Tulisan Said Aqil Siradj, Relasi Agama dan Negara di Republika, Kamis (11/1/07) menarik untuk ditanggapi. Secara umum, tulisan ini berhasil memotret gambaran awal berdirinya negara Madinah, yang disebutnya dengan istilah City state (negara kota), hingga menjadi Negara Islam pertama. Juga keberhasilannya dalam membangun peradaban Islam yang utuh di tangan Rasulullah saw. dan para sahabat yang mencitrakan Islam sebagai rahamatan li al-‘alamin. Sayangnya, uraian yang sangat bagus itu harus diakhiri dengan analisis yang kurang pas —jika tidak boleh dianggap keliru— tentang mistifikasi Khilafah.
Ibn Taimiyah dan Mistifikasi Khilafah
Mengenai Ibn Taimiyah (w. 728 H), Said Aqil mengatakan, bahwa beliaulah ulama’ yang mencuatkan frame pemikiran fiqih siyasi secara utuh dalam bukunya, as-Siyasah as-Syar’iyyah. Dari paparan tersebut, kita bisa menangkap seolah-olah Ibn Taimiyahlah orang yang pertama membangun kerangka fiqih siyasi secara utuh. Padahal, kita tahu banyak ulama’ Sunni jauh sebelum Ibn Taimiyah telah melakukan hal yang sama, bahkan dengan konsep yang lebih utuh ketimbang Ibn Taimiyah. Sebut saja, al-Mawardi (w. 450 H) dari mazhab Syafii dengan kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, dan al-Farra’ (w. 458 H) dari mazhab Hanbali dengan judul kitab yang sama. Bahkan, saya kira kedua kitab ini jauh lebih lengkap pembahasannya ketimbang apa yang ditulis oleh Ibn Taimiyah. Meski tak selengkap dan seutuh keduanya, saya kira masih ada nama lain yang juga layak untuk dikemukakan di sini, yaitu Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H) dengan bukunya, Ghuyath al-Umam fi at-Tuyyats ad-Dzulam, dan Sulthan al-‘Ulama’, Izzuddin ibn ‘Abd as-Salam (w. 660 H) dengan kitabnya, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam.
Karena itu, yang menyatakan bahwa sistem Khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan Islam, dan hukum mendirikannya adalah wajib, bukan hanya pendapat Ibn Taimiyah. Tetapi, juga pendapat para ulama’ yang telah disebutkan di atas. Bukan hanya itu, semua Ahlussunnah, Syi’ah, Khawarij —kecuali sekte an-Najadat— dan Muktazilah —kecuali sekte al-Asham dan al-Fuwathi— sepakat, bahwa adanya imam dan imamah adalah wajib. Pandangan ini bisa kita temukan, misalnya, dalam Ghayat al-Maram, karya al-Amidi (1971: 364), as-Siyasah as-Syar’iyyah, karya Ibn Taimiyah (1955: 161-162), dan Ma’atsir al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, karya al-Qalqasyandi (1964: I: 2), dan kitab muktabar yang lainnya.
Wajar saja, jika kemudian al-Qalqasyandi (1964: I: 2) mengatakan, “Khilafah adalah pangkalan dan mainstream Islam.. Dengannya, agama (Islam) ini akan terjaga dan terlindungi.. Semua sanksi hukum (Islam) akan bisa dipertahankan. Semua kehormatan akan bisa dilindungi dari penistaan. Farji-farji pun akan terjaga, sehingga pertalian darah bisa tetap dijaga dari kekacauan. Perbatasan (wilayah negara) akan bisa dibentengi, sehingga tidak akan diinvasi..” Karena itu, al-Ghazali (w. 505 H) dalam al-Iqtishad fi al-I’tiqad, membuat perumpamaan yang sangat tepat, bahwa Islam dan Khilafah itu ibarat pondasi dan penjaga. Tanpa pondasi, sebuah bangunan akan runtuh, dan tanpa penjaga bangunan itu pun akan hilang. Begitu juga dengan Islam tanpa Khilafah, dan Khilafah tanpa Islam. Maka, wajar belaka, jika kemudian eksistensi hukumnya disepakati oleh para ulama’ kaum Muslim sebagai perkara ma’lum[un] min ad-din bi ad-dharurah (perkara yang urgensinya telah dimaklumi di dalam Islam).
