BPJS Bukan Saja Tidak Sesuai Syariah, Tapi Juga Haram

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

[Ketua Lajnah Tsaqafiyyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia]

Pro-Kontra tentang BPJS kembali mencuat minggu lalu, setelah MUI menyatakan haram, melalui fatwa yang dikeluarkan dalam Ijtima’ MUI di Tegal beberapa waktu lalu. Meski kemudian melunak, setelah ada beberapa pihak yang menolak mengharamkannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ketua PBNU, Said Aqil Siradj. MUI pun kemudian menyatakan, bahwa BPJS belum sesuai dengan prinsip syariah.

Dalam Talkshow dengan TVOne, Dr. Syafii Antonio, menyatakan, bahwa masalah BPJS ini ada tiga. Pertama, terkait dengan ta’awun. Kedua, investasi. Ketiga, denda. Jadi, kalau ada yang belum sesuai dengan syariah, bisa diselesaikan dengan tiga skema tersebut. Tapi, benarkah, BPJS dengan produknya SJSN [Sistem Jaminan Sosial Nasional] itu hanya tidak sesuai dengan syariah, sehingga bisa disyariahkan? Ataukah, memang BPJS dan SJSN-nya memang haram dari asasnya, sehingga tidak mungkin disyariahkan?

Inilah yang hendak dibahas dalam tulisan ini.

BPJS Produk Hadharah Non-Islam

Penting didudukkan, bahwa BPJS-SJSN adalah produk pemikiran yang juga berbentuk pemikiran, sehingga bisa dikategorikan hadharah [peradaban]. BPJS-SJSN bukan produk pemikiran yang berbentuk fisik atau materi [asykal madiyyah], sehingga bisa disebut madaniyyah. Mengapa kategori ini penting?

Karena, alat ukur untuk menentukan status masing-masing berbeda. Begitu juga implementasinya secara praktis. Dalam konteks madaniyyah, “sesuai” atau “tidak sesuai dengan syariah” merupakan alat ukur yang bisa digunakan. “Bertentangan” atau “tidak bertentangan dengan Islam” juga bisa menjadi alat ukurnya. Seperti lukisan makhluk, misalnya, jelas menyalahi syariah. Karena itu, lukisan makhluk hidup merupakan madaniyyah, yang diharamkan. Berbeda dengan lukisan alam atau makhluk yang tidak bernyawa, maka tidak haram.

Tetapi, alat ukur tersebut tidak bisa digunakan untuk menilai hadharah, sebagai produk pemikiran. Karena, meski tampak produk pemikiran tersebut “sesuai dengan Islam”, atau “tidak bertentangan dengan Islam”, tetapi jika tidak lahir dan dibangun berdasarkan akidah Islam, maka tetap saja produk pemikiran tersebut tidak boleh diadopsi, dipraktikkan dan disebarluaskan. Sebagai contoh, demokrasi dengan musyawarahnya, adalah produk pemikiran yang tidak lahir dan dibangun berdasarkan akidah Islam. Meski tampak sepintas musyawarah itu tidak bertentangan, atau sesuai dengan Islam, tetapi karena tidak lahir dan dibangun berdasarkan akidah Islam, tetap saja tidak boleh diadopsi, dipraktikkan dan disebarluaskan.

Karena itu, banyak tokoh dan intelektual Muslim yang kecele, karena melihat dan menilai produk pemikiran tersebut dengan pandangan dan alat ukur yang salah. Sebagai contoh kasus permusyawaratan dalam sistem demokrasi, mereka sering mengatakan, “Apa yang salah dengan musyawarah?” Memang tidak ada yang salah dengan musyawarah. Karena Islam mengajarkan musyawarah, tetapi cara dan mekanisme musyawarah yang dibangun dengan akidah Islam berbeda sama sekali dengan cara dan mekanisme musyawarah dalam demokrasi.

Lalu, ada yang mengatakan, “Kalau ada yang salah pada cara dan mekanismenya, mengapa tidak diubah saja, biar sesuai dengan Islam?” Padahal, dengan mengubah cara dan mekanisme musyawarah dalam demokrasi agar sama dengan Islam tidak mungkin, kecuali dengan meruntuhkan demokrasi. Karena selama dasarnya demokrasi, cara dan mekanisme musyawarah dalam Islam tidak bisa diterapkan.

Inilah fakta dan realitas produk pemikiran yang lahir dan dibangun dengan akidah Kufur. Jadi, kesalahannya bukan terletak pada kulitnya, seperti lukisan atau patung makhluk hidup, yang bisa diubah dengan menghilangkan bagian-bagian yang menjadi ciri khas makhluk hidup. Karena BPJS-SJSN dan musyawarah-demokrasi ini merupakan masalah hadharah, bukan madaniyyah, seperti lukisan. Karena itu, BPJS-SJSN bukan saja tidak sesuai dengan syariah, tetapi juga haram secara mutlak, karena merupakan produk hadharah non-Islam.

