HTI Press-Jakarta. (21/6). Tragedi Tolikara merupakan peristiwa by design (disengaja) bukan by accident (kebetulan). Ada intoleransi dari kalangan Kristen terhadap umat Islam, termasuk untuk merayakan Idul Fitri. Selain intoleransi, di balik tragedi Tolikara ada penggerakan untuk disintegrasi. Hal tersebut merupakan kesimpulan dari Temu Tokoh Terbatas yang diselenggarakan oleh Lajnah Fa’aliyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Selasa (21/6/2015).
“Adanya surat pelarangan shalat Idul Fitri dan mengenakan jilbab yang dikeluarkan oleh Gereja Injili di Indonesia (Gidi) saja cukup untuk menunjukkan bahwa tragedi Tolikara disengaja,” tegas Zulkifli, Ketua al-Ittihadiyah.
“Umat Islam dilecehkan. Toleransi hanya digunakan untuk melemahkan umat Islam. Coba, kalau hal serupa dilakukan umat Islam, pasti langsung dituduh teroris dan Densus 88 langsung turun tangan. Tapi, tidak bila pelakunya non Muslim,” tambah Hazairin.
“Karenanya, pemerintah harus mengusut tuntas dan memberikan sanksi hukum yang tegas dan keras kepada pelakunya,” ujar Ketua Umum Sarekat Islam, Djauhari Syamsuddin.
Edy Mulyadi menyampaikan, “Presiden Gidi Dorman Wandikbo pada 30/1/2014 jelas-jelas menuntut Papua lepas dari Indonesia.” Ketua Badan Koordinasi Mubaligh Indonesia (Bakomubin) tersebut meringkaskan, “Jadi, ada gerakan disintegrasi di balik tragedi Tolikara”.
Memang beberapa bulan terakhir ada beberapa kasus di Papua. Pertama, pemberian grasi terhadap 6 orang pemimpin Organisasi Papua Merdeka (OPM) oleh Presiden Jokowi. Kedua, perpanjangan kontrak Freeport. Bila tidak diperpanjang, ada ancaman disintegrasi dari pihak asing. Ketiga, tragedi Idul Fitri Tolikara. Ketiga hal tersebut mengisyaratkan adanya pemanfaatan kasus sebagai alat untuk disintegrasi.
“Kini, ada yang menggeser kasus Tolikara bukan pembakaran masjid, melainkan isu pelanggaran HAM oleh TNI/Polri terhadap anggota Gidi yang tertembak. Isu HAM ini digunakan di tingkat internasional untuk disintegrasi. Berita yang disebarkan bahwa korban hanya dari pihak Gidi juga sangat tendensius. Sebab, masjid, kios sekaligus rumah yang terbakar adalah milik orang Islam. Tidak kurang dari 153 orang Islam kini mengungsi,” tegas Ketua DPP HTI, Rokhmat S Labib.
“Jadi, yang sedang terjadi dalam tragedi Tolikara itu adalah intoleransi terhadap umat Islam. Selain itu, kita harus waspada terhadap disintegrasi dan separatisme. Bila pemerintah tidak tegas, maka persoalan ini sulit selesai,” simpul Muhammad Rahmat Kurnia, yang diamini oleh peserta.
Nampak hadir dalam acara tersebut antara lain M Mufti (Ketua Dewan Pusat Sarekat Islam Indonesia), Djauhari Syamsuddin (Ketua Umum Sarekat Islam), Zulkifli (Ketua al-Ittihadiyah), Edy Mulyadi (Ketua Bakomubin), Amin Lubis (Ketua Perti), Amin Djamaludin (Ketua LPPI), Hazairin (DKM Sudirman), Ardiansyah (Ketua Laki 45), serta M Rahmat Kurnia, Wahyudi al-Maroky dan Rokhmat S. Labib dari DPP HTI.(lf)