[Al-Islam edisi 762, 9 Ramadhan 1436 H – 26 Juni 2015 M]
Pemerintah kembali akan memperpanjang izin operasi PT Freeport Indonesia di wilayah tambang Papua selama 20 tahun lagi. Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (10/6/2015) mengatakan, kepastian kelanjutan operasi selama 20 tahun lagi tersebut menyusul persetujuan PT Freeport mempercepat perubahan rezim kontrak karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebelum kontrak berakhir pada 2021 (Kompas.com, 10/6). Sebelumnya Kementerian ESDM mengusulkan percepatan perubahan rezim KK menjadi IUPK sebelum 2021.
Jika percepatan IUPK itu bisa dilakukan pada 2015, dengan diperpanjang selama 20 tahun lagi, maka kontrak PT Freeport—yang diberi ijin operasi sejak tahun 1967—akan berakhir pada tahun 2035. Menurut Dadan, izin kelanjutan operasi setelah 2021 ini diberikan karena PT Freeport asal AS itu butuh kepastian sebelum menggelontorkan investasi. PT Freeport akan berinvestasi USD 17,3 miliar, terdiri atas USD 15 miliar untuk tambang bawah tanah dan infrastruktur, serta USD 2,3 miliar untuk smelter.
Terus Dimanjakan
Menurut UU Minerba no 4/2009, mineral hanya boleh diekspor setelah dimurnikan dan diolah. Tenggatnya lima tahun, paling tambat 12 Januari 2014. Peraturan pelaksanaannya dikeluarkan tiga tahun kemudian yaitu PP No. 24/2012. Lalu dikeluarkan Permen ESDM No 7/2012 yang mengatur kadar mineral yang telah dimurnikan yang boleh diekspor. Permen ini diubah dengan Permen ESDM No. 20/2013. Dalam Permen ESDM No. 20/2013 itu diatur kadar minimal mineral yang boleh diekspor di antaranya: tembaga 99,9%, besi spon 70%, besi mentah 90%, nikel 70%.
Dengan Permen ESDM No. 7/2012 dan Permen ESDM No. 20/2013, PT Freeport dan PT Newmont tidak bisa mengekspor tembaga. Kadar yang dihasilkan oleh PT Freeport dan PT Newmont melalui proses pengolahan bahan galian (bukan smelter) berkisar 25-30%.
Mendekati batas akhir 12 Januari 2014, industri smelter tidak kunjung siap. Pemerintah semestinya tegas menjalankan amanat UU. Namun, Pemerintah justru mengubah peraturan dengan mengeluarkan PP No. 1/2014. Permen ESDM No. 1/2014 mengatur perubahan kadar mineral yang boleh diekspor dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 6/2014 yang mengatur pajak progresif.
Dengan aturan baru itu, pasca 12 Januari 2014 perusahaan tambang tetap boleh mengekspor mineral yang belum dimurnikan (kadarnya diatur dengan Permen ESDM No. 1/2014) dengan catatan dikenakan pajak progresif yang diatur dalam PMK No. 6/2014. Dari perubahan ini, PT Freeport paling diuntungkan sebab tembaga yang boleh diekspor kadarnya turun sangat drastis dari 99,9% menjadi minimal 15%.
Meski kadar batas ekspor sudah diturunkan, PT Freeport keberatan dengan pajak progresif 25% (tahap 1). Akhirnya, melalui lobi-lobi, PT Freeport membuat MoU dengan Pemerintah semasa rezim SBY. PT Freeport diijinkan ekspor terhitung 6 Agustus 2014 setelah mendapat Surat Persetujuan Ekspor (SPE) dengan memberikan uang jaminan pembangunan Smelter sebesar USD 115 Juta. Dalam MoU juga disepakati luas wilayah operasi 125 ribu ha, royalti emas jadi 3,75%; dan kewajiban divestasi saham PT Freeport 30% (UU mewajibkan sebesar 51%). PT Freeport juga berjanji menggunakan 100% tenaga kerja dan produk lokal. PT Freepor pun berjanji membangun smelter di Gresik senilai USD 2,3 miliar.
Namun, hingga Januari 2015 tidak terlihat niat PT Freeport. PT Freeport sengaja “menyandera” pembangunan smelter untuk mendapat kepastian perpanjangan ijin. Dari dokumen yang diperoleh Kompas.com (26/1/2015), PT Freeport berjanji akan membangun smelter, namun syaratnya Pemerintah harus memberikan perpanjangan kontrak hingga 2031. “PT Freeport Indonesia akan memulai konstruksi pembangunan smelter ketika kepastian kelanjutan operasi pertambangan sampai dengan 2031 diterima PT Freeport Indonesia,” bunyi dokumen itu.
Pemerintah mestinya bertindak tegas. Lagi-lagi yang terjadi justru sebaliknya. PT Freeport malah terus dianakemaskan dan diberi berbagai kemudahan.
Slogan Kosong
Terbitnya UU Minerba semestinya dijadikan momentum kemandirian pengelolaan tambang. Semestinya Pemerintah menyiapkan diri untuk mengambil-alih pengelolaan tambang. Di antaranya dengan menyiapkan BUMN untuk menjalankan pengelolaan tambang itu. Andai hal itu dilakukan, saat tenggat berakhir pada Januari 2014, bisa segera dimulai proses “pengambilalihan” pengelolaan berbagai tambang secara konstitusional. Dengan begitu tambang-tambang itu bisa dikelola penuh oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun, Pemerintah justru mengubah peraturannya sendiri demi kepentingan perusahaan tambang, khususnya PT Newmont dan PT Freeport. Itu menunjukkan ketidaktegasan dan kelemahan Pemerintah berhadapan dengan perusahaan tambang khususnya PT Freeport. Ataukah memang Pemerintah tidak serius untuk mewujudkan kemandirian pengelolaan kekayaan alam? Jika demikian, kemandirian yang selama ini dicita-citakan hanyalah slogan kosong belaka.
