“Setuju!” Mereka setuju negeri ini harus diselamatkan dari ancaman neoliberalisme dan neoimperialisme. Khilafah adalah solusinya.
Matahari semakin meninggi. Panas kian terik. Sekitar 100 ribu peserta Rapat dan Pawai Akbar (RPA) memenuhi Stadion Gelora Bung Karno Jakarta. Bahkan lapangan rumput pun diisi oleh massa. Mereka bersatu dalam acara yang bertema Bersama Umat Tegakkan Khilafah.
Di penghujung rapat, tampillah Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Rokhmat S Labib menyampaikan tiga resolusi politik.
“Sesungguhnya negeri ini terpuruk karena neoliberalisme dan neoimperialisme. Setuju?” pekiknya menyebut resolusi pertama, Sabtu (30/5).
“Setuju……!” jawab peserta yang telah mendapatkan penjelasan berbagai dalil tentang kewajiban menegakkan syariat dan khilafah serta pemaparan kerusakan terjadi lantaran meninggalkan keduanya.
“Solusinya, penerapan syariah di dalam naungan khilafah. Setuju?” Rokhmat merekomendasikan resolusi yang kedua.
“Setuju……!” jawab peserta dari berbagai kalangan, laki-laki wanita, tua maupun muda.
“Maka kita berjuang menegakkan khilafah. Anda semua siap?” ujar Rokhmat menyebut resolusi ketiga.
Massa yang berdatangan dari Jabodetabek dan sekitarnya dengan serentak menjawab: “Siiaap!”
Sebelum menyepakati resolusi, sejak pagi para peserta rapat sudah menyimak seksama pemaparan fakta dan dalil tentang problematika umat lantaran syariat Islam tidak diterapkan secara kaffah dan kewajiban menerapkan syariat Islam secara totalitas dalam naungan khilafah.
“Bila runtuhnya khilafah dulu menjadi pangkal hancurnya dunia Islam dan timbulnya berbagai malapetaka yang menimpa dunia Islam, maka kita di sini yakin bahwa bangkitnya kembali dunia Islam dari keterpurukannya pun hanya mungkin melalui tegaknya kembali al Khilafah itu,” tegas juru bicara HTI Muhammad Ismail Yusanto yang kemudian disambut takbir peserta.
Dalam acara yang diselingi pembacaan puisi ‘Abad Khilafah’ oleh Abah Hideung (lihat boks), tampil Ketua Lajnah Faaliyah DPP HTI Muhammad Rahmat Kurnia menegaskan khilafah bukanlah ancaman.
“Ada yang mengatakan khilafah adalah ancaman. Mungkinkah khilafah yang menerapkan hukum Allah dianggap ancaman?” ujarnya.
“Tidaaak…” jawab peserta serentak.
“Tapi mereka mengatakan khilafah itu ancaman, tapi justru Allah SWT mengatakan syariat Islam yang ditegakkan khilafah itu rahmat untuk semesta alam. Lantas siapa yang dipercaya Allah atau mereka?” tanyanya retoris.
Bukan hanya dari sisi keimanan, dari sisi fakta sejarah pun sejarawan terpercaya mengakui kehebatan peradaban Islam. Lalu Rahmat pun mengutip pernyataan salah seorang sejarawan terkemuka.
“Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka,” ujarnya mengutip Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII.
Kemudian Rahmat pun kembali bertanya kepada para peserta. “Kalau begitu masih percaya tidak omongan yang mengatakan bahwa khilafah adalah ancaman?” tanyanya. Serentak peserta pun memekik: “Tidaak…”
Dalam acara yang diselingi lagu nasyid perjuangan tersebut tampil pula anggota Maktab I’lami DPP HTI Farid Wadjdi. Pemimpin redaksi media terbitan HTI tersebut menyatakan neoliberalisme dan neoimperialisme merupakan biang kezaliman, kekufuran, dan kemaksiatan.
“Sementara Allah SWT telah melarang kita diam terhadap kezaliman, diam terhadap kekufuran, diam terhadap kemaksiatan!” pekiknya.
Farid pun membacakan dalil. “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian harus memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, atau Allah akan menimpakan hukuman atas kalian (karena meninggalkan aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar), kemudian kalian berdoa kepada-Nya dan tidak dikabulkan-Nya,” ujarnya mengutip hadits Rasulullah SAW riwayat at-Tirmidzi.
Ia juga mengutip pendapat para ulama. “Barangsiapa yang berdiam diri dari (menyampaikan) kebenaran, maka ia adalah syaithan akhras, yakni setan yang bisu dari jenis manusia,” pekiknya.
“Sekali lagi saya ingin bertanya pada Anda, apakah Anda rela kondisi ini terus dibiarkan ?” tanyanya.
“Tidak…” pekik massa.
“Oleh karena itu setujukan Anda negeri yang sedang terancam ini harus segera diselamatkan?” tanya Farid lagi.
“Setuju..” jawab mereka.
Sambil mengepalkan tangan, Farid berbicara dengan intonasi yang lebih tinggi: “Untuk menunjukkan persetujuan Anda, kepalkan tangan Anda, dan teriakkan takbir…”
“ Allahu Akbar ….Allahu Akbar….Allahu Akbar…” pekik massa sembari mengepalkan tangan.
Khilafah Wajib
Acara yang dilaksanakan di GBK—yang oleh para aktivis kerap diartikan sebagai Gempita Bumikan Khilafah—merupakan puncak dari kegiatan serupa di yang telah berlangsung selama bulan Rajab yang bertepatan dengan Mei di 35 kota besar lainnya.
Di Aceh misalnya, ribuan warga dari berbagai daerah di Serambi Mekkah tersebut mengikuti RPA yang diselenggarakan di Stadion Dimurthala Banda Aceh, Senin (25/5). Dalam Kata Sambutannya, Ketua DPD I HTI Aceh Ferdiansyah Sofyan menyatakan akibat digantinya ikatan akidah Islam menjadi ikatan nasionalisme, negara Indonesia dan Malaysia yang mayoritas Muslim tersebut bukan hanya tidak dapat menolong bahkan mengusir Muslim Rohingya yang membutuhkan pertolongan.
“Nasionalisme telah membuat umat Islam terkotak-kotak dan terpecah belah. Maka, langkah yang diambil oleh umat Islam di Aceh untuk membantu Muslim Rohingya sangat patut diapresiasi,” tegasnya.
Tentu saja, agar kaum Muslimin tidak terkotak dan terpecah belah, maka harus kembali menjadikan akidah Islam sebagai ikatan seraya menegakkan khilafah sebagai bentuk negaranya sehingga tidak ada lagi sekat-sekat nasionalisme. Maka dengan lantang Firman Saladin, anggota HTI Bangka Belitung (Babel) mengingatkan kewajiban menegakkan khilafah.
“Negeri ini harus segera diselamatkan dan tidak ada pilihan lain kecuali wajib diselamatkan dengan Islam melalui penerapan syariah dan khilafah!” pekiknya di hadapan ribuan warga Babel, Sabtu (23/5) halaman Gedung Nasional Tanjungpandan.
Apalagi menegakkan syariat Islam dalam naungan khilafah merupakan kewajiban. “Para imam mazhab yang empat, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafi’i, rahimahumullah, telah sepakat bahwa imamah atau khilafah itu fardhu!” tegas aktivis HTI Luwuk Banggai Abdul Hamidi, lalu disambut takbir peserta, Ahad (17/5) di Lapangan Basket Gelora Luwuk.( joko prasetyo, media umat 152)