[Al-Islam edisi 769, 13 Dzulqa’dah 1426 H – 28 Agustus 2015]
Presiden Jokowi telah menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN 2016 kepada DPR. RAPBN 2016 disusun berdasarkan asumsi makro: pertumbuhan 2016 5,5-6%; inflasi 4% plus-minus 1%; nilai tukar dolar AS Rp 13.000-13.400; suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan sebesar 4-6%; angka pengangguran 5,2-5,5%; angka kemiskinan 9-10%; rasio gini 0,39 dan indeks pembangunan manusia 70,1.
Belanja RAPBN 2016 diusulkan sebesar Rp 2.121,3 triliun, naik Rp 137,1 triliun dari APBNP 2015. Adapun total penerimaan diusulkan sebesar Rp 1.848,1 triliun, naik Rp 86,5 triliun dari APBNP 2015. Jadi, RAPBN 2016 direncanakan defisit Rp 273,2 triliun atau 2,1 persen PDB. Sebagian besar penerimaan itu berasal dari pajak Rp 1.565,8 triliun. Sisanya dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 280,3 triliun dan dari hibah Rp 2 triliun.
Ambisius
Target pertumbuhan 5,5% tahun 2016 jelas sangat sulit untuk dicapai. Pasalnya, kinerja perekonomian tahun 2015 ini saja rendah. Berdasarkan data BPS, angka pertumbuhan kuartal pertama hanya 4,7 dan kuartal kedua hanya 4,67. Artinya, angka pertumbuhan semester pertama hanya 4,685. Untuk mencapai target pertumbuhan terendah di APBNP 2015 sebesar 5,8, maka angka pertumbuhan di semester kedua 2015 harus 6,92. Mencapai pertumbuhan sebesar itu hampir mustahil.
Apalagi saat ini terjadi perlambatan ekonomi hampir di seluruh dunia. Permintaan dunia pun turun sehingga ekspor juga turun. Harga komoditi ekspor utama terutama batubara dan minyak sawit dan produknya juga anjlok. Konsumsi swasta dan masyarakat juga turun. Selain itu, kelesuan ekonomi berdampak pada lesunya dunia usaha dan industri. Semua kondisi itu dipercaya masih akan berlanjut pada tahun depan. Dilihat dari sisi ini, RAPBN 2016 sangat ambisius, bahkan menjadi misi yang mustahil (mission impossible).
Target Pajak Naik
Pendapatan RAPBN 2016 sebagian besar bertumpu pada penerimaan pajak, yakni diusulkan Rp 1.565,8 T (triliun), atau 84,7% dari total penerimaan Rp 1.848,1. Angka itu naik Rp 86,5 T dari APBNP 2015.
Kenaikan penerimaan pajak itu disandarkan pada kenaikan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh), khususnya PPh Nonmigas dan penerimaan cukai. PPh Nonmigas diusulkan Rp 715,01 T, naik Rp 85,175 T dari Rp 629,835 T di APBNP 2015. Penerimaan cukai diusulkan Rp 155,52 T naik Rp 9,7 T dari 145,74 T di APBNP 2015.
Adapun penerimaan PPN diusulkan Rp 573,69 T, turun Rp 2,78 T dari Rp 576,47 T di APBNP 2015. Penurunan target PPN ini logis. Sebabnya, PPN dipungut melalui konsumsi (=penjualan). Konsumsi swasta dan masyarakat saat ini memang turun drastis dan belum akan meningkat dalam waktu dekat.
Target penerimaan pajak ini juga sangat ambisius dan mungkin mendekati mustahil. Pasalnya, selama lima tahun terakhir ini saja, realisasi penerimaan pajak tidak pernah mencapai target. Realisasinya, meski dari sisi angka naik, dari prosentase justru terus turun. Terakhir, tahun 2014, target Rp 1.246 T, realisasinya Rp 1.143 T (91,7%). Adapun tahun ini (hingga 31 Juli 2015) penerimaan pajak baru mencapai Rp 531,114 T dari target total Rp 1.294,258 T. Artinya, meski sudah tujuh bulan, realisasinya baru 41,04%. Jika trennya terus seperti itu, realisasi tahun 2015 akan jauh lebih rendah dari realisasi tahun 2014.
