Akademisi : Rencana Deradikalisasi Pemerintah Inggris Akan Mencap Muslim Berjenggot Sebagai Teroris
Strategi kontra-radikalisasi Pemerintah Inggris menargetkan umat Islam yang memiliki jenggot akan dicap sebagai teroris. Sekaligus untuk menekan gerakan anti-penghematan dan kampanye lingkungan, kata ratusan akademisi dalam sebuah surat terbuka kepada The Independent.
Kewenangan yang dibawa Undang-undang Counter-Terorisme dan Keamanan memberikan wewenang pada guru, pekerja sosial, petugas penjara dan manajer NHS untuk melaporkan tanda-tanda adanya radikalisasi yang luas.
Mereka yang diduga ekstrimis akan dikirim pada program deradikalisasi, sedangkan seluruh sistem harus diawasi oleh pengawas pemerintah.
Tapi undang-undang baru itu telah dikritik sebagai serangan langsung terhadap kebebasan berbicara dan Inggris bergerak menuju negara polisi.
Dalam intervensi yang belum pernah terjadi sebelumnya, 280 akademisi, pengacara, dan tokoh masyarakat mengatakan undang-undang kontroversial itu akan membuat Inggris kurang aman karena akan memaksa kelompok-kelompok radikal untuk melakukan diskusi politik.
Di antara para akademisi terkemuka yang menginginkan pemerintah agar memikirkan kembali strategi itu adalah Karen Armstrong, salah satu penulis paling menonjol mengenai negara agama, dan Baroness Ruth Lister, profesor emeritus mengenai kebijakan sosial di Loughborough University.
Penandatangan pernyataan itu yang lainnya adalah Rizwaan Sabir, 30 tahun, dosen kontra-terorisme, yang merupakan korban salah tangkap di bawah undang-undang anti-teror oleh polisi Nottingham karena mendownload panduan pelatihan al-Qaeda dari situs Pemerintah AS yang dia gunakan untuk penelitian untuk gelar PHD-nya. Dia kemudian mendapat bayaran ganti rugi £ 20.000 sebagai kompensasi setelah menggugat polisi.
Rezim baru, yang merupakan bagian dari kebijakan kontra-terorisme Pemerintah, yang disebut program ‘Prevent’ menempatkan pekerja sektor publik di bawah kewajiban hukum untuk menghadapi radikalisasi. Prevent diperkenalkan oleh Partai Buruh pasca Peristiwa 11/9 dan tetap menjadi kebijakan garis depan untuk memerangi radikalisasi.
Tapi surat pernyataan itu menyatakan bahwa “menumbuhkan jenggot, memakai jilbab atau bercampur dengan orang-orang yang percaya bahwa Islam memiliki filsafat politik yang komprehensif adalah penanda utama yang digunakan untuk mengidentifikasi ‘potensi’ terorisme”.
Ia menambahkan: “Hal ini berfungsi untuk memperkuat pandangan dunia yang merugikan yang menganggap Islam adalah agama terbelakang dan menindas yang mengancam Barat. Program Prevent memperkuat pandangan dunia ‘kami’ dan ‘mereka’, yang memecah belah masyarakat, dan menabur ketidakpercayaan terhadap umat Islam. ”
Bulan lalu David Cameron mengatakan pemerintah akan melakukan “spektrum penuh” dalam menanggapi kontra-terorisme, dan memasukkan pemeriksaan terhadap para pembicara eksternal di universitas dan melarang mereka yang berpandangan ekstremis.
Tapi surat para akademisi itu ‘menyatakan: “Prevent akan berdampak buruk pada debat terbuka, kebebasan berbicara dan perbedaan pendapat politik. Ini akan menciptakan sebuah lingkungan di mana perubahan politik tidak bisa lagi dibahas secara terbuka, dan akan menarik ruang tanpa pengawasan. Oleh karena itu, Prevent akan membuat kita merasa kurang aman. ”
Tadi malam Karen Armstrong mengatakan: “penekanan Pemerintah pada ideologi agama sebagai pendorong utama atas ekstremisme adalah berbahaya dan merupakan informasi yang keliru … Hal ini mengabaikan fakta bahwa para pemimpin Muslim yang berpengaruh – baik Sunni dan Syi’ah, Salafi maupun liberal adalah sama – yakni mengutuk kebijakan [ISIS] sebagai tidak Islami.
“Program itu juga mengabaikan Polling Gallup yang dilakukan antara tahun 2001 hingga tahun 2007 di 35 negara mayoritas Muslim di mana 93 persen responden menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada pembenaran atas serangan 11/9 dan alasan yang mereka beri sepenuhnya adalah alasan agama; alasan yang diberikan oleh 7 persen yang menyatakan bahwa serangan itu dibenarkan adalah sepenuhnya politik. ”
Armstrong, penulis Fields of Blood: Religions and History of Violence, menambahkan: “Setelah mewawancarai lebih dari 500 orang yang terlibat dalam kekejaman 11/9, para mantan agen CIA dan psikiater forensik Marc Sageman menyimpulkan bahwa masalahnya bukan Islam, melainkan kebodohan terhadap agama Islam.” (rz)
Sumber : The Independent; 10/7/2015