata Tentrem Kertoraharjo. Ungkapan ini begitu dikenal saat Soeharto menjadi Presiden RI. Negeri yang aman, sejahtera dan makmur ini ternyata hingga kini masih menanggung utang yang takkan habis dibayar hingga beberapa generasi bangsa ini.
Seperti diungkapkan Presiden Joko Widodo bahwa utang bangsa Indonesia masih Rp 2.600 trilyun. Utang tersebut, baik bilateral ke negara-negara lain, maupun ke World Bank dan Asian Development Bank (ADB).
Bahkan soal lembaga pemberi utang yakni IMF, sempat terjadi pro kontra antara mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dengan Jokowi. Terlepas dari siapa lembaga pemberi utang itu, tapi bangsa Indonesia hingga kini memang sudah terjerat oleh asing.
Data Kementerian Keuangan menyebutkan, total utang Indonesia per awal 2015 mencapai Rp 2.700 trilyun. Sebagian besar utang diperoleh dari penerbitan surat berharga negara (SBN). Sementara utang yang dipinjam dari lembaga multilateral saat ini sekitar Rp 300 trilyun, terbesar adalah pinjaman dari Bank Dunia Rp 182 trilyun dan ADB Rp 110 trilyun.
Sementara itu catatan Bank Indonesia, utang asing (utang luar negeri/ULN) Indonesia terus meningkat. Posisi utang asing Indonesia pada akhir Februari 2015 sebesar 298,9 milyar dolar AS (setara Rp 3.832 trilyun) atau naik 9,4 persen (year on year/yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Namun menurut BI, posisi itu lebih rendah dari kenaikan Januari 2015 sebesar 10,5 persen (yoy) atau 299,4 milyar dolar AS (Rp 3.838,4 trilyun). “Perkembangan utang luar negeri pada Februari 2015 dipengaruhi melambatnya pertumbuhan utang luar negeri sektor publik maupun sektor swasta,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara.
Posisi ULN pada akhir Februari terdiri atas ULN sektor publik 134,8 milyar dolar AS (45,1 persen dari total ULN) dan ULN sektor swasta 164,1 milyar dolar AS (54,9 persen dari total ULN). Utang luar negeri sektor publik tumbuh 4,4 persen (yoy) atau lebih lambat dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 6,1 persen (yoy).
Perlambatan tersebut, menurut Tirta, didorong menurunnya posisi pinjaman luar negeri pemerintah. Pertumbuhan ULN sektor swasta juga melambat dari 14,4 persen (yoy) pada bulan sebelumnya menjadi 13,8 persen (yoy), terutama karena perlambatan pertumbuhan pinjaman luar negeri. Berdasar jangka waktu asal, posisi ULN Indonesia didominasi ULN berjangka panjang (85,3 persen dari total ULN).
Meski utang Indonesia sangat besar, namun Presiden Jokowi mengatakan, tidak ada yang salah jika sebuah negara berutang pada lembaga keuangan dunia seperti World Bank (WB), Asian Development Bank (ADB) dan International Monetary Fund (IMF). Asalkan, dana dari pinjaman digunakan untuk kegiatan positif.
“Utang nggak apa-apa kok. Asal untuk produktivitas, untuk hal-hal yang produktif. Tapi kalau kita pinjam kemudian untuk subsidi BBM, itu yang saya tidak setuju. Ndak boleh kalau itu,” tegas Jokowi.
Utang memang bukan barang haram. Namun utang justru menjadi warisan bangsa untuk anak cucu. Bayangkan saja, utang sebesar itu mungkin tidak pernah terbayangkan bagi rakyat awam. Dengan nilainya sangat besar, rakyatlah yang bakal menanggung beban tersebut. Tak mungkin para pejabat yang menandatangani perjanjian utang itu membayarnya sendiri.
Terlihat bagaimana justru pemerintah berupaya menggalang dana sebanyak-banyaknya dari rakyat dalam bentuk berbagai macam pajak. Rakyat menjadi obyek pemasok anggaran pemerintah. Sebaliknya sumberdaya alam yang sangat besar malah dilego ke asing. Parahnya lagi, ratusan trilyun dana hanya untuk membayar bunga alias riba. Padahal riba haram dalam Islam. Masihkah kita percaya dengan pemerintah? Joe Lian