Mungkin belajar dari “kegagalan” menaikkan PPN secara drastis, maka dalam RAPBN 2016 peningkatan penerimaan pajak lebih disandarkan pada PPh Nonmigas. PPh Nonmigas akan bertumpu pada PPh Orang Pribadi dan PPh Badan. Masalahnya saat ini ekonomi tengah lesu, konsumsi menurun, permintaan produk perusahaan juga banyak yang turun, penjualan lesu dan masih terpukul oleh kenaikan biaya produksi akibat pelemahan kurs rupiah. Semua itu membuat penghasilan sektor industri cenderung menurun. Lantas bagaimana meningkatkan PPh badan jika penghasilan badan yang akan dipajaki cenderung turun?
Kelesuan ekonomi juga membuat penghasilan orang pribadi cenderung tetap atau malah menurun. Bahkan, seperti dikatakan Menaker Hanif Dhakiri, selama tujuh bulan pertama tahun ini sudah ada sekitar 30.000-an pekerja yang dirumahkan untuk sementara waktu oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Jika kelesuan ekonomi terus berlanjut, gelombang PHK akan terjadi. Semua itu akan membuat potensi PPh Orang Pribadi juga akan menurun. Lantas bagaimana PPh Orang Pribadi akan bisa digenjot? Meningkatkan jumlah orang yang membayar pajak tentu bukan hal mudah.
Adapun kenaikan penerimaan cukai mungkin akan dilakukan dengan menaikkan cukai yang sudah ada, bisa juga dengan menambah jenis barang kena cukai yang baru.
Beban Rakyat Makin Berat
Kenaikan target penerimaan pajak baik PPh orang pribadi, PPh badan, PPN, cukai dan pajak lainnya pada akhirnya akan kembali menjadi beban rakyat. Pasalnya, rakyat nanti harus bayar lebih banyak lagi.
Di sisi lain penerimaan dari sumberdaya alam (SDA) diusulkan hanya Rp 130,95 T. Penerimaan SDA ini sungguh sangat minim. Padahal negeri ini sangat kaya dengan SDA. Salah satu sebab utamanya adalah sistem pengelolaan SDA yang diserahkan kepada swasta bahkan asing. Negara hanya menerima pendapatan dalam bentuk PPh dan pajak lainnya, royalti serta bagi hasil akhir yang kecil akibat rekayasa cost recovery yang tidak transparan dan sulit dipertanggungjawabkan.
Ini bisa dinilai sebagai kezaliman terhadap rakyat. Pasalnya, rakyat terus dipaksa bayar pajak yang makin banyak jenis dan jumlahnya. Pada saat yang sama, kekayaan alam milik rakyat justru diserahkan kepada swasta bahkan asing. Tentu saja hasilnya banyak dinikmati oleh mereka, sementara rakyat harus terus gigit jari, bahkan tak jarang harus menanggung dampak buruk pengelolan SDA.
Menyalahi Islam
Lebih dari itu, penerimaan pajak itu menyalahi Islam. Islam mengharamkan pajak, cukai dan sejenisnya. Rasulullah saw. bersabda:
«لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ»
Tidak masuk surga penarik cukai/pajak (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibn Khuzaimah, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Betul, Islam membolehkan pemungutan dharibah, yang bisa diartikan dengan pajak. Namun, konsepnya jauh berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme sekarang. Pajak saat ini merupakan penerimaan utama, bersifat tetap, kontinu (terus-menerus), dipungut dari siapa saja (Muslim dan non-Musim) dan tanpa membedakan kaya dan miskin.
