Muslim Rohingya Tidak Memiliki Pelindung

“Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan.” (TQS Al-Anfaal: 72)

Melihat keputusasaan kaum Muslim Rohingya adalah sulit untuk dipahami. Pada abad ke-21 ada kaum pria, wanita dan anak-anak, tua dan muda yang terdampar di tengah laut, dengan tidak ada negara yang bersedia untuk mengambil tanggung jawab dengan menyediakan mereka tempat tinggal dan makanan.

Mereka telah dipaksa untuk mengadu nasib di kapal-kapal yang menuju kamp-kamp perdagangan manusia di pulau-pulau terpencil Thailand. Mereka telah menjadi korban kekerasan ekstrim, dengan tidak memiliki makanan pokok dan air dan sering dipaksa untuk minum air kencing mereka sendiri. Mereka yang telah menjadi korban penyakit kemudian dibuang ke laut jika mereka mati atau nyaris sekarat.

Di Thailan, Muslim Rohingya telah ditahan di kamp tahanan hingga mereka dapat membayar uang ribuan untuk pedagang manusia agar bisa dilepaskan atau dijual sebagai budak kepada penawar tertinggi. Mereka yang tidak mampu membayar akan menjadi budak, kaum perempuan dan gadis-gadis muda dipaksa untuk menikah dan kaum laki-laki dijual kepada para nelayan Thailand.

UNHCR memperkirakan bahwa terdapat 130.000 orang Rohingya yang melarikan diri dari Bangladesh dan negara bagian Arakan Barat sejak pecahnya kekerasan pada tahun 2012. Akibatnya, Angkatan Laut Myanmar dan pasukan keamanan lokal mengambil keuntungan dari pembersihan etnis muslim Rohingya di Burma barat dengan menuntut pembayaran dari para penyelundup yang kemudian menyerahkan kaum Rohingya kepada para pedagang manusia, maupun mereka yang berusaha mendapat bagian.

Baru-baru ini kuburan massal kaum Muslim Rohingya telah ditemukan di Thailand. Negara-negara ASEAN (khususnya Thailand, Indonesia dan Malaysia) telah menolak para pengungsi Rohingya yang mencari suaka. Mereka telah menginstruksikan pasukan militernya untuk membawa mereka kembali ke laut dan meninggalkan mereka pada alam yang ganas.

Tindakan pendekatan dari negara-negara tetangga kepada Muslim Rohingya termasuk diantaranya:

Thailand – Angkatan Lautnya mengatakan bahwa mereka telah memberikan bantuan untuk kapal-kapal migran di perairan dan telah menunjukkan memungkinkan mereka mungkin akan mengizinkan dibangunya kamp-kamp pengungsi di pantainya. Namun, mereka ternyata mengusir kapal-kapal itu agar pergi dan tidak ingin adanya para pemukim permanen.

Malaysia- Adalah pilihan alami bagi kebanyakan orang Rohingya karena mayoritas negara itu adalah Muslim dan kekurangan buruh kasar. Tapi Malaysia telah memerintahkan angkatan lautnya untuk mengusir mereka.

Bangladesh- Kadang-kadang membolehkan mereka untuk hidup di kamp-kamp di perbatasan selatan-timur dan kadang-kadang mengirimkan mereka kembali ke Myanmar. Diperkirakan saat ini ada sekitar 200.000 orang  Rohingya yang tinggal di kamp-kamp pengungsi, kebanyakan mereka dalam kondisi yang mengerikan.

Indonesia- Telah memperjelas bahwa Rohingya tidak diterima, dengan menolak kapal-kapal yang bermuatan migran. Negara itu telah menerima orang-orang yang diselamatkan oleh para nelayan, tetapi memperingatkan para nelayan itu untuk tidak menyelamatkan lagi. Sekelompok imigran yang berhasil mendarat pada awal Mei mungkin akan diusir, kata pemerintah memperingatkan.

Undang-undang  Rasis  terhadap Muslim Rohingya di Myanmar

Untuk menyoroti lebih jauh situasi yang memaksa umat Islam Rohingya untuk melarikan diri Myanmar adalah karena praktik tidak manusiawi Pemerintah Myanmar terhadap mereka.

Pembatasan Pernikahan

Muslim Rohingya adalah satu-satunya kelompok etnis di Burma yang harus meminta izin kepada pemerintah untuk menikah. “Persyaratan untuk orang Bengali yang mengajukan permohonan Izin Menikah” dari pemerintah mengamanatkan bahwa orang Rohingya yang mencari izin pernikahan akan dikenakan persyaratan yang memalukan dan memberatkan secara finansial.

Pada bulan Januari 1994, Nasaka memperkenalkan peraturan lokal yang mengharuskan mereka untuk mendapatkan izin resmi untuk menikah, yang bertentangan dengan praktek perkawinan adat. Peraturan ini kemudian memasukkan hukuman bagi para pelanggarnya. Dalam prakteknya, untuk mendapatkan izin pernikahan dapat membutuhkan waktu hingga beberapa bertahun-tahun  dan hanya diberikan bagi mereka yang membayar suap. Saat ini, terdapat 535 orang Rohingya yang menjalani hukuman karena pernikahan yang tidak sah di Buthidaung Jail, menurut penelitian Proyek Arakan.