Pertanyaannya kemudian adalah, benarkan karena hubungan yang sedemikian kuat antara Islam dan negara itu kemudian memunculkan pen-taqdis-an negara, atau dalam istilah Said Aqil disebut mistifikasi negara? Saya kira, kesimpulan ini terlalu simplikatif, dan harus dikritisi.
Jika para ulama’ kaum Muslim mengatakan, bahwa mendirikan Khilafah hukumnya wajib, tentu tidak bisa dikatakan, bahwa ini merupakan bentuk pen-taqdis-an negara. Sebagaimana kalau kita mengatakan, shalat hukumnya wajib, juga tidak bisa dikatakan men-taqdis-kan shalat, semata-mata karena kita mengatakan shalat hukumnya wajib dan karenanya wajib ditegakkan. Sebab, baik shalat maupun Khilafah, hukumnya memang sama-sama wajib bagi kaum Muslim. Jika kemudian para ulama’ dan seluruh umat Islam dalam sepanjang sejarah mempertahankan mati-matian institusi negara yang bernama Khilafah itu juga bukan karena men-taqdis-kan Khilafah, melainkan karena hukum mempertahankannya memang wajib.
Lalu, benarkah para ulama’ dan kaum Muslim yang mempertahankan mati-matian institusi Khilafah, dan berjuang mendirikannya kembali ketika tidak ada sama dengan menduakan taqdis-nya kepada Allah? Tentu tidak, justru sebaliknya apa yang mereka lakukan dalam sepanjang sejarah, tak lain adalah untuk menjalankan perintah Allah, dan itu merupakan manifestasi dari taqdis mereka kepada Allah SWT. Lalu, dari mana logika pen-taqdis-an kepada selain Allah, apalagi dikatakan menggoyahkan tauhid?
Visi Ahlusunnah soal Khilafah dan Transparansi
Konon karena mistifikasi ini, sistem Khilafah akan kehilangan transparansi menejemen pemerintahannya, dan bahkan konon akan membelenggu kreasi dan ekspresi rakyatnya. Kesimpulan seperti ini, selain mungkin dipengaruhi oleh penyimpangan dalam praktek sejarah, juga sangat mungkin karena ketidakjelasan gambaran tentang sistem pemerintahan dalam Khilafah.
Sekalipun Khilafah tidak menganut sistem demokrasi, tetapi bukan berarti Khilafah adalah sistem teokrasi, yang menempatkan khalifah seolah seperti raja yang menjadi titisan dewa. Khalifah adalah manusia biasa, tidak ma’shum, dan bisa berbuat salah sebagaimana layaknya manusia yang lain. Karena itu, Khilafah bukan sistem teokrasi. Inilah pandangan yang disepakati oleh kalangan Sunni. Sebaliknya, yang mengusung teori kemaksuman imam justru bukan dari kalangan Sunni, melainkan Syi’i.
Jika Sunni menyatakan, bahwa Khilafah adalah sistem pemerintahan yang dipimpin oleh manusia untuk menjalankan hukum-hukum Allah, berarti tetap harus dibedakan antara hukum (sistem) dan manusianya. Karena ada faktor manusia itulah, maka dalam prakteknya hukum (sistem) tersebut bisa mengalami penyimpangan, tetapi bukan berarti hukum (sistem)-nya yang salah. Pihak yang salah tetap manusianya. Karena itulah, khalifah dan seluruh aparat di bawahnya, termasuk para wali (kepala daerah tingkat I) dan ‘amil (kepala daerah tingkat II) bisa saja melakukan kesalahan, sebagaimana manusia yang lain dan mereka pun bisa dikoreksi dan bahkan diadili sebagaimana yang lain.
