HTI-Press. Menyikapi Fatwa Golput Haram yang difatwakan oleh MUI dalam Ijtima’ Ulama 24-16 januari 2009 di sumatera Barat sekaligus mengintensifkan aktifitas edukasi politik kepada masyarakat khususnya agenda pemilu 2009 HTI DPD II Kabupaten Malang melaksanakan dialog interaktif di radio Suara Kanjuruhan FM 106 Mhz dengan mengambil tema Mendudukaan Fatwa MUI Golput Haram.
Live interaktif ini dilaksanakn pada hari jumat 13 Pebruari 2009 dimulai tepat pukul 06.00-07.00 WIB. Ust. Zaenal SPd (selaku Ketua DPC HTI Kepanjen Kab. Malang) memandu Live interaktif ini dengan cukup menarik dan lihai dalam mengolah kalimat yang membuat pendengar tertarik. selaku pembicara tunggal adalah Ust. Mush’ab Abdurrahman (Humas DPD II HTI Malang)..
Diawal dialog, Ust Mush’ab memamparkan latar belakang fatwa ini. fatwa MUI ini adalah hasil dari respon masukan masyarakat dan tidak bisa dilepaskan dari konflik politik beberap waktu sebelumnya antara PKB kubu gusdur dan PKB kubu Muhaimin. sampai-sampai Gusdur menyerukan Golput. hal ini direspon oleh Kubu Muhaimin dengan menyelenggarakan Bahtsul Masail ulama disurabaya membahas Golput hingga dilahirkannya keputusan fatwa golput Haram. pasca itu juga disulut oleh ususlan Ketua MPR Muhammad Hidayat Nur Wahid untuk mendesak MUI mengeluarkan fatwa resmi Golput Haram, karena melihat kekhawatiran fenomena Golput khususnua di Pilkada dibeberapa daerah yang dimenangkan oleh golput yang angkanya hampir mencapai fantastis rata-rata 40 persen. ini sangat ditakutkan akan menggangu legitimasi pemimpin yang akan terpilih nantinya. menimbang itu semua akhirnya MUI mengeluarkan Fatwa Golput Haram.
Dalam dialog berikutya Ust Mush’ab lebih lanjut memaparkan beberapa penemuan di lapangan tentang fenomena golput. ada beberapa faktor, disamping masalah teknis golput lebih banyak disebabkan karena faktor ekonomi dan Ideologis. Ekonomi karena masyarakat sampai sekarang belum merasakan hasil yang signifikan atas berulang kalinya pemilu/pilkada tetap kesejahteraan mereka begitu-begitu saja. artinya kondisi masyarakat belum menemukan kesejahteraan dari hasil proses pesta demokrasi tersebut. Ketiga yang tidak kalah penting adalah faktor ideologis, yaitu sebagian masyarakat memandang bahwa pemilu/pilkada tidak akan membawa pwerubahan hakiki. disamping demokrasi sebagai ruh pemilu/pilkada ini bertentangan dengan aqidah dasar umat islam. Disamping kinerja angota legislatif dan pemimpin sangat jauh dari harapan seperti diawal-awal kampanyenya dahulu.
Di akhir dialognya beliau menjelaskan tentang posisi pemilu dalam Islam yang jauh berbeada dengan pemilu dalam kerangka demokrasi seperti sekarang ini. Pemilu dalam Islam aadalah memilih penguasa muslim (khalifah) yang notabene ini adalah fardlu kifayah bagi kaum muslimin dan wajib keberadaan pemimimpin dalam Islam yang menerapkan syariah islam. seharusnya fatwa MUI lebih tepatnya adalah haramnya memilih pemimpin, anggota legislatif yang menerapkan sistem sekulerisme sebagaimana fatwa Haramnya sekulerisme oleh MUI beberapa waktu sebelumnya. Diharapkan masyarakat menjadi pemilih yang Cerdas Ideologis dan meninggalkan sistem sekulerisme serta Tidak boleh “Golput” dalam memperjuangkan syariah Islam, artinya umat islam di Indonesia harus berperan aktif berjuang memperjuangkan Syariah Islam yang akan membawa perubahan yang hakiki penuh keridlaan Allah SWT.
Dialog ini mendapatkan sambutan dari yang banyak pendengar di rumah dibuktikan dengan telpon interaktif ke studio dan berharap HTI tetap menjadi pengisi rutin di radio swara kanjuruhan FM kepanjen Kab. Malang ini. (Kantor Humas DPD II HTI Malang)
Bagi umat muslim harus taat pada pemimpin, tapi pemimpin yang mana…? kalo menurut saya justru ikut pemilu yang NGGAK BENER, karena kita di suruh ikut aturan-aturan yang datang dari luar islam. sari’ah YESS….
Demokrasi adalah ide khayal, utopis. Demokrasi hanya sebuah penipuan, pemikiran rendah dan tak lebih sekedar sampah. Buktinya?
Coba pelajari inti slogan demokrasi itu sendiri. Apakah mungkin rakyat setiap saat, setiap hari memimpin dirinya sendiri, menjalankan pemerintahan bersama-sama, mengoreksi dirinya sendiri secara terus menerus? Di negeri khayalan manakah demokrasi ini sudah terwujud? Sungguh, sampai kiamat juga tidak akan mungkin terealisir!!
Maka munculah pikiran penyesatan dan penipuan yang kedua, Demokrasi Perwakilan! Sekarang tengok saja, seorang anggota legislatif itu mewakili suara rakyat mana saja? Kalau tidak tahu, jadi selama ini dia menyuarakan aspirasi siapa? Lalu dimana letak ketinggian ajaran ‘edan’ ini? Bagaimana mungkin ide sampah seperti ini bisa disanjung dan di’sakralkan’ sebagai pintu jalan keluar kesejahteraan dan perbaikan ummat?