Hizbut Tahrir: Pemerintah Tunisia Siapkan Suasana Untuk Menerima Pangkalan Militer AS Melalui Sejumlah Rekayasa Serangan Besar Terorisme
Partai Islam “Hizbut Tahrir” menegaskan bahwa Tunisia terbangun oleh “tragedi besar dan jenis terorisme baru yang disiapkan oleh para politisi dari belakang rakyat dan umat”. Dikatakan bahwa dengan mendapatkan sebutan sekutu istimewa NATO, Tunisia akan membuka jalan bagi pendirian “pangkalan militer atau pusat-pusat spionase dan intelijen, serta fasilitas-fasilitas militer dan logistik di wilayahnya”.
Hizbut Tahrir mengatakan dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan hari Kamis (23/7) bahwa Tunisia “setelah kesepakan militer dan politik dengan AS yang penuh tanda tanya ini, dimaksudkan agar Tunisia sama seperti Kuwait bagi Irak, dan tragedi yang menyertainya seperti diketahui oleh semua orang. Begitulah Tunisia akan masuk dalam permainan regional, bahkan internasional yang menakutkan dan menghancurkan”.
Pernyataan itu menambahkan, “untuk itu sekelompok politisi siluman mulai membuat marah Aljazair dan menghinanya, dengan mengklaim bahwa perintah baru Tunisia dengan NATO tidak akan terkalahkannya; dan untuk itu pula seorang Zionis Bernard Levy datang ke Tunisia atas undangan pihak-pihak siluman, yang bersamaan itu pula datang Nicolas Sarkozy tokoh yang gagal dan penipu, namun tanpa rasa malu sedikitpun ia disambut bagaikan kepala negara dan pahlawan, bahkan ia diberi kesempatan untuk membuat pernyatakan melawan Aljazair danLibya dengan bahasa yang merendahkan, ceroboh dan provokasi”.
Hizbut Tahrir menuduh penguasa Tunisia “memperiapkan suasana untuk menjadi panggung operasi Amerika, yang membuat Tunisia ada dalam genggamannya, dan membenarkan intervensi Amerika atas Tunisia secara telanjang, yaitu dengan sejumlah operasi terorisme skala internasional, yang cerita-cerita resminya tidak dipercaya bahkan oleh anak-anak sekalipun. Sementara kesiapan suasana itu ditandai dengan membatasi para politisi yang serius dan vokal, kekuatan Islam pada umumnya, juga mimbar, masjid dan berbagai media massa.”
Pernyataan itu menambahkan, “saat ini menegaskan kebenaran apa yang telah dikatakan oleh Hizbut Tahrir sejak beberapa bulan yang lalu bahwa Tunisia dalam kondisi diculik, sementara Aljazair adalah rampasan perang berikutnya yang strategis bagi Amerika Serikat.”
Presiden dan pemerintah Tunisia telah membantah laporan beberapa media tentang persetujuan Tunisia untuk menjadi tuan rumah pangkalan militer AS di wilayah. Dikatakan bahwa hubungan Tunisia dengan Aljazair sangat kuat, sehingga tidak mungkin terpengaruh oleh rumor jenis ini.
Menteri Luar Negeri Tunisia, Taieb Baccouche mengatakan: “Tidak ada pangkalan, dan tidak ada perjanjian rahasia apapun untuk tujuan itu. Sementara hubungan dengan Aljazair sangat kuat, dan kerjasama kami dalam perang melawan terorisme solid dan penting untuk kepentingan kedua bangsa.”
Pemerintah Tunisia baru-baru ini memberi “Hizbut Tahrir” batas waktu mengkaji ulang anggaran dasarnya dan mengubahnya agar sesuai dengan konstitusi. Terkait hal ini, Sekjen Hizbut Tahrir dan juru bicara resminya, Ridla Belhaj menilai bahwa pemerintah tidak bisa membubarkan Hizbut Tahrir secara hukum. Dikatakan bahwa Belhaj akan menuntut pertanggungjawaban Presiden Tunisia Beji Qaid al-Sibsi setelah “ia melampaui batas kewenangan konstitusionalnya” menyusul seruannya kepada Perdana Menteri untuk mengkaji ulang undang-undang kepartaian dan perkumpulan, setelah serangan Sousse, pada tanggal 26 Juni 2015 (alquds.co.uk, 24/4/2015).