Banyak diabaikan oleh media, kelompok anti-Balaka memaksa Muslim di Republik Afrika Tengah (CAR) untuk beribadah di tempat pribadi atau murtad di bawah todongan senjata.
Muslim hanya layak diberitakan saat memegang senjata, bukan ketika di bawah todongan senjata.
Jurnalisme modern terus menegaskan kembali dasar yang berkaitan dengan krisis dalam negeri dan, bahkan mungkin bencana atas hak asasi manusia internasional.
Penargetan secara sistematis Muslim di Republik Afrika Tengah (CAR), negeri yang dilanda perselisihan sejak bulan Maret 2013, telah berubah menjadi pembersihan etnis berskala besar.
Namun, sebagian negara di luar negara Afrika dan di luar komunitas HAM bahkan sangat sedikit yang menyadari krisis kemanusiaan ini.
Dalam beberapa minggu terakhir, milisi bersenjata telah menjelajahi seluruh wilayah bagian barat negara itu, dan mengintimidasi dan bertindak brutal terhadap Muslim.
Anti-Balaka, kelompok fundamentalis yang terdiri dari kaum animis dan Kristen, memaksa umat Islam untuk beribadah di tempat pribadi, melarang pakaian muslim, dan memaksa murtad di bawah todongan senjata.
Sementara istilah fundamentalisme tampaknya diberikan secara khusus bagi pelaku Muslim, umat Kristen dan milisi animis di CAR telah mengacungkan semangat keagamaan di satu tangan, dan memegang amunisi di tangan yang lain untuk meneror 750.000 Muslim – yang merupakan 15 persen dari penduduk negara itu.
Sementara ISIS tetap menjadi berita utama dan disebut-sebut oleh tiap orang, tindakan yang hanya menyebutkan terorisme anti-Muslim di CAR – yang telah merenggut sedikitnya 6.000 jiwa, sehingga mendorong 30.000 Muslim untuk tinggal di wilayah kantong-kantong PBB yang dilindungi, dengan banyak masjid yang dihancurkan – masih tetap menjadi ancaman yang tidak diketahui besarnya.
Hal ini tidak akan terjadi jika umat Islam adalah pelaku kekejaman HAM di CAR, bukan korban.
Outlet media mainstream telah lama mengabaikan nasib kemanusiaan korban penduduk berkulit hitam, terutama di benua Afrika.
Hal ini terlihat jelas oleh genosida di Rwanda dan Burundi pada tahun 1990-an, yang terlambat menjadi perhatian massa, dan hanya mendapat simpati internasional satu dekade kemudian dengan film yang terkenal, Hotel Rwanda.
Yang baru terjadi, cerita yang menjadi korban penduduk kulit hitam telah aktif ditutupi oleh media mainstream yang telah memusatkan perhatian baik pada pahlawan putih (seperti Joseph Kony yang gila), atau penjahat Muslim (tentang penculikan oleh Boko Haram di sekolah Nigeria).
Kelompok militan anti-Balaka secara intensif membunuhi kaum muslim dan memaksa mereka murtad selama bulan Ramadhan lalu, yang terbukti berbahaya, dan bahkan fatal, bagi umat Islam di CAR untuk berpuasa, beribadah secara terbuka di bulan suci.
Atau seperti yang terjadi di Sudan, yang dibingkai oleh selebriti dan organisasi Amerika sebagai penengah, selamatkan “Kristen kulit hitam di selatan” dari “Muslim Arab di utara”.
Demikian pula, media cepat untuk tertarik pada penjahat Muslim, tetapi secara konsisten lambat – atau seluruhnya tidak sama sekali – ketika korbannya adalah Muslim.
Terjebak antara kebencian anti-kulit hitam dan Islamophobia yang menjadi dasar dan sering mendorong liputan media, tidak terlihat dan terdengar nasib dari kaum Muslim CAR karena tidak yakin kaum Muslim kulit hitam bisa menjadi korban.
Untuk krisis internasional, seperti peristiwa di CAR, liputan ini seharusnya menghasilkan kesadaran global yang akan memacu mobilisasi politik, penggalangan dana, dan tekanan pada pemerintah untuk bertindak.
Hal ini terutama berlaku dengan munculnya media sosial, yang, yang dilihat dari diskursif yang berbeda dan terpisah dari media tradisional, biasanya ada energi dari berita utama yang ditampilka.
Pasukan anti-Balaka mendapatkan manfaat yang sangat besar dari kurangnya liputan media. Jumlah mereka telah tumbuh, dan kekerasan mereka semakin meningkat dalam tingkat yang parah.
Selain memaksa Muslim murtad dan menghancurkan masjid-masjid, laporan tentang Muslim yang membayar militan anti-Balaka sejumlah besar uang agar bisa hidup telad tersebar luas.
Kamera dan wartawan yang berbondong-bondong ke Rwanda saat itu datang sangat terlambat. Ketika mereka tiba, genosida telah mendapatkan hampir semua targetnya. Hampir satu juta orang menjadi pengungsi akibat kekerasan di CAR
Sejak itu, sejumlah cendekiawan, pejuang hak asasi manusia, negarawan berpendapat bahwa perhatian media yang tepat waktu bisa menciptakan tekanan yang diperlukan untuk memacu dilakukannya intervensi kemanusiaan yang lebih komprehensif.
Ribuan nyawa, dan generasi masa depan Tutsi, bisa diselamatkan.
Seperti yang ditekankan dalam CAR, pelajaran dari Rwanda belum mendapat perhatian, yang memperlihatkan penduduk Muslim yang berkurang dan terancam kekerasan yang tidak bisa digambarkan dan mempersenjatai milisi anti-Muslim dengan memberikan lampu hijau untuk melanjutkan pembunuhan.
Tapi karena kaum Muslim berada di bawah todongan senjata bukan yang mengacungkan senjata, cerita seperti ini akan terus luput dari berita utama.
===========
Khaled A Beydoun adalah asisten profesor hukum di Universitas Barry Dwayne O Andreas School of Law.
Sumber: Al Jazeera