Sekitar 15 ribu massa berdiri di pinggir Sungai Martapura Banjarmasin sisi Masjid Raya Sabilal Muhtadin, Kamis (14/5). Mereka dengan antusias menyaksikan teatrikal sejarah masuknya Islam ke Kalimantan Selatan yang dikemas dalam bentuk parade 30 klotok (perahu khas Kalimantan).
Beragam motif hiasan klotok melintasi sungai. Dengan pengeras suara, narator menjelaskan maksud hiasan sedemikan rupa di setiap klotok. Begitu klotok yang dihias bak singgasana kerajaan, narator menjelaskan itulah Kerajaan Daha sebelum mengenal Islam.
Kemudian klotok Daha tersebut diikuti perahu yang membawa bendera al-liwa dan ar-rayah untuk menggambarkan Sunan Giri, salah satu Wali Songo, yang masuk ke Kalsel sebagai seorang saudagar yang juga pendakwah yang membuat seorang petinggi dari Kerajaan Daha memeluk Islam. Darinya, pengucapan dua kalimat syahadat kemudian diikuti seorang raja kala itu, yaitu Pangeran Samudera, yang kemudian bergelar Pangeran Suriansyah setelah menjadi Muslim.
Kemudian klotok-klotok lainnya bermunculan dengan berbagai ornamen Islam. Dalam waktu bersamaan, orator menjelaskan, dari sinilah kemudian Islam meluas dan melahirkan ulama-ulama besar seperti Syaikh Arsyad Al-Banjary dan Sultan Adam. “Syaikh Arsyad kemudian menulis buku tentang syariah Islam yang sangat terkenal yaitu kitab Sabilal Muhtadin,” ungkap narator.
Tidak ketinggalan, dalam Rapat dan Pawai Akbar yang salah satu pesannya adalah menolak neoimperialisme (penjajahan gaya baru) tersebut juga ditampilkan atraksi seni beladiri Kuntau Banjar. Bela diri ini banyak digunakan pasukan Kesultanan Banjar saat mengusir penjajahan Belanda.
Saat klotok berisi para pemuda yang sedang memperagakan Kuntau Banjar melintas, narator pun berkata dengan nada yang lebih tinggi. “Hidup untuk Allah, mati untuk Allah, haram manyarah waja sampai kaputing,” teriak narator menirukan kalimat dan semboyan Pahlawan Pangeran Antasari dalam sejarah Perang Banjar, yang kemudian disambut takbir penonton.
Di sela-sela teatrikal, seorang wartawan TV lokal berjaringan di Banjarmasin menghampiri Humas HTI Kalsel Hidayatul Akbar seraya menyatakan keraguannya akan dukungan umat yang begitu besar, karena 15 ribu massa bukanlah angka yang sedikit untuk kegiatan di sana.
Hidayatul Akbar menjelaskan semua dukungan ini bukanlah rekayasa, karena mereka datang sendiri untuk hadir, dan bahkan membayar tanda masuk ke Rapat dan Pawai Akbar di Banjarmasin. “Bu, apakah Anda dibayar untuk datang kesini?” tanya Hidayatul Akbar spontan kepada peserta ibu-ibu yang melintasinya.
”Tidak, tidak dibayar,” jawab Armawati, yang sengaja datang dari Kabupaten Tabalong, yang lokasinya cukup jauh dari Ibukota Kalimantan Selatan.
Besarnya Atmosfer Dakwah
Di Mamuju, usai rapat di lapangan Ahmad Kirang, tak kurang dari 900 massa keliling kota dengan dikawal oleh pasukan berkuda, Ahad (10/5). Di sepanjang jalan ajakan kembali pada syariah dan Khilafah mengelegar diteriakkan oleh para orator. Menariknya, sepanjang jalan yang dilalui peserta pawai, masyarakat ikut menyaksikan langsung bahkan di antara mereka tidak sedikit yang mendokumentasikan momen bersejarah ini. Bukan hanya itu, sampai digaris finis lapangan Manakarra beberapa anggota polisi lalu lintas ikut berfoto di atas kuda sambil memegang bendera al-liwa (bendera putih yang bertuliskan dua kalimat syahadat hitam).
Atmosfer dakwah yang terasa begitu besar, ditambah kibaran ratusan pasang panji al-liwa dan ar-rayah yang diarak 1400 kaum Muslim membuat siapapun akan bergetar hatinya, tidak terkecuali seorang anggota polisi dari Polres Palu yang sedang bertugas mengamankan acara RPA, Ahad (10/5). Tanpa ragu, polisi tersebut meminta bendera putih bertuliskan kalimat tauhid berwarna hitam kepada panitia acara untuk dihadiahkan kepada anaknya yang sedang menunggu di rumah.
Di Bandung, semangat untuk memeriahkan Rapat dan Pawai Akbar Kamis (14/05) di Lapangan Gasibu ditunjukkan pula oleh belasan aktivis HTI Bogor yang melakukan aksi gowes sepeda Bogor-Bandung seraya membawa billboard berisikan sosialisasi RPA dan kampanye global al-liwa dan ar-rayah. “Ini pengalaman kali pertama kami yang sekaligus membanggakan,” ujar Ketua HTI Kota Bogor M. Irfan yang turut serta dalam rombongan.