Keharaman BPJS-SJSN ini bukan karena konsep ta’awun, investasi dan dendanya yang tidak sesuai dengan syariah, tetapi dari akarnya sudah salah. Karena, ia bukan produk pemikiran yang lahir dan berdasarkan akidah Islam.

BPJS-SJSN Batil dari Akar-akarnya

Sistem jaminan sosial ini, baik dalam bentuk ketenagakerjaan, kesehatan maupun yang lain, sebenarnya lahir dari sistem Kapitalisme. Dalam sistem Kapitalisme, negara tidak mempunyai peran dan tanggungjawab untuk mengurus urusan pribadi rakyat, karena urusan pribadi rakyat adalah urusan mereka sendiri, bukan negara. Negara tidak mempunyai kewajiban untuk menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain.

Karena itu, kewajiban menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain ini harus ditanggung sendiri oleh rakyat. Bisa ditanggung sendiri oleh rakyat, atau dengan bergotong royong sesama mereka. Nah, di sinilah akar masalahnya. Padahal, dalam Islam, kewajiban menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain adalah kewajiban negara, bukan rakyat.

Ketika sistem seperti ini dianggap menyengsarakan rakyat, mulailah dicari solusi. Solusinya dengan membuat BPJS-SJSN ini. Di negara-negara Barat, sistem jaminan sosial ini kemudian diikuti dengan cara dan mekanisme yang juga tidak kalah zalimnya. Sudahlah negara tidak bertanggungjawab menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyatnya yang lain, negara justru memalak mereka dengan mewajibkan rakyat untuk membayar premi.

Dengan kata lain, negara telah memindahkan tanggungjawab ini ke pundak rakyat. Ketika ini sudah ditetapkan sebagai kewajiban di pundak rakyat, maka ketika rakyat tidak membayar, mereka pun akan dikenai sanksi dan denda. Di sinilah, kezaliman sistem BPJS-SJSN ini. Bukan saja zalim, tetapi juga batil. Mengapa? Karena mu’amalah seperti ini tidak lahir dan berdasarkan akidah Islam, sehingga tidak bisa diperbaiki lagi. Mengapa tidak bisa diperbaiki lagi? Karena, kesalahannya bukan hanya pada daun [buah]-nya, tetapi sejak dari akarnya.

Ta’awun, Sanksi, Denda dan Investasi Bukan Akar Masalah

Menyederhanakan masalah BPJS-SJSN hanya dengan menyesuaikan masalah ta’awun, sanksi, denda dan invetasi agar sesuai dengan syariah jelas keliru. Karena, ini bukan akar masalahnya. Menyesuaikan masalah ta’awun, sanksi, denda dan invetasi dalam BPJS-SJSN agar sesuai dengan syariah, tanpa melihat akar masalahnya jelas salah.

Bahkan, tindakan seperti ini bisa dianggap menipu umat Islam. Karena itu artinya, konsep ta’awun, sanksi, denda dan invetasi yang dibangun berdasarkan sistem Kufur dipoles dengan “syariah”, sementara dasarnya bukan Islam. Padahal, ta’awun, sanksi, denda dan invetasi dalam kedua sistem tersebut jelas berbeda. Ini sama seperti kasus musyawarah dalam sistem demokrasi dengan Islam, jelas berbeda.

Ta’awun, tolong-menolong atau gotong royong sebenarnya bukan akad, meski termasuk dalam kategori tasharruf. Karena, menolong atau membantu adalah kewajiban syara’ bagi yang mampu. Diminta atau tidak, ketika ada orang lain membutuhkan bantuan, maka hukum membantu atau menolongnya adalah wajib. Ini berlaku dalam kasus menolong orang sakit, misalnya. Namun, kewajiban ini tidak bisa dibebankan kepada semua orang. Terlebih, ketika kewajiban ini sebenarnya adalah kewajiban negara, sementara negara sendiri tidak menjalankan kewajibannya. Sudah begitu, kewajiban ini dibebankan kepada rakyat, yang seharusnya menjadi pihak yang mendapatkan hak yang menjadi kewajiban negara.

Nah, di sinilah letak batilnya konsep ta’awun BPJS-SJSN ini. Berbeda dengan Islam. Islam mengajarkan ta’awun, tetapi dalam konteks ini hanya bersifat pelengkap. Ketika, negara yang memang telah memenuhi kewajibannya kepada rakyat, tidak memiliki dana yang cukup untuk menunaikan kewajibannya. Dalam hal ini, negara boleh mengambil dana dari masyarakat dengan skema dharibah [pajak], yang diberlakukan sesuai dengan kebutuhan, bersifat temporal, dan hanya berlaku bagi kaum Muslim, pria dan mampu.

