Pemerintah Cina menambah kekhawatiran Muslim Uighur. Itu setelah beberapa bagian di Distrik Xinjiang telah melarang anggota partai Islam, PNS, pelajar dan guru untuk berpuasa selama bulan suci Ramadhan, serta menghidupkan kembali pembatasan agama setiap tahun.
“Cina meningkatkan larangan dan pengawasan kepada Ramadhan. Iman Uighur telah sangat dipolitisasi, dan peningkatan kontrol bisa menyebabkan resistensi yang tajam,” kata juru bicara kelompok Uighur Dilxat Raxit di pengasingan, dalam sebuah pernyataan dikutip dari Reuters, Rabu (16/6).
Raxit mengecam panggilan otoritas Cina di Uighur, kepada PNS untuk tidak mengamati puasa di bulan Ramadhan, dan melihatnya sebagai upaya untuk mengendalikan iman Islam.
Menurut laman pemerintah, restoran halal di Jinghe County, dekat perbatasan Kazakhstan, didorong pejabat keamanan pangan untuk tetap buka pada bulan Ramadhan. Restoran halal yang akan buka pada bulan Ramadhan akan dihargai dengan lebih sedikit kunjungan dari pengawas keamanan pangan.
Media pemerintah melaprkan kalau pembatasan agama ketat telah diperkenalkan di Kota Maralbexi, tempat pejabat partai dipaksa untuk memberikan lisan serta jaminan tertulis, menjamin mereka untuk tidak memiliki iman, tidak akan menghadiri kegiatan keagamaan dan akan memimpin jalan dalam tidak berpuasa selama Ramadan.
Setiap tahun, Pemerintah Cina telah berulang kali mengenakan pembatasan Uighur Muslim di wilayah barat laut Xinjiang setiap Ramadan. Di bulan Ramadan, umat Islam dewasa, menahan sakit dan perjalanan mereka, menjauhkan diri dari makanan, minuman, rokok dan seks, sejak fajar hingga matahari terbenam.
Sebelumnya pada Desember, Cina melarang jilbab di masyarakat di Urumqi, ibu kota provinsi Xinjiang. Muslim Uighur adalah minoritas berbahasa Turki dari delapan juta orang yang ada di wilayah Xinjiang barat laut.
Xinjiang, yang aktivisnya disebut Turkestan Timur, telah otonom sejak tahun 1955, tapi terus menjadi subjek tindakan kekerasan besar-besaran oleh Pemerintah Cina. Kelompok-kelompok HAM menuduh pihak berwenang Cina telah melakukan represi agama terhadap Muslim Uighur di Xinjiang atas nama terorisme.
Sebelumnya pada 2014, Xinjiang melarang berlatih agama di gedung-gedung pemerintah, serta mengenakan pakaian atau logo yang terkait dengan ekstremisme agama. Pada Mei lalu, toko-toko Muslim dan restoran di sebuah desa di barat laut Cina Xinjiang telah diperintahkan untuk menjual rokok dan alkohol. (republika.co.id, 17/6/2015)