Aksi Gowes ini, lanjut Irfan, tidak ditujukan untuk mencari sensasi. “Aksi ini ditujukan untuk memberikan semangat kepada para panitia RPA Kota Bandung, bahwa kami di Kota Bogor pun turut memberikan support penuh untuk kesuksesan acara tersebut,” tegasnya.
Selama perjalanan sejauh 180-an kilometer tersebut, rombongan bertemu dengan beberapa aparat dan warga untuk menyampaikan dan mensosialisasikan bendera ar-raya dan al-liwa sebagai bendera Rasulullah saw. yang sudah semestinya dinyatakan sebagai bendera umat Islam. Kedua bendera tersebut tidak layak diopinikan negatif. Justru dengan kedua bendera tersebut, umat Islam menjadi mulia serta menjadi rahmat bagi semua kaum termasuk non-Muslim.
Usia Tak Jadi Masalah
Meski dengan kondisi lumpuh, kakek ini “memaksa” cucunya mengantar dirinya untuk menghadiri RPA di Ketapang. Pekik suara takbir ketika sosialisasi rupanya menjadi pengugah semangat untuk serta turut bergabung bersama rombongan RPA. Dengan berbisik, cucunya mengatakan kepada aktivis HTI Ketapang Hamzah, bahwa kakek dulunya aktif di Masyumi. Dengan terbata-bata sang kakek berbisik kepada Hamzah
“Saya rindu dengan suasana seperti ini. Saya rindu syariah. Moga-moga Khilafah segera tegak sebelum ajal menjemputku,” ujar sang kakek terbata-bata berbisik kepada Hamzah.
Kerinduan juga ditunjukkan oleh seorang kakek lainnya. Kakek yang masih mampu berjalan ini menggandeng kedua cucunya yang masih anak-anak untuk mengikuti RPA Ketapang. Ketika ditanya apa alasannya dengan lantang sang kakek pun menjawab. “Agar kelak mereka tahu tentang jamaah Hizbut Tahrir dan mudah-mudahan kelak ketika besar mereka turut serta berjuang bersama Hizbut Tahrir,” ungkapnya.
Kerinduan akan tegaknya syariah Islam secara kaffah ditunjukkan pula oleh seorang nenek usia 80 tahun di Padang. Usia yang tidak lagi muda, kulit yang sudah berkerut dan tulang punggung yang sudah mulai membungkuk tidak menyurutkan semangatnya untuk mengikuti pawai akbar ini. Bertongkatkan rayah, ia tetap berjalan walau dengan susah payah karena keadaan fisiknya yang renta. Keringat mulai bercucuran di dahi yang telah mengisyaratkan usia senja. “Nenek, masih kuat berjalan?” tanya salah seorang panitia ketika melihat keringat dan kepayahan telah menderanya.
Dengan tegas ia menjawab, “Masih Nak, tidak apa-apa, insya Allah masih sanggup.”
Sontak membuat panitia tercengang dan terhenti langkah sejenak melihat semangat dan kebanggaan menjadi bagian pejuang syariah dan Khilafah. Sesampai di titik akhir pawai tak satu pun keluar dari lisannya keluhan kelelahan karena berjalan atau apapun. Yang ada hanyalah kebanggaan memegang bendera bertuliskan Laa ilaha illalLah Muhammadur Rasulullah berwarna putih di kain hitam.
Ikhlas dan Pantang Menyerah
Biaya Rp 600 ribu bukanlah masalah bagi bagi orang-orang berdompet tebal untuk mengikuti RPA di Mataram yang berjarak sehari perjalanan dari Bima. Namun, bagi Fauzi (24 tahun) biaya tersebut terasa sangat besar. Maklumlah Fauzi baru saja wisuda dan masih belum mendapat pekerjaan. “Pekerjaan saya adalah mencari pekerjaan,” ungkap anak keempat dari enam bersaudara.
Masuk hari keenam menjelang keberangkatan ke Mataram, anak seorang petani ini belum mendapatkan uang sehingga belum dapat setor ke panitia untuk biaya ke Mataram. Pada H-5, barulah ia mendapat pekerjaan sebagai kuli bangunan selama sepekan dengan gaji Rp 60 ribu perhari. Dia hanya menyanggupi kerja lima hari karena hari keenam bertepatan dengan keberangkatan ke acara RPA.
Meski dapat uang Rp 300 ribu, menjelang berangkat baru dapat menyetor Rp 200 ribu. Yang 100 untuk biaya transportasi selama bekerja. Akhirnya, panitia memberikan kebijaksanaan, Fauzi tidak harus menambah Rp 400 ribu tetapi cukup Rp 100 ribu saja. Untuk memenuhi itu Fauzi mengutang untuk mencukupinya. “Insya Allah di balik ini ada hikmahnya,” ungkap Fauzi dengan penuh syukur.
Karena setoran biaya transportasinya banyak yang tidak full karena kondisi mereka seperti Fauzi, Ketua HTI Bima Muhammad Ayyubi dengan senang hati menjual sepeda motornya untuk menutupi kekurangan yang tidak sedikit itu.
