Menjadikan Al-Quran Petunjuk Hidup

[Al-Islam edisi 763, 16 Ramadhan 1436 H – 3 Juli 2015 M]

Ramadhan sering disebut dengan syahrul-Qur’ân karena pada bulan inilah al-Quran diturunkan. Karena itu setiap tahun, pada bulan Ramadhan, umat Islam mengadakan Peringatan Nuzul al-Quran. Dalam momentum Peringatan Nuzulul Quran pula, tampaknya tetap penting dan relevan untuk melakukan perenungan di seputar al-Quran. Apalagi saat ini, saat kondisi kehidupan umat ini sedang didera oleh aneka problem di berbagai sendi kehidupan mereka, dan mereka tengah mencari jalan keluar dari aneka problem itu; tentu perenungan itu makin tampak mendesak dan penting.

Al-Quran Sebagai Petunjuk

Allah SWT telah menjelaskan untuk apa al-Quran diturunkan:

﴿شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ﴾

Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia serta sebagai penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (TQS al-Baqarah [2]: 185).

Imam ath-Thabari di dalam Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wîl al-Qur’ân menjelaskan: “Hudâ li an-nâs” bermakna: sebagai petunjuk untuk manusia ke jalan yang benar dan manhaj yang lurus. “Wa bayyinâti” bermakna: yang menjelaskan “petunjuk”, yakni berupa penjelasan yang menunjukkan hudud Allah SWT, kefardhuan-kefardhuan-Nya serta halal dan haram-Nya. Adapun firman Allah “wa al-furqân” bermakna: pemisah antara kebenaran dan kebatilan.

Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr juga menjelaskan: “Hudâ li an-nâs” bermakna: menunjuki mereka pada kebenaran dan jalan yang lurus. “Wa bayyinâti min al-hudâ” bermakna: sebagai bukti-bukti yang qath’i dan mukjizat bahwa al-Quran merupakan petunjuk yang telah diturunkan oleh Allah SWT. Adapun “wa al-furqân” bermakna: yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan, antara yang baik dan yang buruk dan antara amal-amal salih dan amal amal buruk.

Sebagai petunjuk bagi manusia untuk menjalani kehidupan, al-Quran memberikan penjelasan atas segala sesuatu. Allah SWT menegaskan:

﴿ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ ﴾

Kami telah menurunkan kepada kamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu, juga sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi kaum Muslim (TQS an-Nahl [16]: 89).

Imam al-Baghawi di dalam tafsir Ma’âlim at-Tanzîl menjelaskan, “Al-Quran merupakan penjelasan atas segala sesuatu yang diperlukan berupa perintah dan larangan, halal dan haram serta hudud dan hukum-hukum.”

Dengan mengutip Ibn Mas’ud ra., Imam Ibnu Katsir di dalam Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhim juga menjelaskan, “Sesungguhnya al-Quran meliputi segala pengetahuan yang bermanfaat berupa berita tentang apa saja yang telah lalu: pengetahuan tentang apa saja yang akan datang: juga hukum tentang semua yang halal dan yang haram serta apa yang diperlukan oleh manusia dalam perkara dunia, agama, kehiduan dan akhirat mereka.”

Al-Quran secara hakiki merupakan petunjuk bagi manusia. Namun, al-Quran tidak serta-merta secara riil berperan menjadi petunjuk kecuali jika memang diperhatikan dan dijadikan sebagai panduan, pedoman dan petunjuk. Itulah saat peringatan-peringatannya diindahkan, pelajaran-pelajarannya diperhatikan, perintah-perintahnya dijalankan, larangan-larangannya dijauhi dan ditinggalkan, ketentuan-ketentuannya diikuti, hukum-hukumnya serta halal dan haramnya diterapkan dan dijadikan hukum untuk mengatur kehidupan. Al-Quran yang secara hakiki menjadi penjelasan atas segala sesuatu sekaligus menjadi solusi problem kehidupan akan secara riil menjadi penjelasan dan solusi jika penjelasanya diambil dan solusi-solusinya dijalankan. Dengan kata lain, al-Quran akan benar-benar menjadi petunjuk, penjelasan dan solusi jika kita menjalani hidup dengan al-Quran dan mengelola kehidupan sesuai dengan al-Quran.

Merealisasikan al-Quran Sebagai Petunjuk

Saat Allah SWT menjelaskan al-Quran sebagai petunjuk bagi kaum bertakwa dan bagi umat manusia, di situ terkandung perintah agar kita menjadikan al-Quran secara riil sebagai petunjuk. Allah SWT pun sudah mengutus Rasulullah Muhammad saw. untuk menyampaikan al-Quran kepada kita, menjelaskannya segamblang-gamblangnya serta memaparkan bagaimana menjalankan al-Quran itu di tengah kehidupan dan bahkan memberikan contoh praktis pelaksanaannya.

Dengan itu semua, kita yang mengimani Allah SWT yang menurunkan al-Quran, mengimani Rasulullah Muhammad saw. yang membawa dan menjelaskan al-Quran serta mengimani al-Quran itu sendiri, tidak selayaknya enggan menjadikan al-Quran sebagai petunjuk di dalam kehidupan kita. Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang terancam dengan pengaduan Rasul saw. kepada Allah SWT, sebagaimana dinyatakan di dalam al-Quran:

﴿ وَقَالَ الرَّسُوْلُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوْا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوْرًا ﴾

Berkatalah Rasul, “Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Quran itu sebagai sesuatu yang diabaikan.” (TQS al-Furqan [25]: 30).

