Di tengah kondisi rakyat yang menderita, DPR menyetujui pengalokasian dana aspirasi untuk anggotanya sebesar 20 miliar rupiah per anggota. “Ini akal-akalan dari anggota DPR untuk bisa start lebih awal memikat masyarakat akan kembali memilih mereka,” kata Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI Yahya Abdurrahman.
Menurutnya, dana aspirasi ini sama saja memperalat uang akyat untuk memikat hati rakyat agar memilih mereka tetap menjadi pejabat. “Sungguh ini hanya akal-akalan anggota DPR demi jabatan dengan menggunakan uang rakyat,” tandasnya.
Belum lagi dalam penggunaan dana aspirasi itu nantinya ditengari oleh banyak pihak akan banyak peluang penyelewengan bahkan kolusi dan korupsi. Dengan karut marutnya sistem penganggaran itu, bisa saja nanti pengawasannya akan juga kacau. “Dana aspirasi itu akan menjadi jalan mudah untuk kolusi bahkan korupsi,” tandas Yahya.
Ia menegaskan, dana aspirasi itu menjadi bukti bobroknya sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, kebijakan semacam itu sah-sah saja. Sebab dalam sistem demokrasi tidak ada acuan baku. Tidak ada standar dan rujukan baku. Rujukannya adalah kesepakatan legislator sebagai wakil dari rakyat pemilik kedaulatan.
“Maka, sebelum muncul kebijakan-kebijakan yang buruk lainnya, sistem demokrasi itu harus segera ditinggalkan dan diganti dengan sistem Islam yang memiliki rujukan dan standar yang jelas, baku dan tetap. Sehingga setiap kebijakan dan program akna mudah untuk mengukurnya, sah atau tidak, benar atau salah,” jelas Yahya.
Dengan keputusan DPR itu, setiap anggotanya memperoleh dana Rp 20 miliar/tahun atau sama dengan Rp 100 miliar per lima tahun. Dana itu dianggarkan dari APBN dan diklaim untuk pembangunan di dapil setiap anggota untuk mengakomodasi aspirasi yang dihimpun oleh anggota dari dapilnya masing-masing.
Dari sisi pertanggungjawaban, penggunaan dan aspirasi itu hingga sekarang juga tidak jelas. Siapa yang harus mempertanggungjawabkannya? Inilah bobroknya sistem demokrasi. (mediaumat.com, 28/6/2015)