Di kapal laut ketika menyeberang ke Mataram umumnya digunakan sebagai waktu istirahat, tetapi bagi para aktivis dari Bima adalah waktu yang tepat untuk berdakwah. Para aktivis yang sedang berorasi di kapal menarik perhatian penumpang. Bahkan ada yang mengucapkan, “Lanjutkan!” sambil memukul pundak orator.
Keikhlasan dan pantang menyerah ditunjukkan pula oleh seorang kafilah Solo Raya yang mengikuti RPA di Semarang. Ia pingsan di tengah perjalanan pawai kafilah Solo Raya yang menempuh jarak 2 km menuju bus mereka. Ia tidak sadarkan diri cukup lama sehingga anggota tim kesehatan memberi terapi dan menungguinya selama satu jam. Ketika ditanyakan kepada anggota rombongan yang mendampingi, ternyata yang pingsan inilah ketua rombongan bis mereka.
Setelah sadar, terungkap cerita, bahwa ketua rombongan ini menahan rasa nyeri yang sangat karena harus berdiri/berjalan dengan satu kaki yang diamputasi dan memakai kaki palsu. Jarak tempuh 2 kilometer tentu tidak terlalu masalah bagi yang kakinya sehat dan kondisi fisik kuat. Namun, bagi seseorang anggota kafilah dari luar Semarang, dengan kaki palsu, berjalan sejauh 2 km sungguh perjalanan yang luar biasa, karena sepanjang perjalanan itu, sekitar satu jam, ia menahan nyeri yang sangat karena gesekan luka bekas amputasi dengan kaki palsunya. Karena tidak kuat menahan nyeri yang sangat inilah sampai dirinya pingsan di tengah perjalanan pawai RPA Semarang.
Seorang pejuang Khilafah yang istimewa, dengan kaki teramputasi bersedia menerima amanah sebagai ketua rombongan, tanpa keluh-kesah berjalan tuk pawai meskipun ambruk di tengah perjalanan sehingga meneruskan perjalanan menuju bis dengan dipapah dan didampingi anggota rombongannya.
Antara Dakwah dan Nafkah
Dakwah dan mencari nafkah tak perlu dipertentangkan karena keduanya merupakan dua perintah Allah SWT yang wajib ditunaikan. Pandai membagi waktulah yang harus dijalankan, seperti yang Hasan tunjukkan.
Hasan adalah aktivis HTI Palu yang usianya sudah tak muda lagi. Di tengah kesibukannya sebagai tukang ojek, kakek 61 tahun tetap semangat mempersiapkan kegiatan RPA, semua amanah yang ditugaskan terkait dengan pengurusan perizinan acara dan keamanan mampu dilaksanakan dengan baik. Walaupun semua amanah tersebut diberikan oleh ketua panitia yang usianya jauh lebih muda.
Pandainya membagi waktu berdakwah dan mencari nafkah tak kalah dengan yang muda. Pada H-1 persiapan RPA, ia bersama-sama dengan seluruh panitia mempersiapkan pelaksanaan RPA, terutama yang berkaitan dengan tugasnya sebagai kordinator keamanan. Hingga pukul 03.00 dini hari ia masih sibuk di lapangan bersama anggotanya mengatur batas lahan parkiran untuk kendaraan peserta.
Selesai shalat subuh, ia meninggalkan lokasi kegiatan untuk mengantar beberapa anak sekolah yang menjadi pelanggan ojeknya. Setelah itu, ia kembali ke lokasi untuk bertugas mengamankan jalannya RPA bersama seluruh tim pengamanan.
Hal yang sama juga ditunjukkan ketua panitia RPA Palu. Dua pekan menjelang RPA, ia mendapatkan tugas untuk membimbing pelaksanaan praktik mahasiswa selama sebulan di Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala yang berjarak 3 jam perjalanan dari Kota Palu.
“Dengan kondisi ini saya khawatir tidak dapat menjalankan amanah sebagai ketua panitia RPA dan sempat berniat untuk minta digantikan orang lain sebagai ketua panitia,” ujarnya.
Agar kedua tugas dan tanggung jawabnya dapat dipenuhi, ia membagi waktu, setengah hari di lokasi kerja dan setengah hari kembali ke Palu untuk melakukan kordinasi persiapan RPA. “Pagi-siang saya membimbing mahasiswa dan pada sore-malam saya kembali ke Palu. Rutinitas ini saya lakukan sampai RPA selesai dari 1 hingga11 Mei,” ujarnya.
“Alhamdulilah dengan izin Allah SWT semua berjalan lancar, baik dalam perjalanan hingga selesai persiapan RPA. Meskipun badan ini terasa lelah sekali karena harus berjalan naik sepeda motor 6 jam dan 230 km PP hampir setiap hari, hingga akhirnya acara selesai dengan lancar dan ditambah lagi dengan sakit demam selama 2 kali sebelum dan setelah RPA akibat kelelahan,” ungkapnya sambil tersenyum. [Joko Prasetyo dari kontributor daerah]