 

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di di dalam tafsir Taysîr ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân menjelaskan: “Tuhanku, sesungguhnya kaumku”, yakni yang kepada merekalah Engkau utus aku untuk menunjuki mereka dan menyampaikan al-Quran kepada mereka, “telah menjadikan al-Quran itu sebagai sesuatu yang diabaikan”, yakni: mereka berpaling, abai dan meninggalkan al-Quran. Padahal wajib bagi mereka terikat dengan hukum-hukumnya, patuh pada hukum-hukumnya dan berjalan di belakangnya.

Imam Ibnu Katsir menjelaskan berbagai bentuk tindakan dan sikap hajr al-Qur’ân (mengaiabikan al-Quran). Di antaranya adalah meninggalkan ilmunya dan tidak menghapalnya; menolak untuk mengimani dan membenarkan al-Quran; enggan menyimak dan mendengarkannya, bahkan membuat kegaduhan dan pembicaraan lain sehingga tidak mendengar al-Quran saat dibacakan; tidak men-tadabburi dan tidak memahami al-Quran; enggan mengamalkan dan mematuhi perintah dan larangannya; serta berpaling dari al-Quran lalu berpaling pada selainnya baik berupa syair, ucapan, nyanyian, permainan, ucapan, atau thariqah yang diambil dari selain al-Quran

Dalam upaya menjadikan al-Quran sebagai petunjuk, kita dilarang keras membeda-bedakan isi al-Quran. Kita dilarang keras mengimani sebagian dan menolak sebagian ayat-ayatnya. Kita dilarang keras memilih-milih dan memilah-milah kandungan al-Quran sehingga sebagian diambil, dipedomani dan diterapkan; sementara sebagian lainnya diabaikan dan tidak diterapkan dengan berbagai dalih dan alasan.

Kandungan dan hukum-hukum di dalam al-Quran itu ada yang ditujukan untuk individu dan bisa dijalankan secara individual, ada yang ditujukan untuk kelompok atau jamaah dan harus dilakukan secara kelompok atau jamaah, juga ada yang hanya bisa dilaksanakan oleh pemimpin yang memegang kekuasaan negara.

Firman Allah SWT “Kutiba ‘alaykum ash-shiyâm (Telah diwajibkan atas kalian berpuasa)” jelas bisa dilaksanakan secara individual meski pelaksanaan syiar puasa secara sempurna tidak bisa hanya individual melainkan harus melalui negara, seperti penentuan awal dan akhir Ramadhan.

Firman Allah SWT “Kutiba ‘alaykum al-qitâl (Telah diwajibkan atas kalian berperang)” bisa dijalankan oleh individu maupun kelompok. Namun, pelaksanaan perang itu pun hanya sempurna jika dilakukan melalui kekuasaan negara seperti pembentukan angkatan perang, pembangunan persenjataan, pendirian akademi militer, dsb.

Adapun firman Allah SWT “Kutiba ‘alaykum al-qishâsh fî al-qatla (Telah diwajibkan atas kalian hukum qishah dalam kasus pembunuhan)” tidak boleh diterapkan oleh individu ataupun kelompok, tetapi harus dijalankan melalui pemimpin (khalifah) yang memegang kekuasaan negara.

Ketiga contoh hukum al-Quran tersebut adalah sama, tidak ada perbedaan di antaranya, bahkan diungkapkan dengan redaksi yang mirip. Begitulah semua hukum al-Quran. Semuanya punya posisi yang sama. Dengan kata lain, semua hukum Islam berkedudukan sama. Sama-sama wajib dilaksanakan.

Wahai Kaum Muslim:

Dengan demikian tampak jelas dan gamblang bahwa upaya menjadikan al-Quran sebagai petunjuk tidak akan sempurna hanya oleh individu dan kelompok atau jamaah saja, tetapi harus melibatkan peran negara. Caranya adalah dengan menerapkan hukum-hukum al-Quran atau syariah Islam secara formal melalui kekuasaan negara. Untuk itu negara dan sistem kenegaraannya haruslah berlandaskan pada akidah Islam. Negara itu haruslah Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah, sebagaimana telah dinyatakan di dalam hadis Rasulullah saw. Karena itu menerapkan syariah Islam secara menyeluruh di bawah sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwah adalah prasyarat untuk bisa menjadikan al-Quran sebagai petunjuk secara hakiki, sempurna dan riil di tengah kehidupan. Itulah yang mesti diperjuangkan oleh kita semua, umat Islam, agar upaya menjadikan al-Quran sebagai petunjuk tidak sekedar klaim; agar keimanan kita pada al-Quran sempurna; juga agar kita menjadi kaum yang layak untuk dimuliakan dengan al-Quran. Rasul saw. bersabda:

«إنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَاماً وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ»

Sesungguhnya Allah meninggikan dengan al-Quran ini banyak kaum dan merendahkan banyak kaum lainnya (HR Muslim).

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

 

 Komentar al-Islam:

Pemerintah akhirnya menyepakati pembatasan peran swasta dan asing dalam bisnis pengusahaan air di dalam negeri (Kompas.com, 30/6).

  1. Mestinya penguasaan swasta apalagi asing terhadap air dan sumber air yang termasuk milik umum bukan hanya dibatasi, tetapi dilarang sama sekali.
  2. Dalam Islam jelas, air atau sumber air yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah milik umum; haram diserahkan kepada swasta. Semua itu harus dikelola oleh negara sehingga bisa dimanfaatkan oleh seluruh rakyat.

One comment

  1. Sangat bermanfaat kalau bertujuan mempersatukan ummat untuk kesejahteraan hidup orang banyak. Semoga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*