Seperti yang ditulis oleh Ahmad Fuad Fanani dalam Kompas (Sabtu, 26 Februari 2005), kritik yang dilontarkan terhadap sistem Khilafah Islam adalah bahwa sistem ini merupakan sistem yang tirani. Secara umum ada dua alasan mendasar kenapa tuduhan seperti ini muncul : pertama sistem ini menganut kedaulatan di tangan Tuhan dan kedua dalam sistem ini tidak ada trias politika (pembagian kekuasaan). Saudara Ahmad Fanani tampaknya telah menggunakan argumentasi penolakan terhadap sistem teokrasi yang pernah berkembang di Barat di abad kegelapan untuk menolak sistem Khilafah. Justru disinilah letak kekeliruan sdr Ahmad Fuad Fanani yang mendasar, menyamakan sistem Khilafah dengan sistem teokrasi, padahal keduanya sangat berbeda.
Sistem teokrasi yang pernah diterapkan di Eropa pada masa kegelapan dianggap sebagai sistem terani yang membawa bencana bagi manusia.
Persoalan kedua yang dianggap pangkal bencana sistem ini adalah ketiadaan pembagian kekuasaan (seperation of power). Pada diri raja terdapat tiga kekuasaan sekaligus, membuat hukum (legislatif), menjalankan hukum atau pemerintahan (eksekutif) dan sekaligus fungsi pengadilan (yudikatif). Kekuasaan absolut yang dimiliki oleh raja ini kemudian membuat dirinya menjadi diktator tunggal. Analisis yang sama tampaknya digunakan oleh Ahmad Fanani untuk menyoroti sistem Khilafah. Tulisan ini akan membatasi pada dua perkara diatas.
Sistem Khilafah sangat berbeda dengan sistem teokrasi yang pernah berkembang di abad kegelapan Eropa. Syekh Taqiyuddin an Nabhani pendiri Hizbut Tahrir dalam kitabnya Nidhomul hukmi fi al Islam (sistem pemerintah Islam) memberikan gambaran yang jernih tentang perbedaan ini.Sistem Khilafah yang merupakan sistem Islam membedakan antara kedaulatan (as-siayadah) dan kekuasaan (al sultan). As Siyadah (kedaulatan) memang ditangan syar’i (pembuat hukum , Allah SWT) , namun kekuasaan (al sultan ) ditangan rakyat. Berbicara tentang kedaulatan (as siyadah) berarti berhubungan dengan siapa yang berhak membuat hukum atau siapa yang menjadi sumber hukum (source of legislation). Dalam Islam yang menjadi sumber hukum adalah syari’ yakni Allah SWT yang kemudian menurunkan Al Qur’an dan as Sunnah sebagai sumber hukum yang wajib diikuti oleh kaum muslimin. Karena itu kata-kata, kebijakan, atau aturan yang ditetapkan oleh Khalifah bukanlah otomatis kata-kata Tuhan yang kemudian mutlak harus dipatuhi dan tidak boleh dikritik. Rosullah saw sendiri mengatakan : “tiada ketaatan kepada manusia dalam maksiat kapada Allah swt”. Karena itu, Khalifah saat mengambil keputusan tetap harus merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah. Artinya, keputusan Khalifah baru boleh ditaati kalau itu memang merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah. Kalau tidak, ya tidak boleh ditaati. Karena itulah dalam Islam ada kewajiban mengkoreksi penguasa (khalifah ) yang dikenal dengan konsep muhasabah lil hukkam. Bahkan Islam menempatkan derajat yang tinggi bagi aktifitas untuk mengkoreksi penguasa ini. Dalam hadits disebutkan : “ Sebaik-baik jihad adalah melontarkan kata-kata yang hak di depan penguasa yang jair/dholim (kejam)”. Mereka yang harus terbunuh karena mengkoreksi penguasa yang keliru bahkan diberi gelar saiyudusyuhada (pemimpin para syahid).
Adanya kewajiban untuk mengkoreksi penguasa (Khalifah ) yang keliru ini justru menunjukkan adanya peluang Khalifah untuk berbuat salah sekaligus menunjukkan kata-kata Khalifah tidak otomatis benar. Sehingga anggapan Khalifah tidak boleh dikritik adalah keliru. Inipulah yang membedakan dengan sistem teokrasi, dimana kata-kata raja dianggap otomatis kata-kata Tuhan.
Sementara berbicara tentang kekuasaan (al Sultan) berarti berbicara tentang siapa yang menjadi sumber kekuasaan (source of legislation) yang berhak untuk memilih dan mengangkat penguasa Khalifah . Dalam sistem Islam yang berhak memilih dan mengangkat Khalifah adalah rakyat. Karena itu rakyatlah yang berhak memilih Khalifah secara berdasarkan pilihannya dan keridhoannya (ikhtiar wa ridho). Hal ini jelas berbeda dengan sistem sistem teokrasi, dimana raja bukan dipilih oleh rakyat tapi diwariskan.
