Neoliberalisme adalah perkembangan mutakhir ideologi kapitalisme yang meminimalkan peran negara dalam perekonomian dan menyerahkan perekonomian pada mekanisme pasar. Adapun neoimperialisme adalah penjajahan gaya baru, yakni penjajahan yang tidak lagi menggunakan militer sebagai instrumen dominasinya, melainkan instrumen dominasi lainnya seperti politik, ekonomi dan budaya.
Neoliberalisme mulai diterapkan bagi publik secara luas di Barat pada tahun 1980-an, yakni pada masa Presiden AS Ronald Reagan (berkuasa 1981-1989) dan masa PM Inggris Margaret Thatcher (berkuasa 1979-1990). Adapun neoimperialime mulai eksis sejak berakhirnya Perang Dunia II (1939-1945), yaitu ketika negara-negara kafir penjajah dari Barat menyadari tak mungkin lagi mempertahankan penjajahan gaya lamanya di negara-negara jajahannya di Asia dan Afrika. Negara-negara kapitalis itu pun melakukan perubahan cara penjajahan, dari penjajahan fisik melalui kekuatan militer menjadi penjajahan melalui cara-cara non-militer seperti utang luar negeri, proyek pembangunan, pengiriman konsultan ahli, dsb. (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 3).
Setelah sekitar tiga dasawarsa Barat mengemban neoliberalisme melalui metode neoimperialisme, tampaknya tak ada kekuatan global yang mampu membendungnya. Apalagi setelah hancurnya Uni Soviet, negara pengusung sosialisme, pada tahun 1991. Umat Islam yang kehilangan negaranya (Khilafah) sejak tahun 1924, yang hidup terpecah-belah dalam banyak negara-bangsa, juga tak mampu membendung neoliberalisme dan neoimperialisme.
Di sinilah kita perlu mempertimbangkan kembali perlunya eksistensi negara Khilafah bagi umat Islam. Sebab, hanya Khilafah yang dapat diharapkan oleh umat Islam, bahkan oleh umat manusia, untuk membendung bahkan membebaskan umat manusia dari cengkeraman neoliberalisme dan neoimperialisme yang rusak dan menyengsarakan.
Ketahanan Negara Khilafah
Bagaimana Khilafah dapat membendung neoliberalisme dan neoimperialisme? Jawabannya: dengan ketahanan negara Khilafah, yakni kemampuan yang dimiliki oleh negara dan masyarakat Islam dalam menghadapi segala ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, berdasarkan akidah dan syariah Islam, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Ketahanan inilah yang akan menjadikan negara Khilafah mampu membendung segala macam ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan terhadap Khilafah, termasuk neoliberalisme dan neoimperialisme.
Semakin teguh negara dan masyarakat berpegang dengan akidah dan syariah Islam, akan semakin kuat ketahanan negara Khilafah.
Mewujudkan ketahananan negara Khilafah merupakan kewajiban Imam (Khalifah) sebagai kepala negara Khilafah dan pemimpin umat Islam, sesuai sabda Rasulullah saw.:
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu bagaikan perisai; orang-orang berperang di belakang dia dan berlindung dengan dirinya (HR Muslim).
Menurut Imam Nawawi, sabda Nabi Al-Imam junnah, artinya Imam (Khalifah) itu seperti tabir/penghalang (ka as-sitr), karena ia mencegah musuh untuk mengganggu kaum Muslim dan mencegah [kejahatan] sebagian manusia atas sebagian yang lain (An-Nawawi, Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 12/230).
Ketahanan negara Khilafah pada prinsipnya berpangkal pada kekuatan negara dan umat dalam memegang ideologi Islam, yaitu akidah dan syariah Islam. Secara lebih rinci, ketahanan negara Khilafah terwujud dalam berbagai bidang kehidupan ketahanam ideologi, ketahanan politik, ketahanan ekonomi, ketahanan social dan ketahanan militer.
Ketahanan Ideologi Khilafah
Ketahanan ideologi negara Khilafah akan terwujud saat akidah Islam dijadikan sebagai dasar negara. Dengan demikian setiap urusan Negara, baik kecil maupun besar, tidak boleh ada kecuali dengan menjadikan akidah Islam sebagai asasnya. Setiap hukum atau peraturan juga tidak boleh ada dalam negara Khilafah, kecuali jika terpancar dari akidah Islam, yaitu bersumber dari wahyu (Al-Quran dan as-Sunnah) semata (Masyru’ ad-Dustur, pasal 1, hlm. 3).
Dengan ketahanan ideologi ini, neoliberalisme dan neoimperialisme akan menghadapi tembok yang tebal yang tak mungkin ditembus dalam negara Khilafah. Pasalnya, masuknya neoliberalisme dan neoimperialisme ke negeri-negeri Islam banyak diawali dengan pembuatan UU (undang-undang) yang berpihak kepada pemodal asing. Contohnya UU No. 1 Th. 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia. Dengan UU yang dibuat secara terburu-buru oleh DPR waktu itu, secara resmi pemodal asing dari Amerika dan Eropa dapat menginvestasikan modalnya di Indonesia guna menghisap kekayaan alam Indonesia dengan mendapat fasilitas keringanan pajak.
