Tauhid: Memerdekakan Diri dari Syirik

Ada yang berbeda pada HUT Kemerdekaan RI kali ini. Di Jakarta, sebagian umat Islam menyelenggarakan apa yang disebut dengan Parade Tauhid. Meski mungkin tidak berhubungan langsung dengan momentum HUT Kemerdekaan RI, Parade Tauhid seolah ingin menegaskan satu hal: memerdekakan diri dari segala bentuk syirik.

Terkait itu, misi kemerdekaan dalam Islam memang adalah pembebasan manusia dari segala bentuk kesyirikan, tepatnya membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama hamba menuju penghambaan hanya kepada Pencipta hamba, yakni kepada Allah SWT. Dalam hal ini, ada riwayat, sebagaimana dituturkan oleh Yunus bin Bukair ra, bahwa Rasulullah SAW pernah menulis surat kepada penduduk Najran, di antara isinya: Amma ba’du. Aku menyeru kalian ke penghambaan kepada Allah dari penghambaan kepada hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian ke kekuasaan (wilâyah) Allah dari kekuasaan hamba (manusia) … (Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553, Maktabah al-Ma’arif, Beirut).

Inilah misi kemerdekaan hakiki menurut Islam. Misi ini juga terungkap kuat dalam dialog Jenderal Rustum dengan Mughirah bin Syu’bah yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash. Pernyataan misi itu diulang lagi dalam dialog Jenderal Rustum (Persia) dengan Rab’iy bin ‘Amir (utusan Panglima Saad bin Abi Waqash) yang diutus setelah Mughirah bin Syu’bah pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia. Jenderal Rustum bertanya kepada Rab’iy bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rab’iy bin menjawab, “Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah, dari kesempitan dunia menuju kelapangannya dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam….” (Ibnu Jarir ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Muluk, ii/401, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut). 

Alhasil, misi kemerdekaan hakiki dalam Islam sebetulnya adalah tauhid (mengesakan Allah SWT). Bahkan inilah misi para nabi sejak Nabi Adam As hingga Rasulullah Muhammad SAW, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): Sungguh telah kami utus seorang rasul untuk setiap umat dengan tujuan untuk mengatakan, “Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut.” (TQS an-Nahl [16]: 36).

Allah SWT juga berfirman (yang artinya): Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami mewahyukan kepada dia, “Tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku. Karena itu sembahlah Aku oleh kalian.” (TQS al-Anbiya’ [21]: 25). Juga firman-Nya: Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah Aku (TQS adz-Dzariyat []: 56).

Karena itulah setiap Muslim wajib menyembah dan menghambakan diri hanya kepada Allah SWT sekaligus menjauhi syirik, yakni menghambakan diri kepada selain Allah SWT, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): Hanya Engkaulah yang Kami sembah dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan (TQS al-Fatihah [1]: 5).

Sayangnya, makna ‘ubudiyyah (penghambaan) acapkali dipersempit semata-mata sebagai penyembahan secara ritual belaka. Akibatnya, banyak Muslim yang secara ritual setiap lima waktu menyembah Allah SWT dalam shalat-shalat mereka, tetapi mereka justru ‘menyembah’ dan menghambakan diri kepada thaghut di luar shalat-shalat mereka. Salah satunya yang menonjol adalah dengan ketundukan mereka pada hukum-hukum buatan manusia dan keingkaran mereka terhadap hukum-hukum Allah SWT (syariah Islam). Padahal Allah SWT tegas berfirman (yang artinya): “Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut.” (TQS an-Nahl [16]: 36).

Selain itu, sebagaimana Allah SWT tidak memiliki sekutu dalam kekuasaan-Nya, juga dalam mengurus berbagai urusan makhluk-Nya, Allah SWT pun tidak memiliki sekutu dalam hukum dan pembuatan undang-undang (tasyri’). Allah SWT adalah hakim yang paling adil. Hanya Allah SWT yang berwenang untuk memutuskan sekaligus membuat hukum dan perundang-undangan untuk manusia. Allah SWT berfirman (yang artinya): Hak membuat hukum itu hanyalah milik Allah (TQS Yusuf [12]: 40); Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya (TQS ar-Ra’d [13]: 41).

Karena itulah Allah SWT mencela siapa saja yang mengambil hukum selain hukum-Nya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).

Alhasil, marilah kita meneguhkan tauhid yang hakiki demi mewujudkan kemerdekaan sejati, yakni: merdeka dari segala bentuk syirik, termasuk dalam hal tasyri’ (hukum dan perundang-undangan). Dengan itu hanya Allah SWT saja yang kita sembah di dalam shalat-shalat kita, juga hanya syariah-Nya saja yang kita terapkan dalam seluruh aspek kehidupan kita seraya membuang segala hukum buatan manusia. Wa ma tawfiqi illa bilLah. [] abi.

Sumber: Tabloid Mediaumat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*