Ketika ‘Umar bin Khatthab menjadi khalifah membatasi jumlah mahar bagi wanita yang hendak dinikahi, seorang wanita datang mengoreksi kebijakannya, seraya menyatakan, “Jika Allah saja tidak membatasi jumlah mahar, mengapa Anda melakukannya?” ‘Umar pun mengoreksi kebijakannya, seraya mengatakan, “Umar telah melakukan kesalahan, dan wanita inilah yang benar.” Bukan hanya itu, setiap ada delegasi yang datang dari berbagai daerah, ‘Umar selalu meminta penilaian mereka terhadap para penguasanya (al-Kattani: I: 267-268). Terhadap laporan yang sampai kepadanya tentang para penguasa di daerahnya, ‘Umar berkomentar, “Siapa saja ‘amilku yang telah mezalimi seseorang, kemudian kezalimanya telah sampai kepadaku, kemudian aku tidak mengubahnya, berarti aku juga telah ikut mezaliminya.” (Ibn Sa’ad: XV: 220). Inilah mekanisme kontrol (muhasabah) yang bisa dilakukan oleh seluruh rakyat, bukan hanya oleh Majlis Ummah.
Selain mekanisme muhasabah, juga ada mekanisme hukum yang bisa ditempuh. Dan ini tergantung kasusnya. Jika kasus tersebut dilakukan oleh penguasa, dan kesalahannya terkait dengan kebijakan, maka satu-satunya mahkamah yang berwenang untuk menyelesaikannya adalah Mahkamah Mazalim (Ibn Farkhun, Tabshirah al-Hukkam, juz I: 20-21). Bahkan, jika itu melibatkan khalifah sendiri. Salah satu kewenangan mahkamah ini adalah memberhentikan khalifah dan aparatur negara dari jabatannya, jika dia dianggap menyimpang dari haluan negara, atau melakukan kezaliman, sementara mekanisme kontrol sudah dijalankan, tetapi tidak bisa menghentikannya. Maka, di sinilah peranan mahkamah mazalim. Memberhentikan khalifah, atau aparatur negara yang lainnya. Namun, jika kasus yang menimpa khalifah tersebut tidak terkait dengan kebijakan, seperti kasus khalifah ‘Ali bin Abi Thalib memperebutkan baju besi dengan orang Yahudi, maka kasus tersebut bisa diadili oleh Mahkamah Khushumat. Meski kasus ini melibatkan kepala negara, ternyata rakyat jelata, yang nota bene orang Yahudi itu justru dimenangkan oleh pengadilan.
Jadi, dengan visi Sunni seperti ini, saya kira tidak ada masalah lagi dengan transparansi menejemen, atau problem akuntabilitas. Justru proses akuntabilitasnya sangat transparan, dan tidak perlu menunggu sidang tahunan, sidang paripurna, tetapi kapan dan di mana saja. Pantas, jika seorang Will Durant memberikan apresiasi yang luar biasa terhadapnya, “Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari China, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan sampai Maroko dan Spanyol. Islam pun telah menguasai cita-cita mereka, mendominasi akhlaknya, membentuk kehidupannya dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan masalah maupun duka mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka, sehingga jumlah orang yang memeluknya dan berpegang teguh kepadanya pada saat ini (era Will Durant)-sekitar 350 juta jiwa. Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hatinya walaupun ada perbedaan pendapat dan latar belakang politik di antara mereka.” (Will Durant, The History of Civilization, vol XIII, p. 151).
Apa yang dilukiskan oleh Will Durant ini adalah bagian dari episode kejayaan Islam dan seluruh bangsa dan negeri yang dinaunginya di bawah naungan Khilafah selama puluhan abad. Masihkah kita memperdebatkan kenyataan ini? Sampai kapan? Saya kira, umat ini —termasuk para pemimpinnya— tidak akan pernah menjadi besar dan dihormati, jika tidak memahami dan kembali kepada sejarahnya. Wallahu a’lam.[Amiruddin Sujadi; Mahasiswa Program Magister Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta]
O man O man .. way to folks ..
I am praying for your uotmost success
Ya Allah be with sisters and brothers in there meeting
Ya allah make heared
make loud ..
shield them all ya allah with protection and mercy ..
ameen
Abu Husam