Meraih Kemerdekaan Sejati Dengan Mencampakkan Sistem Penjajah

Kita tentu bersyukur penjajah telah diusir dari bumi Indonesia.  Kita tidak lagi melihat, tentara-tentara Belanda, Jepang, atau Inggris, di depan mata, membunuhi rakyat kita, merampok kekayaan alam kita. Dan perlu kita ingat upaya mengusir penjajah ini tidak lepas dari peran penting para ulama, para santri  dan rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. Perjuangan Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teungku Cik Ditiro, KH Hasyim Asy’ari, KH Abbas Buntet, KH Zainal Mustafa, melawan penjajahan jelas-jelas  dilandasi oleh semangat jihad fi sabilillah melawan kafir penjajah.

Ajaran Islam, jihad fi sabilillah yang sering disebut perang suci-lah yang mendorong rakyat Aceh dengan gigih melawan penjajahan Belanda. Syaikh Abbas Ibnu Muhammad, mengatakan dalam Tadhkirat ar-Rakidin—ajaran utama tahun 1889—bahwa Aceh merupakan Dar-al-Islam, kecuali daerah yang diperintah Belanda dan menjadi Dar-al-Harb. Jihad merupakan kewajiban yang berlaku bagi setiap individu muslim  (fardu ain), termasuk wanita dan anak-anak, berperang untuk mengembalikan tanah yang dikuasai orang kafir kepada Dar-al-Islam. Perang Diponogoro atau perang Jawa yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830) diawali  dari fatwa jihad yang diserukan Pangeran Diponogoro yang dibantu Kiai Mojo, Kiai Besar, dan ulama lainnya.

Keinginan Belanda dan pasukan sekutu untuk menjajah kembali di Indonesia, disambut dengan Resolusi Jihad yang serukan  KH Hasyim Asy’ari- pemimpin NU-   pada oktober 1945. Resolusi Jihad menyebutkan bahwa berperang melawan penjajah adalah kewajiban fardu ain bagi orang yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk atau kedudukan musuh. Fardu ain itu baik bagi lelaki, perempuan, maupun anak-anak, bersenjata atau tidak. Pertempuran 10 November 1945 yang dikemudian diabadikan sebagai Hari pahlawan merupaka perwujudan dari Resolusi Jihad ini. Jelas kalau para ulama-lah berada di garis terdepan mengusir penjajah dari bumi Indonesia ini.

Namun, penjajah kafir, tidak benar-benar ingin melepaskan Indonesia dari cengkraman mereka. Setelah ‘kalah’ dalam perang fisik melawan pejuang-pejuang Islam, mereka pun mencari jalan lain untuk tetap menjajah Indonesia. Mereka melihat cara yang paling efektif adalah bukan dengan mengirimkan pasukan perang, tapi dengan menerapkan sistem kufur kapitalisme dan mendudukkan penguasa-penguasa boneka yang tunduk kepada mereka. Dimulailah era baru penjajahan Indonesia, yang disebut neo-imperialisme(penjajahan gaya baru). Untuk itu, negara-negara imperialis  seperti Amerika Serikat, Inggris, dan sekutunya, memastikan Indonesia tidak menerapkan syariah Islam yang menjadi kunci kekuatan umat, tapi kapitalisme. Walhasil, penjajahan babak baru sesungguhnya masih terjadi di Indonesia hingga kini.

Lewat UU neo-liberalisme, yang disponsori  negara-negara penjajah, lahir berbagai UU  yang merupakan produk demokrasi. Seperti UU Migas, UU Kelistrikan, UU SDA, UU Penanaman Modal,  yang memberikan jalan bagi penjajah untuk kembali merampok kekayaan alam Indonesia atas nama perdagangan bebas, investasi, pasar bebas, privatisasi dan hutang luar negeri. Intervensi lewat UU ini pun mengokohkan penjajahan hingga saat ini. Termasuk UU yang terkait pemilu, pendidikan, keluarga, perkawinan , keamanan nasional, dirancang  untuk mengokohkan penjajahan secara politik dan sosial.

Penguasa Indonesiapun sebagian besar hadir sebagai pelayan-pelayan asing bukan untuk melayani rakyatnya sendiri. Untuk memuaskan keinginan Barat memerangi perjuangan syariah Islam dan Khilafah, penguasa berikut antek-anteknya melakukan kriminalisasi terhadap perjuangan syariah Islam dan penegakan Khilafah Islam dengan berbagai tudingan termasuk terorisme.

Para penguasa ini pun menjadi pembela sejati kepentingan perusahaan-perusahan negara imperialism yang merampok kekayaan alam Indonesia. Perlakukan terhadap PT Freeport menjadi salah satu bukti nyata, menunjukkan begitu lemahnya penguasa Indonesia. Meskipun jelas-jelas sudah melanggar UU minerba yang mengharuskan membangun smelter, perusahaan Amerika ini tetap diberikan izin ekspor. Terakhir , berdasarkan rekomendasi ekspor dari Kementerian ESDM  perusahaan ini diberikan kuota ekspor sebesar 775 ribu ton konsentrat selama periode akhir Juli 2015 hingga akhir Januari 2016.

Ini menunjukkan betapa tidak berdaulatnya Indonesia. Penguasa Indonesia , begitu lemah di bawah ancaman Amerika. Seorang pejabat tinggi yang sangat dekat dengan pucuk pimpinan negeri ini terus terang menyampaikan, bagi AS, pengelolaan tambang emas di Papua oleh PT Freeport adalah harga mati. AS mengancam, bila Indonesia berani mengutak-utik soal ini, tak segan mereka bakal ambil tindakan keras. Di antaranya mendorong kemerdekaan wilayah Papua. Itu tidak sulit dilakukan. Dalam waktu singkat 3000 pasukan AS di Darwin dengan mudah diterbangkan ke Papua, dan Armada 7 di Samudera Pasific juga dengan cepat bisa segera merapat. Lepaslah Papua. Merdeka.

Tidak ada cara lain, bagi bangsa Indonesia, agar benar-benar merdeka, kecuali kembali ke jalan Islam. Sebagaimana ulama terdahulu berhasil mengusir penjajahan secara fisik dengan berlandasakan ajaran Islam, demikian pula kita saat ini , hanya bisa benar-benar lepas dari penjajahan, kalau kita kembali menerapkan syariah Islam secara kaffah dan mencampakkan sistem kufur kapitalisme yang menjadi pangkal penjajahan.

Apa yang disampaikan oleh Saad bin Abi Waqqas dalam dialognya dengan panglima tentara Persia, Rustum, jelang Perang al-Qadhisiyah , pantas kita perhatikan. Merdeka yang sebenarnya  adalah bila kita bisa benar-benar menghamba pada Tuhan manusia (Rabb an-nâs) dalam seluruh aspek kehidupan. Ini karena kita diciptakan oleh Allah SWT sebagai manusia merdeka memang dengan misi utama semata untuk menghamba kepada-Nya.

Oleh karena itu, apa yang diperjuangkan Hizbut Tahrir, sesuai arti dari namanya (partai pembebasan), dalam menegakkan syariah dan Khilafah, tak lain adalah untuk membawa negeri ini ke kemerdekaan hakiki. Itulah penghambaan kepada Tuhan manusia, yaitu Allah SWT, dengan tunduk pada segenap syariah-Nya di semua lapangan kehidupan baik kehidupan pribadi, keluarga maupun kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak seperti sekarang, kita merasa sudah merdeka tetapi peraturan perundangannya justru bertentangan dengan kehendak-Nya serta harus tunduk dan bergantung pada pihak lain. Allohu Akbar (Farid Wadjdi)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*