Jika konsep ta’awun dalam BPJS-SJSN ini juga diasumsikan sama dengan skema dhaman dalam Islam juga keliru. Karena dhaman juga bukan akad, tetapi tasharruf yang berbentuk tabarru’ [bantuan suka rela]. Perbedaannya pun tampak jelas. Penanggung [dhamin], orang yang ditanggung [madhmun ‘anhu], pihak yang memperoleh pertanggungan [madhmun lahu] dan pertanggungan [dhaman]-nya sendiri diikat oleh ikatan tolong-menolong dengan suka rela [tabarru’]. Pihak yang menolong, dalam hal ini, penjamin [dhamin] tidak mendapatkan apa-apa dari pihak yang memperoleh jaminan [madhmun lahu], selain pahala dari Allah SWT.

Sementara konsep ta’awun dalam BPJS-SJSN ini dibangun dengan prinsip benefit, sebagaimana dalam praktik asuransi. Peserta BPJS-SJSN sebagai penanggung [mu’ammin], BPJS sebagai pihak yang ditanggung [syarikatu at-ta’min], baik pihak yang memperoleh pertanggungan [mu’amman] adalah dirinya atau orang lain, dan premi yang dibayarkan per bulan [ta’min wa amn] jelas dibangun berdasarkan motif benefit. Bukan prinsip tabarru’. Karena itu, hubungan ta’awun dalam BPJS-SJSN tidak bisa dikategorikan sebagai tasharruf sepihak, atau ta’awun murni, tetapi tasharruf dua pihak, sehingga berstatus akad. Karena sudah melibatkan untung-rugi, dan nilai materi.

Sayangnya, obyek yang diakadkan, yaitu “pertanggungan terhadap resiko”, seperti sakit, kecelakaan dan sebagainya juga bukanlah jasa [manfa’at] atau barang [‘ain]. Karena bukan jasa dan barang, maka terhadapnya juga tidak bisa diberlakukan akad. Dari dua fakta ini saja sudah terbukti, bahwa konsep ta’awun dalam BPJS-SJSN jelas batil, dan haram.

Ta’awun dan Investasi Kog Dikenai Sanksi dan Denda?

Praktik ta’awun dalam Islam itu bersifat suka rela. Konsekuensinya, siapa yang tidak sanggup membantu, karena tidak mampu, tentu tidak akan dikenakan sanksi dan atau denda. Nah, dari sini saja sudah jelas berbeda dengan konsep ta’awun dalam BPJS-SJSN. Karena itu, istilah ta’awun mestinya tidak layak digunakan, karena sifatnya yang memaksa, bukan suka rela. Mengapa, rakyat dipaksa, bahkan ketika tidak bisa membayar premi bulanan dikenai sanksi dan denda?

Adanya denda dan sanksi yang diberlakukan kepada rakyat yang tidak membayar premi bulanan dalam sistem SJSN-BPJS ini membuktikan, bahwa ini bukan ta’awun. Tetapi, kewajiban. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, ini sebenarnya bukan kewajiban rakyat, tetapi kewajiban negara. Ketika rakyat dikenai sanksi dan denda, karena tidak menjalankan apa yang bukan menjadi kewajibannya, jelas ini merupakan kezaliman yang luar biasa.

Begitu juga, kalau ini dianggap sebagai investasi. Bukankah, investasi merupakan akad? Jika investasi merupakan akad, bukankah akad itu bersifat suka rela [ridha wa ikhtiar], tidak boleh dipaksa? Nah, dari kacamata apapun, baik Islam maupun Kapitalisme, orang yang melakukan akad tidak boleh dipaksa. Ketika orang melakukan akad dipaksa, maka akadnya itu sendiri tidak sah.

Karena itu, masalah BPJS-SJSN ini sangat kompleks sekali. Selama akar masalahnya tidak diselesaikan, maka permasalahan hukum yang kompleks dalam praktik SJSN-BPJS ini tidak akan bisa diselesaikan. Dengan kata lain, sistem ini bukan hanya fasid, tetapi batil. Jika fasid, mungkin bisa dipermak. Tetapi, jika batil, sistem ini tidak lagi bisa dipermak, melainkan harus diganti total dari akar-akarnya. Mempermak sistem yang batil dengan label syariah jelas merupakan kebohongan, pembodohan dan penyesatan kepada umat Islam.

Wallahu a’lam.

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*