Bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan, berkah, rahmat dan ampunan kembali hadir di tengah kita. Allah SWT telah menjanjikan pahala berlipat ganda selama bulan suci ini bagi siapa saja yang menunaikan amal salih yang dilandasi oleh keimanan dan dilakukan ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Karena itu sepantasnya setiap Muslim senantiasa bersemangat untuk melakukan amal-amal salih selama Ramadhan ini.
Mewujudkan Ketakwaan Hakiki
Semua amal salih yang dilaksanakan selama Ramadhan haruslah bisa memupuk ketakwaan pada diri kaum Muslim. Ketakwaan itulah hikmah yang mesti diwujudkan dari ibadah selama Ramadhan, terutama ibadah puasa. Allah SWT berfirman:
]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ[
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 183).
Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib ra., takwa adalah al-khawf min al-jalîl wa al-‘amalu bi at-tanzîl wa al-qanâ’atu bi al-qalîl wa al-isti’dâd li yawm ar-rahîl (takut kepada Allah Zat Yang Maha Agung, mengamalkan al-Quran, qana’ah dari dunia dengan [mengambil] sedikit dan menyiapkan bekal untuk menghadapi Hari Akhirat). Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, bahwa takwa adalah imtitsâlu li awâmirillâh wa ijtinâbu li nawâhîhi (melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya). Takwa bisa juga dimaknai sebagai kesadaran akal dan jiwa serta pengetahuan syar’i atas kewajiban untuk mengambil halal dan haram sebagai standar bagi seluruh aktivitas, lalu merealisasikannya secara praktis (‘amalî).
Ibadah Ramadhan, khususnya puasa, diwajibkan oleh Allah SWT kepada kaum Mukmin. Dengan melaksanakan ibadah puasa, kaum Mukmin akan bisa memupuk ketakwaan dalam diri mereka dan di tengah-tengah mereka. Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi di dalam Aysar at-Tafâsîr menjelaskan makna firman Allah SWT ”la’allakum tattaqûn”, yakni agar dengan puasa itu Allah SWT mempersiapkan kalian untuk takwa, yaitu melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Selain merupakan hikmah yang mesti diwujudkan sebagai buah dari puasa dan ibadah Ramadhan, ketakwaan itu juga diperintahkan oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman:
]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ[
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (TQS Ali Imran [3]: 102).
Ketakwaan itu bisa direalisasikan oleh setiap individu Muslim dengan jalan senantiasa terikat dengan hukum-hukum Allah SWT di dalam kehidupannya. Caranya adalah dengan menjadikan halal dan haram atau syariah Islam sebagai standar dalam hidupnya. Dengan kata lain, yang halal diambil dan dilaksanakan, sementara yang haram dijauhi sejauh-jauhnya.
Ketakwaan bukan hanya harus diwujudkan pada tataran individu, namun juga harus diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat. Allah SWT berfirman:
]وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ[
Jika saja penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan bagi mereka pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi (TQS al-A’raf [7]: 96).
Ayat di atas memang menggunakan redaksi berita, tetapi di dalamnya berisi pujian. Sesuai ketentuan ushul fikih, jika suatu berita disertai dengan pujian maka maknanya adalah perintah. Karena itu meski menggunakan redaksi berita, sesungguhnya ayat tersebut memerintahkan penduduk negeri agar mereka beriman dan bertakwa secara bersama-sama dalam kehidupan bermasyarakat.
Menerapkan Syariah, Mewujudkan Ketakwaan Hakiki
Ketakwaan hakiki, baik pada tataran individu maupun dalam kehidupan bermasyarakat, hanya akan terwujud dengan penerapan syariah Islam secara total, yakni dengan menerapkan syariah Islam secara formal oleh negara untuk mengatur segala bentuk interaksi yang ada di tengah masyarakat. Dengan kata lain, penerapan syariah Islam adalah kunci agar ketakwaan individu-individu anggota masyarakat terwujud. Alasannya, dengan penerapan syariah maka pintu-pintu ketakwaan terbuka lebar, sementara pintu-pintu keharaman ditutup. Hal itu sangat bertolak belakang dengan kondisi saat ini saat syariah Islam tidak diterapkan secara formal oleh negara. Jangankan mewujudkan ketakwaan penduduk negeri secara bersama-sama, mewujudkan ketakwaan individu-perindividu saja sangat sulit. Pasalnya, dalam kehidupan sekularistik, kapitalistik dan hedonistik seperti saat ini, pintu ketakwaan dipersempit, sementara pintu-pintu kemaksiatan dibuka lebar.
Allah SWT telah memerintahkan kaum Muslim untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah, yakni berhukum pada seluruh hukum Allah SWT. Banyak ayat al-Quran dan hadis Rasul saw. yang menyatakan kewajiban menerapkan syariah Islam secara kaffah itu. Allah SWT pun menyifati siapa saja yang tidak memutuskan perkara dengan hukum-hukum Allah SWT sebagai kafir jika disertai i’tiqad (QS al-Maidah [5]: 44); atau fasiq (QS al-Maidah [4]: 47) atau zalim (QS al-Maidah [5]: 45) jika tidak disertai i’tiqad.