Memperpanjang Kerugian
Menurut UU Minerba, perubahan status dari KK ke IUPK juga akan memberi hak kepada PT Freeport Indonesia untuk dapat memperpanjang kontrak dua kali 10 tahun. Bila hak ini dijalankan, PT Freeport bisa beroperasi di Indonesia hingga 2055. Itu artinya, jika dihitung sejak tahun 1967, PT Freeport berpeluang terus bercokol di Papua selama 88 tahun! Jelas, ini hanya akan semakin memperpanjang kerugian untuk rakyat dan negeri ini. Dengan perpanjangan itu PT Freeport dan swasta lainnya akan terus mengeruk kekayaan alam negeri ini.
Selama ini pendapatan negara dari tambang dan batu bara masih kecil dibandingkan dengan yang diperoleh oleh perusahaan tambang. Pendapatan negara dari tambang hanya dalam bentuk pajak, royalti dan deviden. Total pajak dari industri pertambangan saat ini berada pada kisaran 30%. Pendapatan royalti Pemerintah juga sangat kecil. Menurut aturan sekarang, royalti yang diperoleh Pemerintah hanya berkisar 3.75% untuk mineral emas berdasarkan kontrak karya (Beritasatu.com, 12/6).
Deviden untuk Pemerintah juga sangat kecil. Total dividen yang diterima Pemerintah dari Freeport sejak 1992-2011 hanya sebesar USD 1,287 miliar. Demikian pula saham Pemerintah di PT Freeport, hanya sekitar 9,36 persen (Kompas.com, 27/1/2015). Itu artinya pada jangka waktu yang sama, PT Freeport menerima deviden USD 12,87 miliar dolar alias 10 kali lipat daripada yang didapat Pemerintah. Parahnya, ternyata selama 2012-2014 PT Freeport tidak memenuhi kewajibannya untuk menyetor dividen kepada Pemerintah, dan itu dibiarkan saja oleh Pemerintah.
Menyalahi Islam
Abyadh bin Hamal ra. menuturkan bahwa:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ – قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِى بِمَأْرِبَ – فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ فَانْتَزَعَ مِنْهُ
Ia pernah datang kepada Rasulullah saw. Ia meminta (tambang) garam—Ibn al-Mutawakkil berkata, “Yang ada di Ma’rib.” Lalu Rasul saw. memberikan tambang itu kepada Absyadh. Saat dia pergi, seseorang di majelis itu berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan. Sesungguhnya Anda telah memberi dia (sesuatu laksana) air yang terus mengalir.” Ibn al-Mutawakkil berkata, “Rasul pun menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hamal) (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).
Berdasarkan hadis di atas, Islam menetapkan tambang sebagai milik umum seluruh rakyat. Tambang itu wajib dikuasai dan dikelola langsung oleh negara dan seluruh hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat. Islam mengharamkan penguasaan pengelolaan tambang yang berlimpah oleh swasta apalagi asing. Karena itu pemberian ijin kepada swasta untuk menguasai pengelolaan tambang, termasuk perpanjangan ijin yang sudah ada, termasuk untuk PT Freeport, jelas menyalahi Islam. Saat negeri ini dikelola dengan menyalahi ketentuan Islam yang berasal dari Allah SWT maka akibatnya adalah seperti yang ditegaskan oleh Allah SWT:
]وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا…[
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya bagi dia penghidupan yang sempit… (QS Thaha [20]: 124).
Kehidupan yang sempit itulah yang telah diderita oleh penduduk negeri ini. Bagaimana tidak, kekayaan alam tambang itu dikeruk oleh swasta dan asing. Hasilnya lebih banyak untuk kemakmuran mereka. Sebaliknya, rakyat kehilangan kekayaan mereka. Rakyat pun harus menanggung kerusakan dan dampak buruk akibat penguasaan kekayaan mereka oleh swasta dan asing.
Wahai Kaum Muslim:
Kekayaan alam mendesak untuk diselamatkan. Kemandirian harus segera diwujudkan. Semua itu hanya akan terwujud melalui pemerintahan yang menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Hal itu hanya sempurna dijalankan melalui tegaknya sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Inilah yang mendesak untuk diwujudkan oleh kaum Muslim negeri ini demi menyelamatkan kekayaan alam serta mewujudkan kemakmuran negeri dan penduduknya. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
Pemerintah agresif menarik utang di semester I-2015. Sampai dengan 18 Juni saja, realisasi utang telah mencapai Rp 268 triliun atau hampir 60 persen dari target bruto. Posisi utang Pemerintah per Mei 2015 adalah Rp 2.781 triliun atau sekitar 23,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) (Kompas.com, 22/6).
- Pemerintah terus menumpuk utang. Padahal negeri ini sudah masuk dalam jerat utang yang sangat sulit untuk keluar.
- Utang lebih menguntungkan kapitalis dan asing pemberi utang. Rakyat kebagian beban bayar utang. Beban pajak terhadap rakyat pun makin besar.
- Makin banyak utang, makin besar pula beban APBN tiap tahun untuk membayar cicilan dan bunga utang. Anehnya, perilaku terus berutang dan beban cicilan yang terus membesar tidak dianggap sebagai masalah. Sebaliknya, subsidi dan pengeluaran untuk rakyat dianggap beban.