Sebaliknya, dharibah dalam Islam hanya pelengkap, bukan pemasukan utama. Dharibah juga dipungut sewaktu-waktu (temporer), tidak kontinu dan tidak tetap. Dharibah hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban kaum Muslim sesuai ketentuan Islam; hanya dipungut dari kaum Muslim, tidak dipungut dari non-Muslim; hanya dipungut dari orang kaya saja, tidak dari semua warga negara; dipungut sebatas jumlah biaya yang diperlukan, tidak boleh lebih, dan setelah jumlah yang diperlukan tertutupi, dharibah dihentikan.
Adapun terkait pengelolaan SDA, dalam Islam SDA yang berlimpah merupakan milik umum seluruh rakyat. SDA itu harus dikelola langsung oleh negara mewakili rakyat dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat; dimasukkan ke kas negara untuk membiayai berbagai urusan dan kemaslahatan rakyat.
Wahai Kaum Muslim:
Islam telah menetapkan sistem pengelolaan keuangan negara, sumber-sumber penerimaan dan bab-bab pengeluaran atau belanja. Penerimaan negara berasal dari kekayaan milik negara baik jizyah, kharaj, khumus, ghanimah, fa’i, ‘usyur (yang berbeda dari cukai), harta waris yang tidak ada pewarisnya dan kekayaan milik negara lainnya; juga dari kekayaan milik umum seperti minyak, gas, energi panas bumi, mineral, kehutanan, perikanan, udara dan sebagainya lainnya. Belum lagi penerimaan dari zakat meski peruntukannya sudah dibatasi oleh syariah. Jika masih kurang, baru dipungut dharibah sesuai ketentuan syariah.
Semua itu akan cukup untuk membiayai program kerja negara dalam memelihara urusan dan kemaslahatan rakyat, termasuk menyediakan pelayanan publik; menjamin pemenuhan kebutuhan pokok pangan, papan dan sandang; juga menjamin pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat secara gratis baik pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Karena itu kaum Muslim harus segera mewujudkan sistem pengelolaan keuangan negara model Islam, yang hanya mungkin bisa diwujudkan secara nyata dalam sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah ar-Rasyidah itu. Itulah yang pasti akan memberikan kehidupan yang baik bagi semua.
]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ …[
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada suatu yang memberikan kehidupan kepada kalian (TQS al-Anfal [8]: 24)
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam
Harga minyak mentah dunia kembali jatuh pada perdagangan Senin (17/8/2015) waktu setempat (Selasa pagi WIB). Posisi ini merupakan level terendah sejak Februari 2009 yakni di posisi 37,75 dolar AS (Kompas.com, 18/8).
- Meski harga minyak dunia turun drastis, Pemerintah sampai kini tak mau menurunkan harga BBM. Padahal katanya harga BBM mengikuti harga minyak dunia.
- Sepertinya Pemerintah ingin cari untung. Pasalnya, tanpa menurunkan harga BBM, beban pembayaran Pemerintah untuk subsidi BBM lewat Pertamina akan berkurang.
- Padahal saat harga BBM turun, sejatinya inilah kesempatan bagi Pemerintah untuk menaikkan daya beli masyarakat lewat penurunan harga BBM. Anehnya, itu tak dilakukan Pemerintah. Alhasil, peduli rakyat hanya sekadar klaim kosong.
Setuju dengan masalah di atas dalam islam tidak ada kedzaliman…pajak diambil dari rakyatr sedangkan kebutuhan masyarakat spt listrik, pdam, sembako terkadang diprivatisasi…dan BUMN, BUMD dibiarkan merugi…lagi2 rakyat yg harus menopang kebutuhan negara lewat pajak. jika kita tidak membayar bisa berhadapan dengan denda dan dan sangsi pidana….Adakah dalam islam sangsi berupa denda dan pidana untuk pengemplang pajak? coba barangkali ada yang tahu di al Qur’an surat apa dan hadits riwayat siapa?…Dari semua partai yang ada tidak ada 1 pun partai yang menentang pajak…lalu apakah ini berarti para pembuat keputusan tersebut tidak memahami hukum ekonomi islam?.