Padahal jelas UU tersebut dari segi substansinya jelas bukanlah syariah Islam, karena tidak bersumber dari wahyu (Al-Quran dan as-Sunnah). Dengan kata lain, UU ini tidak terpancar dari akidah Islam. Dengan demikian, dengan ketahanan ideologi yang dimiliki Khilafah, UU semacam ini akan tertolak dengan sendirinya dalam negara Khilafah.
Ketahanan Politik Khilafah
Ketahanan politik negara Khilafah akan terwujud saat politik dalam dan luar negerinya dijalankan berdasarkan syariah Islam. Politik dalam negeri Khilafah adalah menerapkan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam segala bidang kehidupan. Adapun politik luar negeri Khilafah adalah mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dengan jalan jihad fi sabilillah (Masyru’ ad-Dustur, pasal 188, hlm. 48).
Dalam politik luar negerinya, Khilafah meletakkan dakwah Islam sebagai asas untuk membangun hubungan internasionalnya dengan berbagai negara dan umat lain. Semua hubungan internasional yang dijalin oleh Khilafah juga tidak boleh ada kecuali dengan dasar hukum-hukum syariah Islam.
Dengan demikian Khilafah akan dapat membendung neoliberalisme dan neoimperialisme. Sebabnya, haram bagi Khilafah mempunyai hubungan dengan lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, yang menjadi pelaku utama neoliberalisme dan neoimperialisme global. Pasalnya, lembaga-lembaga ini tidak beroperasi dengan hukum syariah Islam selain itu memungut bunga (riba) yang diharamkan Islam dalam setiap utang luar negeri yang diberikannya. Apalagi utang luar negeri ini telah menjadi sarana penjajahan negara-negara kapitalis atas negara-negara berkembang, melalui berbagai syarat-syarat yang dipaksakan kepada kepada negara debitor. Inilah ketahanan politik negara Khilafah yang akan dapat membendung neoliberalisme dan neoimperialisme (Masyru’ ad-Dustur, pasal 191, hlm. 49; Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 80-83).
Ketahanan Ekonomi Khilafah
Ketahanan ekonomi negara Khilafah akan terwujud melalui penerapan sistem ekonomi Islam, yakni sejumlah hukum syariah Islam di bidang ekonomi. Di dalamnya menyangkut asas-asas sistem ekonomi yang meliputi kepemilikan, pengelolaan kepemilikan dan distribusi kekayaan; juga menyangkut politik ekonomi Islam, yaitu jaminan kebutuhan pokok bagi individu (sandang, pangan, dan papan) dan jaminan kebutuhan pokok masyarakat (pendidikan, kesehatan dan keamanan secara gratis) (Masyru’ ad-Dustur, pasal 123-169, hm. 34-35).
Dengan ketahanan ekonomi yang demikian, agenda-agenda neoliberalisme dan neoimperialisme seperti privatisasi, liberalisasi perdagangan dan keuangan, serta kebijakan anggaran ketat (termasuk pencabutan subsidi) hanya akan menemui kegagalan dalam negara Khilafah.
Dengan kokohnya ketahanan ekonomi dalam negara Khilafah, agenda privatisasi tersebut jelas akan menemui hambatan yang tak dapat ditembus. Ini karena Islam telah mengharamkan segala macam jalan (sarana) yang dapat membuat kaum kafir mendominasi atau mengontrol kehidupan kaum Muslim. Allah SWT berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا
Allah sekali-kali tidak mememberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin (QS an-Nisa‘ [4]: 141).
Ketahanan ekonomi Khilafah juga tak akan mungkin mempersilakan adanya agenda liberalisasi perdagangan. Misalnya liberalisasi migas, baik pada sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi migas) maupun pada sektor hilir (perniagaan dan retail) seperti penjualan premium oleh berbagai SPBU asing. Sebabnya, agenda liberalisasi migas ini jelas akan mengakibatkan kokohnya hegemoni asing atas kehidupan kaum Muslim yang telah diharamkan syariah Islam (QS an-Nisa‘ [4]: 141).
Selain itu tambang migas dari segi kepemilikannya merupakan milik umum, bukan milik individu (swasta). Dengan demikian selama karakter tambangnya adalah milik umum, yaitu menghasilkan produksi yang besar, maka haram hukumnya mengubah kepemilikan tambang migas itu menjadi milik individu. Dalam sebuah hadis disebutkan, bahwa Nabi saw. telah membatalkan pemberian tambang kepada seorang sahabat bernama Abyadh bin Hammal ra. Itu beliau lakukan setelah beliau mengetahui bahwa tambang yang diberikan ternyata mempunyai produksi yang melimpah. Sebelumnya Abyadh bin Hammal ra. pernah menghadap kepada Nabi saw. dan memohon agar diberi tambang garam di daerah Ma’rib. Lalu Nabi saw. memberikan tambang itu kepada dia. Namun, tatkala orang tersebut telah pergi, seseorang yang berada di majelis berkata kepada Nabi saw., “Tahukah Anda bahwa yang Anda berikan adalah [seperti] air yang mengalir?” Lalu Nabi saw. pun membatalkan pemberiannya itu (HR Baihaqi dan at-Tirmidzi).