Bagaimana dengan pemisahan kekuasaan ? Ketiadaan pemisahan kekuasaan memang menjadi tirani, dikarenakan raja menganggap dirinya wakil Tuhan di yang memiliki semua wewenang. Artinya Rajalah yang menentukan segalanya. Sementara dalam sistem Khilafah Islam, yang menjadi sumber hukum adalah syari’ yakni merujuk kepada al Qur’an dan Sunnah. Sementara Khalifah diberikan wewenang untuk mengadopsi (tabbani) sebuah kebijakan, namun tetap merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah. Rakyat berhak mengkritiknya kalau dia menyimpang dari Al Qur’an dan Sunnah. Dan jelas khalifah sebagai kepala negara memiliki kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan (fungsi eksekutif).
Khalifah juga memiliki wewenang sebagai qodhi (hakim) , meskipun dia berhak menunjukkan orang lain sebagai qodhi (hakim). Namun tetap saja dalam menetapkan sebuah keputusan pengadilan Khalifah harus merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah , bukan dirinya sendiri. Ini akan menutup peluang baginya untuk membuat kebijakan yang tiran, karena standarnya jelas yakni al Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian meskipun pada khalifah ada dua kewenangan eksekutif dan yudikatif, namun peluang untuk menjadi tirani menjadi kecil karena sumber hukum bukan pada dia tapi hukum syara’ dan adanya kewajiban untuk mengkritik Khalifah kalau keliru. Contoh nyata tentang ini adalah bagaimana Ali bin Abi Thalib saat menjadi Khalifah harus tunduk kepada pengadilan yang telah memutuskankan bahwa gugatannya kepada seorang Yahudi tidak terbukti. Seorang Yahudi ini digugat oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan tuduhan telah mencuri baju perangnya . Tapi karena Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak bisa memberikan pembuktian yang kuat , maka gugatannya ditolak dan yahudi ini dibebaskan . Yahudi ini kemudian masuk Islam karena kagum akan pengadilan Islam yang obyektif.
Kritik lain yang sering dilontarkan kepada sistem Khilafah adalah tidak adanya mekanisme kritik dan pertanggungjawaban. Hal ini juga menunjukkan ketidakmengertian tentang sistem Khilafah. Kalau ada kewajiban mengkritik penguasa jelas sebagai sebuah sistem politik yang praktis Islam juga memberikan mekanisme kritik ini sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rosulullah saw dan sahabat-sahabatnya. Mekanisme yang pertama, koreksi bisa dilakukan secara individual atau kelompok (partai politik). Rosulullah saw sendiri pernah dikritik oleh sahabat-sahabatnya berkaitan dengan kebijakannya dalam perjanjian Hudaibiyah, Abu Bakar r.a saat menjadi Khalifah pernah secara langsung dikritik oleh Umar bin Khottob dalam kebijakannya memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Umar bin Khattob menerima secara lapang dada kritikan seorang wanita di depan umum berkaitan dengan mahar perkawinan.
Mekanisme ke dua lewat wakil rakyat (majelis ummah) yang dipilih langsung oleh rakyat sebagai representasi kelompok-kelompok masyarakat. Anggota majelis ummah ini berhak secara langsung mengajukan kritik, masukan, kepada Khalifah berkaitan dengan kebijakan-kebijakannya yang tidak menguntungkan rakyat. Mekanime ketiga, rakyat yang tidak puas akan kebijakan Khalifah bisa mengajukannya ke Mahkamah Madzholim, pengadilan yang memutuskan perselisihan antara rakyat dan penguasa (khalifah ). Tentu saja Khalifah harus tunduk kepada keputusan mahkamah ini. Muncul pula pertanyaan, bagaimana kalau Khalifah tidak mau mendengar kritik rakyatnya dan tidak pula mau mentaati keputusan mahkamah ini ? Rakyat boleh turun tangan secara langsung untuk menjatuhkan Khalifah karena tidak taat kepada aturan Allah swt. Bahkan kalau penyimpangan Khalifah sampai pada batas yang menunjukkan penentangannya secara nyata terhadap hukum-hukum Islam, rakyat boleh angkat senjata (menggunakan kekerasan) untuk menjatuhkan Khalifah . Inilah yang pernah ditanyakan para sahabat kepada Rosulullah, apakah rakyat boleh angkat senjata (mengangkat pedang), Rosul memberikan batasan boleh memang khalifah tersebut telah menunjukkan kekufuran yang nyata.