Syariah Tak Akan Tegak Sempurna tanpa Khilafah
Penerapan syariah Islam yang diwajibkan oleh Allah SWT tak akan tegak sempurna tanpa kekuasaan dan sistem pemerintahan yang tegak berlandaskan akidah Islam. Sistem itu tidak lain adalah Khilafah Rasyidah ’ala minhaj an-Nubuwwah yang dipimpin oleh seorang imam atau khalifah. Sistem inilah satu-satunya sistem yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah.
Penegakan Khilafah ar-Rasyidah itu menjadi kunci bagi penerapan syariah Islam secara kaffah. Dengan tegaknya Khilafah ar-Rasyidah maka berbagai kewajiban syar’i bisa ditunaikan dengan sempurna. Dengan tegaknya Khilafah ar-Rasyidah yang menerapkan syariah Islam secara kaffah maka segala keharaman juga bisa dicegah dari masyarakat. Kaidah syariah mengatakan, ”Mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjibun (Perkara apa saja yang menjadikan kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya perkara tersebut maka perkara itu pun hukumnya wajib). Berbagai kewajiban tidak akan sempurna terlaksana tanpa penerapan syariah Islam. Penerapan syariah Islam juga tidak akan sempurna tanpa adanya Khilafah ar-Rasyidah yang menerapkannya. Karena itu menegakkan Khilafah ar-Rasyidah yang menerapkan syariah Islam secara kaffah adalah wajib.
Bahkan menegakkan Khilafah ar-Rasyidah yang menerapkan syariah Islam secara kaffah bukan hanya kewajiban biasa, tetapi termasuk kewajiban yang paling agung. Ibn Taimiyah mengatakan di dalam As-Siyâsah asy-Syar’iyyah (hlm. 161), “Wajib diketahui bahwa wilayatu amri an-nas (kekuasaan dalam pengelolaan urusan masyarakat) adalah min a’zhamu wajibati ad-din (kewajiban agama yang paling agung) karena agama tidak akan tegak tanpa itu.”
Imam Ibn Hajar al-Haytami di dalam Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah (I/25) juga menyatakan, ”Ketahuilah juga bahwa para Sahabat ra. telah berijmak bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian berlalu adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan itu (Khilafah) sebagai kewajiban paling penting. Ini terbukti saat mereka lebih menyibukkan diri dengan itu (memilih dan mengangkat khalifah, red.) daripada menguburkan jenazah Nabi saw.”
Wahai Kaum Muslim:
Allah SWT telah memerintahkan kita untuk ber-taqarrub kepada-Nya, apalagi pada bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Allah SWT dalam hadis qudsi memberi kita panduan taqarrub itu.
«وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ»
Tidaklah hamba-Ku ber-taqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku fardhukan atas dia. Hamba-Ku terus ber-taqarrub kepada-Ku dengan amal-amal nawafil hingga Aku mencintai dia (HR al-Bukhari, Ibn Hibban dan al-Baihaqi).
Berdasarkan hadis ini, sepantasnyalah keterlibatan kita dalam perjuangan menegakkan Khilafah ar-Rasyidah yang menerapkan syariah Islam secara kaffah selalu ada dalam daftar amal salih harian kita, apalagi selama bulan Ramadhan. Keterlibatan kita dalam perjuangan itu, dalam bentuk apapun dan berapapun kadarnya, sesungguhnya akan menjadi investasi abadi kita. Dengan terlibat dalam perjuangan itu, tentu semaksimal mungkin sesuai potensi dan kemampuan, maka kita akan mendapat limpahan kebaikan dari setiap kebaikan yang nanti bisa diwujudkan dan dari setiap keharaman yang bisa dicegah melalui penegakan Khiafah ar-Rasyidah yang menerapkan syariah Islam secara kaffah. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
PT Freeport Indonesia berpeluang mendapatkan kepastian perpanjangan izin operasinya sampai 2035 pada Juli nanti setelah Presiden Direktur Freeport Maroef Sjamsuddin menyepakati perubahan status Freeport dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Pasalnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menyatakan pada bulan Juli mendatang, Pemerintah berharap tidak ada lagi nota kesepahaman (MoU) terkait perpanjangan pembahasan renegosiasi KK (Kompas.com, 15/6).
- Saat ini sesungguhnya momentum terbaik untuk menyelamatkan kekayaan negeri ini dari jarahan asing dan mewujudkan kemandirian negeri. Sayang, momentum itu disia-siakan oleh Pemerintah.
- Jika benar terjadi, itu menambah bukti lemahnya Pemerintah negeri ini di hadapan PT Freeport. Pemerintah justru menawari perubahan dari KK menjadi IUPK.
- Selamatkan kekayaan negeri dan wujudkan kemandirian dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah!
subahnallah sangat membantu ijin cetak untuk buletin jumat