Dengan demikian jelaslah bahwa ketahanan ekonomi Khilafah yang sangat kokoh ini akan membuat segala agenda neoliberalisme dan neoimperialisme menemui jalan buntu.
Ketahanan Sosial Khilafah
Ketahanan sosial ini akan dapat terwujud dalam negara Khilafah melalui penerapan jaminan atas kebutuhan pokok bagi individu (sandang, pangan, dan papan) dan jaminan kebutuhan pokok masyarakat (pendidikan, kesehatan dan keamanan secara gratis). (Masyru’ ad-Dustur, pasal 123-169, hm. 34-35).
Ketahanan sosial ini sebenarnya merupakan bagian dari ketahanan ekonomi negara Khilafah, namun dapat dipisahkan karena melibatkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, kebutuhan individu untuk mendapatkan pangan. Pada asalnya, Islam mewajibkan setiap individu untuk bekerja sehingga dia dapat menafkahi dirinya sendiri, termasuk kebutuhan pangan. Jika individu itu tidak mampu, nafkahnya ditanggung kerabatnya. Jika kerabat tidak mampu juga, barulah negara melalui Baitul Mal turun tangan langsung menjamin kebutuhan pangan individu tersebut. (Abdurrahman Al Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 68-69).
Namun, kewajiban menanggung nafkah ini tak hanya menjadi tanggung jawab negara, melainkan juga menjadi kewajiban masyarakat. Jadi di sini ada unsur keterlibatan masyarakat atau solidaritas sosial. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw.:
أيما أهل عرصة أصبح فيهم امرؤ جائعاً فقد برئت منهم ذمة الله تبارك وتعالى
Penduduk kampung mana saja yang pada pagi harinya ada orang lapar di tengah-tengah mereka, maka sungguh terlepas dari mereka jaminan dari Allah SWT (HR Ahmad).
Hadis tersebut telah dinilai dha’if (lemah) oleh sebagian ulama. Namun demikian, hadis tersebut diperkuat oleh hadis lain sebagai syahid, yaitu sabda Rasulullah saw.:
ما آمن به من بات شبعان وجاره جائع إلى جنبه وهو يعلم
Tidak beriman dengannya (Nabi saw.) siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangga di sebelah rumahnya lapar, padahal dia tahu (HR Ibnu Abi Syaibah, al-Bazzar dan ath-Thabrani).
Demikian pula dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan. Ketiga kebutuhan ini dapat diperoleh masyarakat secara gratis dari Negara. Namun demikian, peran masyarakat tidak berarti dilarang. Jadi keberadaan sekolah swasta atau rumah sakit swasta tetap dibolehkan, baik berbayar maupun gratis.
Ketahanan sosial yang demikian, yaitu adanya peran negara yang sentral, namun tetap membuka partisipasi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pokok individu dan masyarakat, jelas akan membentuk ketahanan sosial yang sangat kuat dalam negara Khilafah.
Ketahanan sosial negara Khilafah itu jelas akan mampu membendung agenda-agenda neoliberalisme yang justru berusaha mengalihkan tanggung jawab negara dalam pembiayaan kesehatan kepada masyarakat. Misalnya asuransi kesehatan melalu program BPJS. Program BPJS ini jelas akan tertolak dalam negara Khilafah. Pasalnya, selain membebani masyarakat, program ini juga menghilangkan kewajiban yang ditetapkan syariah atas negara Khilafah, yaitu menjamin kesehatan secara gratis.
Ketahanan Militer Khilafah
Ketahanan militer Khilafah akan diwujudkan dengan adanya angkatan bersenjata (militer) yang kuat. Militer dalam Negara Khilafah akan menjalankan dua tugas utama. Pertama: menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri. Kedua: melaksanakan jihad fi sabilillah, baik sebagai kekuatan pertahanan dari musuh luar dengan melakukan jihad difa’i (defensif), maupun sebagai kekuatan penyerang dengan melakukan jihad hujumi (ofensif) sebagai metode untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
Dengan ketahanan militer ini, neoimperilialisme Barat atas sebuah negeri Islam dengan berbagai dalih palsunya akan dapat dicegah dan dilawan. Sebagaimana diketahui, Barat kadang kembali ke imperialisme konvensional dengan jalan invasi militer, seperti invasi AS ke Irak pada tahun 2003.
Allah SWT telah mewajibkan jihad difa’i (defensif) secara fardhu ‘ain atas kaum Muslim jika musuh kafir menyerang sebuah negeri Islam. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ
Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian (QS al-Baqarah [2]: 190).
WalLahu a’lam. [KH M. Shiddiq Al-Jawi]