Tidak Mengancam NKRI

Koran Republika edisi Rabu, 12 Agustus lalu, memuat sebuah artikel menarik berjudul, “Gerakan Keagamaan Transnasional Mengancam NKRI?” Artikel ini sebenarnya merupakan hasil penelitian Balitbang Diklat Kemenag. Artikel ini pernah dimuat di situs Balitbang Diklat Kemenag tertanggal 23 Juli dengan titel, “Perlukah Risaukan Gerakan Keagamaan Transnasional di Indonesia?”

Penelitian ini pada intinya ingin menjawab pertanyaan apakah kehadiran gerakan keagamaan transnasional seperti Salafi, Syiah, Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin (IM) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) itu membahayakan eksistensi NKRI dan ormas keagamaan yang telah mapan? Aspek-aspek yang dikaji dalam penelitian itu adalah jaringan intelektual, kegiatan, pendanaan dan kerja kelembagaan.

Tidak dijelaskan kapan penelitian itu dilakukan dan bagaimana metodologinya. Namun, penelitian ini diakui telah berhasil menjelaskan bagaimana sebenarnya posisi gerakan keagamaan transnasional itu dalam konteks perubahan sosial-keagamaan dan sosial-politik di Indonesia. Hasil paling penting dari penelitian itu adalah kesimpulan bahwa keberadaan gerakan keagamaan transnasional di Indonesia secara agama, politik dan ekonomi tidaklah membahayakan NKRI. Alasannya, disebutkan bahwa bagaimanapun (mereka) adalah warga negara Indonesia.

Penelitian itu kemudian merekomendasikan kepada Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama agar tidak perlu merisaukan keberadaan gerakan-gerakan keagamaan transnasional ini. Gerakan-gerakan itu bahkan harus diterima sebagai kenyataan yang pada dasarnya ingin melengkapi pelayanan keagamaan yang sudah diberikan oleh organisasi-organisasi keagamaan yang telah lama ada. Sebagai contoh disebutkan Salafi, misalnya, yang memfokuskan diri pada dakwah dengan pemahaman salafus-shalih, berarti melengkapi dakwah Muhammadiyah yang dinilai mulai terpecah pada program sosial, pendidikan dan ekonomi. Bila perlu, Pemerintah membantu untuk membangun jaringan intelektual bersama agar sinergitas gerakan keagamaan di antara organisasi keagamaan terjalin.

Secara politik, keberadaan keagamaan transnasional disebutkan juga tidak perlu dikhawatirkan. Alasannya, perimbangan politik yang ada saat ini kiranya sudah permanen sehingga sulit membayangkan cita-cita gerakan mereka terwujud secara komprehensif.

Justru partai politik dan ormas keagamaan dapat membangun jaringan sehingga pesan-pesan moral agama dapat dijadikan sandaran dalam setiap pengambilan keputusan legislasi di Parlemen. Karena itu Kemenag, khususnya Direktorat Jenderal Bimas Islam, perlu memfasilitasi pertemuan gerakan keagamaan transnasional dengan organisasi keagamaan lokal yang telah mapan dan partai politik di Indonesia agar tercipta kesepahaman bersama yang berkaitan dengan kepentingan politik umat beragama di Indonesia.

++++

Penelitian ini tentu sangat menarik. Lebih menarik lagi hasilnya, yang dengan tegas menyatakan bahwa gerakan keagamaan transnasional, termasuk HTI, tidaklah membahayakan atau mengancam NKRI. Kecuali menyangkut keberadaan Syiah yang memang kontroversial, kesimpulan penelitian, apalagi menyangkut HTI, adalah sangat tepat. HTI memang tidak mengancam—dan tidak boleh dianggap mengancam—negara ini. Menurut penelitian ini, HTI meskipun mewacanakan khilafah, harus dimaknai agar umat Islam memiliki solidaritas yang tinggi terhadap umat Islam di manapun berada sebagaimana ajaran Islam bahwa umat Islam itu bersaudara.

Kesimpulan ini jelas bertabrakan dengan pernyataan segelintir orang atau kelompok yang terus berusaha mendiskreditkan HTI, dengan berulang menyatakan bahwa HTI itu membahayakan atau mengancam NKRI. Tak kurang di situs www.change.org ada petisi yang dibuat dengan judul BUBARKAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA karena MENGANCAM PERSATUAN dan KESATUAN Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun, publik mungkin sudah lebih dulu memiliki kesimpulan yang sama dengan penelitian Balitbang Diklat Kemenag tadi. Karena itu petisi ini praktis tidak mendapatkan dukungan, dan akhirnya ditutup.

Kesimpulan penelitian ini menyisakan pertanyaan penting. Bila bukan gerakan keagamaan transnasional seperti HTI yang mengancam negara ini, lantas apa atau siapa sebenarnya yang harus dianggap sebagai ancaman bagi negara ini? Oleh karena itu, penting sekali penelitian ini dilanjutkan hingga pertanyaan tadi bisa terjawab. Sebab, tidak mungkin kan negara ini bebas dari ancaman?

Nah, berkaitan dengan ancaman terhadap negara ini, HTI berpandangan dan berkeyakinan bahwa saat ini negeri ini tengah berada dalam ancaman neoliberalisme dan neoimperialisme. Neoliberalisme adalah paham yang menghendaki pengurangan peran negara dalam ekonomi, karena negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu/korporat yang sangat diperlukan untuk memacu pertumbuhan. Pengurangan peran negara dilakukan di antaranya melalui privatisasi sektor publik, pencabutan subsidi komoditas strategis, penghilangan hak-hak istimewa BUMN melalui berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyamadudukkan BUMN dengan BUMS (Badan Usaha Milik Swasta) dan sebagainya. Jadi, neoliberalisme sesungguhnya merupakan upaya pelumpuhan negara—selangkah menuju corporate state (korporatokrasi) saat negara dihela oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Keputusan-keputuasan politik, karenanya, tidak sungguh-sungguh dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan korporat baik domestik maupun asing.

Adapun neoimperialisme adalah penjajahan cara baru yang ditempuh oleh negara kapitalis untuk tetap menguasai dan menghisap negara lain. Dulu dikenal dengan semangat gold (kepentingan penguasaan sumberdaya ekonomi), glory (kepentingan kekuasaan politik) dan gospel (kepentingan misi Kristiani). Meski mungkin kepentingan ketiga (gospel) kini tidak diakui, kepentingan pertama dan kedua (gold dan glory) nyata sekali masih berjalan utamanya melalui neoliberalisme.

Neoliberalisme dan neoimperialisme tentu berdampak sangat dampak buruk bagi rakyat. Di antaranya, tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kerusakan moral dan korupsi yang makin menjadi-jadi serta meningkatnya angka kriminalitas yang dipicu oleh kemiskinan dan kesenjangan sosial. Banyaknya pejabat dan anggota legislatif di pusat maupun daerah yang menjadi tersangka korupsi membuktikan bagaimana mereka menghalalkan segala cara guna mengembalikan investasi politiknya. Caranya adalah dengan memperdagangkan kewenangannya sehingga membiarkan kekayaan alam yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat itu dihisap oleh korporasi domestik maupun asing.

Di situlah mengapa HTI menyerukan, “Selamatkan Indonesia dengan Syariah dan Khilafah”. Pasalnya, jelas sekali negeri ini harus segera diselamatkan dari dua ancaman yang sangat nyata itu. [HM Ismail Yusanto]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*