Kebebasan bergerak

Pemerintah Myanmar telah menempatkan pembatasan ketat pada gerakan sosial di dalam atau di antara kota-kota di negara bagian Rakhine. Pembatasan pergerakan ini membatasi kaum Muslim Rohingya untuk mendapatkan layanan kesehatan yang penting karena mereka tidak dapat melakukan perjalanan dengan bebas, bahkan dalam keadaan darurat untuk mendapatkan pertolongan medis. Tindakan ini membatasi juga akses mereka untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, pekerjaan, kebutuhan dasar, dan standar peningkatan hidup.

Pembatasan Hanya Memiliki Dua Anak

Pada bulan Mei tahun 2013, pihak berwenang di negara bagian Rakhine Myanmar mengeluarkan instruksi yang membatasi untuk memiliki dua anak bagi pasangan Rohingya di dua kota dengan mayoritas Muslim di wilayah tersebut. Kaum perempuan Rohingya (dan hanya kaum perempuan Rohingya saja) di bagian utara negara bagian Rakhine yang secara hukum dilarang memiliki lebih dari dua anak.

Anak-anak yang lahir di luar batas dua anak akan ditolak status hukumnya, tidak mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan pelayanan dasar. Hal ini telah memaksa banyak wanita hamil Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar dalam kondisi yang berbahaya atau harus melakukan aborsi yang tidak aman, yang menyebabkan komplikasi kesehatan yang dapat berakibat fatal.

Tidak memiliki kewarganegaraan

Meskipun terdapat 1,33 juta Rohingya di Myanmar, hanya ada 40.000 orang yang memiliki kewarganegaraan. Kaum Rohingya telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, tetapi pada tahun 1982 UU Kewarganegaraan menolak status hukum resmi Rohingya. Akibatnya, ribuan orang Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan.

Presiden Myanmar Thein Sein secara tegas menyangkal eksistensi Rohingya sebagai kelompok etnis Myanmar, dengan menyebut mereka “Bengali”. “Bengali” adalah istilah diskriminatif yang digunakan untuk menyiratkan bahwa Rohingya adalah kaum imigran ilegal asal Bangladesh.

Tindakan tidak berprikemanusiaan dari para penguasa Muslim

Indonesia, Malaysia dan Thailand saat ini telah mengambil para migran itu sampai mereka dapat dikirim pulang ke ‘rumah’ mereka atau dimukimkan kembali ke negara ketiga. Sudah ada tindakan resmi pertama oleh negara-negara Asia Tenggara untuk mencoba menyelesaikan krisis ini pada minggu kedua. Ini dilakukan hanya setelah adanya tekanan internasional dimana banyak di antaranya kapal-kapal itu telah terombang-ambing  di laut selama berminggu-minggu dengan sedikit makanan atau air. Posisi pemerintahan itu sebelumnya adalah mendorong mereka kembali ke laut. Negara itu bukan untuk tempat tinggal permamen tapi untuk menenangkan kecaman yang muncul karena sikap tidak manusiawi mereka.

Ini adalah suatu dakwaan kepada para penguasa Muslim dunia, bahwa mereka telah menyaksikan kaum Muslim Rohingya yang tertindas. Rezim-rezim Muslim khususnya di Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia telah meninggalkan kaum perempuan dan anak-anak Rohingya, dengan meninggalkan tanggung jawab mereka terhadap Rohingya  dengan alasan menjaga kepentingan nasional. Memang,  ini merupakan pendekatan yang dikutuk oleh Islam.

Rezim-rezim itu maupun rezim-rezim lainnya di seluruh dunia Muslim memiliki sedikit sekali minat atas penderitaan yang dialami oleh umat Islam. Kaum Muslim Rohingya menderita karena tindakan pengabaian yang kotor yang sama yang dialami oleh kaum Muslim Palestina, Suriah, Kashmir pada saat ini.

Memang hanya Khilafah yang akan memberikan perlindungan yang benar dan kehormatan. Hanya di bawah kerangka ini dengan tidak memandang latar belakang agama, kehidupan manusia, maka harta, dan kehormatan dilindungi dan dihargai. Ini adalah sebuah sistem pemerintahan di mana Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik mengirimkan tentara Muslim di bawah pimpinan Jenderal Muhammad Bin Qasim untuk menyelamatkan kaum perempuan dan anak-anak Muslim yang ditangkap oleh Raja Hindu Dahir di kota pelabuhan di India selatan, yang mengakibatkan pembebasan seluruh wilayah Sindh dari sistem yang kejam.

Memang, adalah sebuah negara Khilafah yang dibutuhkan saat ini untuk menyelamatkan kaum Muslim Rohingya.

“Imam adalah perisai, di belakangnya seseorang akan berperang, dan akan dapat mendapat perlindungan.” [HR Muslim, Sahih]

Sumber: hizb.org.uk (22/5/2015)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*