Sebuah pertemuan internasional tentang penderitaan muslim Myanmar yang dianiaya sedang digelar dengan bertabur bintang-bintang, dengan dihadiri tiga pemenang Hadiah Nobel Perdamaian yang di antara mereka menyerukan dunia untuk “bangun atas tragedi yang berlangsung”.
Di sebuah negara yang mayoritas beragama Budha dengan 50 juta penduduk , dan muncul permusuhan yang mendalam atas 1,3 juta Muslim Rohingya, pemenang Nobel dari Myanmar Suu Kyi, memilih untuk tetap diam, bahkan ketika dunia menyaksikan dengan perasaan ngeri atas lebih dari 3.500 orang Rohingya yang kelaparan, dan menderita dehidrasi dan migran Bangladesh yang terdampar di Malaysia, Indonesia dan Thailand bulan ini.
Suu Kyi, anggota dari elit Buddha Burma, tidak berkomentar ketika media asing atau aktivis HAM bertanya mengapa dia sejauh ini tidak mengecam kefanatikan agama di Myanmar, apakah terhadap Rohingya atau ataupun minoritas Kristen dari suku Chin dan Kachin, yang juga lama menjadi sasaran ancaman, intimidasi, dan diskriminasi.
Rohingya terancam oleh umat Buddha di Rakhine, sedangkan Buddha takut akan dukungan dunia Muslim yang luas atas Rohingya.
Komentar :
Pertemuan di Oslo ini adalah pertemuan yang sia-sia dari negara-negara yang sesungguhnya tidak ingin menerima muslim Rohingya di negara mereka. Bukankah pembantaian ini sudah terjadi bertahun-tahun? Pertemuan ini adalah pertemuan dari orang-orang yang hanya ingin menunjukkan bahwa mereka seolah peduli dengan nasib kaum muslim dan tidak ingin dituduh tidak peduli dengan nasib sekelompok manusia yang teraniaya dan terbuang. Bahkan pemerintah negara muslim pun sebenarnya tidak mempedulikan mereka dimana bantuan kemanusiaan datang bukan dari pemerintah melainkan dari ormas atau individu dan masyarakat. (Daily Mail, 26/5/2015)