Jadi jelaslah bahwa ada mekanisme bagaimana cara mengkoreksi penguasa. Namun, memang harus diakui pelaksanaan syariah Islam ini dalam kenyataannya tidaklah berjalan selalu mulus. Karena pemerintahan Khilafah adalah pemerintahan manusiawi, yang dijalankan oleh manusia yang mungkin keliru atau menyimpang. Karena itu, dalam menetapkan bagaimana sistem khilafah berjalan, bukanlah berdasarkan kepada penyimpangan praktek sistem ini, tapi haruslah merujuk kepada sumber hukumnya yakni al Quran dan Sunnah. Sistem politik apapun, selama masih dijalankan oleh manusia sangat mungkin menyimpang. Demikian juga dengan sistem khilafah. Karena itulah dalam islam ada mekanisme kewajiban mengkritik agar penguasa ini tidak menyimpang. Menyimpulkan bagaimana sistem khilafah berdasarkan penyimpangan pelaksanannya jelas menyebabkan kekeliruan dalam melihat bagaimana sistem Khilafah ini. [Muhammad Ismail Yusanto; Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia]
Tulisan ust Ismail ini saya kira sudah sangat wadhih (jelas) dan hikmah (argumentatif). Tinggal kita pembaca, apakah mau memperjuangan syariah dan Khilafah. Atau sekedar menjadi penonton. Maaf, tidak ada penonton yang dapat piala, hanya para pemainlah yang dapat penghargaan. Mari berjuang bersama tegakkan Khilafah
Saya kira penjelasan ustadz Ismail sudah menjawab berbagai macam stigma yang buruk mengenai Konsep Khilafah. So sebenarnya semua itu kembali ke pemahaman yang tidak sengaja keliru dan terpublikasi.
Mumpung belum terlambat, saatnya memperjuangkan kembali cita-cita dasar tiap manusia. damai, sejahtera.
Masih mau jadi komentator?
Mari bersama wujudkan khilafah, See you @ senayan.
Saya berharap kepada saudara-saudara muslim kita yang tidak mengetahui tentang khilafah untuk segera halqah (ngaji) tentang apa itu khilafah, sehingga tidak berbicara atas dasar hawa nafsu belaka dan mengikuti pendapat orang-orang yang memang tidak menginginkan berdirinya khilafah.
Salamualaikum wr wb
Salam kenal dengan ijhwan HT. Semoga apa yang anda perjuangkan itu dapat terealisasi dengan baik. Kita dapat berdiskusi dan saling tukar pikiran bersama di http://www.islamalternatif.net. Semoga ukhuwah islamiyah selalu menjadi acuan kita bersama untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin.
Wassalam
Selamat berjuang saudaraku,.. walau berbeda dalam harokah, muara dari semua perjuangan ummat Islam adalah tegaknya kembali kekalifahan islamiyah. Harus dimulai dari sekarang!!! walau bukan kita yang merasakan mungkin kelak anak cucu kita akan merasakan manis kilafah.
Saya selalu menangis apabila mendengar kata Khilafah
saya merasakan getaran dlm hati ini,saya sangat ingin berjuang dlm menegakannya.
Sesungguhnya Khilafah tinggal menunggu waktu…
Teman teman mari kt terus berjuang.
Saya selalu berharap agar khilafah betul2 bisa terwujud, karena saya rasakan kian hari kehidupan kian semrawut. dimana kezholiman dan ketidak adilan selalu tampak setiap hari,
Karena itu wahai saudaraku… mari kita sama sama berjuang demi tegaknya khilafah di muka bumi ini….
Sistem khilafah merupakan sistem yang ada pada daulah khilfah islamiyah, saya sangat bangga kepada HTI yg memperjuangkan kembali tegaknya daulah khilafah islamiyah untuk menjaga aqidah umat islam, HTI telah mengadakan berbagai acara besar seperti KKI untuk mengingatkan akan adanya sistem khilafah, akan tetapi sayang opini ini (ide khilafah) tidak begitu jelas diserap oleh masyarakat terjadi bias penyampaian opini (kesadaran masyarakat). Bisa dilihat pada acara KKI dari sejumlah ratusan ribu orang yg datang berapa orang yg ngerti tentang apa itu sistem khilafah?, klo bisa dalam spanduk yg besar itu bertuliskan “Mari Tegakkan Kembali Negara Islam” dalam bahasa indonesia, biar lebih jelas dilihat ataupun terdengar dan dimengerti oleh orang awam sekaligus.
As…
saya yakin khilafah pasti berdiri…
walau masih saudara kita yang menghina lihat di http://antosalafy.wordpress. penulis Ustd. Ruwaifi bin sulaimi Lc.dr http://www.asysyariah.com.
Mendirikan sistem khilafah memang bukan usaha yang mudah, apalagi di tengah-tengah perpolitikan dunia yang tak menentu. Namun namanya wacana, rencana sangat mungkin untuk terealisasikan. Saya pribadi menilai, keinginan ini adalah sebuah niatan yang mulia. Namun yang kemudian perlu difikirkan adalah jangan sampai niatan yang baik ini menyebabkan perpecahan umat yang berdampak pada korban umat muslim sendiri. Sesuatu yang masih debatable, berarti memiliki kemungkinan-kemungkinan. Hanya Allah lah pemilik kebenaran, semoga langkah kita senantiasa diridhai Allah SWT. Amin,